Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT

 
Oleh Amandus Klau

Pada suatu titik, sesuatu pasti berawal.
Tapi, apa artinya selarik rasa gelisah
untuk memulai sebuah karya inspiratif?

Seperti rasa ingin tahu terus mendesak para filosof menyingkap hahikat semesta dan rahasia segala aga, begitulah rasa gelisah untuk seorang Yohanes Sehandi. Rasa itu begitu intens mendesak, bahkan menderanya untuk tidak bisa bertindak, meski hal itu tak lain dari sebuah upaya pencarian diri yang perih 

“Buku ini lahir dari kegelisahan saya yang mendalam terhadap eksistensi sastra dan para sastrawan NTT. Sastra dan sastrawan NTT bagai sebuah dunia yang sunyi, tak ada riak dan bunyi. Karena itu, saya mulai melakukan pelacakan dengan mengumpulkan banyak informasi dan data tentang sastra dan sastrawan NTT dari berbagai sumber, terutama media massa cetak, baik yang terbit di NTT maupun di luar NTT.  

Hasil pelacakan tersebut saya publikasikan lewat media, dan kemudian melahirkan kontroversi yang ditandai polemik panjang di harian umum Flores Pos terbitan Ende, Flores. Mungkin saja buku ini selanjutnya akan terus menimbulkan kontroversi bila makin luas tersebar.” 

Demikian kata-kata Yan Sehandi di Aula Kampus II Universitas Flores (Uniflor) Sabtu, 30 Juni 2012. Ia mengatakan ini sesaat sebelum para pemateri mulai membedah dan mendiskusikan buku karyanya: Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT.

Tampil sebagai pembedah buku setebal 130 halaman, terbitan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2012) ini adalah Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores, Alex Bala Gawen, Sekretaris Program Studi, Sr. Wilda Wisang, CIJ, Dosen Senior PBSI, Theo Uheng, serta tiga orang mahasiswa: Liliandra Sama, Yeni Kanisius, dan Rofinus Sawa. Hadir pula sejumlah dosen selingkup Universitas Flores, para undangan, wartawan dan mahasiswa/mahasiswi PBSI Universitas Flores. 

Di bawah tema “Sastra dalam Perbincangan,” acara bedah buku tersebut berlangsung hangat. Dinamika diskusi terasa sangat hidup, karena apresiasi dan masukan kritis seakan selalu berjalan berdampingan. Theo Uheng, misalnya, mengatakan upaya pelacakan yang dilakukan Yan Sehandi belum berbuah banyak. Bahkan, hal ini merupakan dorongan intuitif yang terlalu berani dan gamblang, sebab bisa jadi sejumlah nama yang telah disebutkan sang pelacak belum bersedia menyandang gelar tersebut. 

Namun, katanya lebih lanjut, upaya pelacakan ini sangat penting dan bermanfaat demi perubahan NTT dari nasib tak tentu (NTT) menjadi lebih pasti atau lebih baik. Sebab, dengan kembali mengangkat nilai-nilai yang disajikan para sastrawan NTT melalui karya-karya mereka, masyarakat akan terbantu untuk mengubah cara pandang, perilaku hidup, dan etos kerja mereka. 

Hal senada disampaikan Rofinus Sawa. Menurutnya, sastra adalah media perjuangan dan pengubah perilaku. “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena sastra dapat mengubah seorang anak yang pengecut menjadi pemberani,” katanya. “Selain itu, sastra juga dapat memurnikan jiwa seseorang melalui proses mimesis,” tambah Alex Bala Gawen. Dengan demikian, menurut Bala Gawen, para sastrawan adalah kelompok masyarakat madani yang menyajikan renungan-renungan kemanusiaan untuk memurnikan nurani. 

Sementara mengenai buku karya Yan Sehandi, Alex menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Yan Sehandi merupakan upaya membongkar budaya lisan atau budaya tutur masyarakat NTT. Hal ini penting untuk mengabadikan, sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai luhur dan aneka kearifan lokal yang dimiliki masyarakat NTT. Sebab, apa yang terucap akan segera menguap bersama angin. 

Namun demikian, Suster Wilda kembali menegaskan bahwa pelacakan Yan Sehandi perlu dikaji kembali, karena belum mempunyai pijakan teoretis yang memadai. Hal ini penting agar penyebutan sebuah karya sebagai karya sastra dan pemberian gelar kepada seseorang sebagai sastrawan dapat dipertanggungjawabkan.

Persoalan yang sama diangkat dalam sesi tanya jawab. Dosen Fakultas Ekonomi Uniflor, Gabriel Tanusi, misalnya, menganjurkan agar penulis membuat indikator yang jelas mengenai apakah seseorang layak disebut sastrawan atau tidak. Sementara Pater Hendrik Kerans, SVD mempersoalkan buku karya Yan Sehandi dari segi politik penerbitan dan sejumlah problematika terkait isi buku tersebut. 

Menanggapi semua masukan dan saran kritis para pemateri dan peserta diskusi, Yan Sehandi mengatakan upaya yang telah dilakukannya bukan tanpa dasar ilmiah. Namun menurutnya, dinamika diskusi yang telah berlangsung hangat merupakan proses ilmiah yang sangat berarti baginya. 

Sebab dengan ini, terobosan berani dan intuisi kreatifnya yang hanya lahir dari sebuah kegelisahan akan menemukan dasar pijakannya yang lebih ilmiah, dapat dipertanggung jawabkan,  dan tak akan diragukan lagi. *

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 4 Juli  2012)
  

Post a Comment for "Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT"