Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melacak Sastra dan Sastrawan NTT

Apakah ada sastra NTT? Apa kriterianya? Apakah ada sastrawan NTT? Kalau ada, apa kriterianya? Siapa-siapa saja sastrawan NTT? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dilontarkan masyarakat, baik lewat omongan lepas, lewat berbagai  diskusi dan seminar, maupun lewat artikel opini sastra di berbagai media cetak di NTT.

Ada sejumlah artikel opini yang dimuat di berbagai media cetak NTT, terutama  harian Pos Kupang, dalam beberapa tahun terakhir ini mengangkat tema perihal “sastra NTT” dan “sastrawan NTT” ini. Sekadar menyebut sejumlah artikel opini itu, antara lain: (1) Sastrawan NTT di Manakah Kau? (Marsel Robot); (2) Donat Sastra NTT (V. Nahak); (3) Sastra NTT dan Politik Publikasi (Bara Pattyradja); (4) Sastra NTT Tak Pernah Mati (Yoseph Lagadoni Herin); (5) Membangkitkan Sastra NTT (Gusty Fahik); (6) Sastra NTT dan Upaya Membongkar Kuburan Pesimisme (Jimmy Meko Hayong); dan (7) Sastrawan yang Asing di Kampung Sendiri (Even Edomeko).

Para penulis artikel opini  sastra di atas mengakui bahwa “betul ada” sastra NTT dan sastrawan NTT. Hanya saja, menurut para penulis itu, kehidupan sastra di bumi Flobamora ini bagaikan kerakap tumbuh di batu karang, hidup enggan mati tak mau, hidup dalam kesukaran, sebagaimana halnya masyarakat NTT pada umumnya yang hidup dalam kemelaratan dan keterbelakangan. Meskipun oleh para penulis di atas, disebutkan sejumlah karya sastra NTT dan sejumlah sastrawan NTT yang namanya melejit di tingkat nasional, namun jumlahnya tidak seberapa dan dapat dihitung dengan jari.

Saya terinspirasi oleh sejumlah artikel opini di atas, kemudian mencoba “melacak” keberadaan sastra NTT dan sastrawan NTT. Sejumlah pertanyaan langsung menghadang. Apa itu sastra NTT? Apa kriterianya? Pertanyaan yang sama untuk sastrawan NTT. Siapa sastrawan NTT? Apa kriterianya? Sejauh yang saya tahu, sampai dengan saat ini belum ada ulasan khusus yang memadai tentang rumusan pengertian dan kriteria “sastra NTT” dan “sastrawan NTT.”

Dengan mengacu pada “rumusan pengertian” sastra dan sastrawan di sejumlah daerah di Indonesia yang dipaparkan dalam sejumlah buku referensi, misalnya rumusan pengertian sastra dan sastrawan Yogyakarta, sastra dan sastrawan Bali, sastra dan sastrawan Aceh, sastra dan sastrawan Riau, sastra dan sastrawan Sulawesi Selatan, dan lain-lain, maka saya memberanikan diri menjawab pertanyaan di atas, tentang apa itu sastra NTT dan siapa saja sastrawan NTT! Rumusan pengertian dan kriteria yang saya kemukakan berikut ini “bersifat tawaran” kepada para pemerhati sastra NTT untuk didiskusikan lebih lanjut secara terbuka lewat harian Flores Pos ini.

Agar mudah dipahami, sastra NTT saya rumuskan secara sederhana. Sastra NTT adalah “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan oleh orang NTT!” Ada dua patokan dasar di sini: pertama, sastra tentang NTT, dan kedua, sastra yang dihasilkan orang NTT.

Berdasarkan patokan pertama, yakni “sastra tentang NTT,” maka karya sastra (novel) yang berjudul Loge (2007) dan Nama Saya Tawwe Kabota (2008) karya Mezra E. Pellondou adalah “sastra NTT” karena kedua novel tersebut bercerita tentang NTT,  yakni masyarakat Sumba. Kumpulan cerpen Nostalgia Nusa Tenggara (1975) dan Jerat (1976) serta novel Cumbuan Sabana (1979) karya Gerson Poyk adalah “sastra NTT” karena karya-karya itu bertema dan berlatar NTT, berbicara tentang masyarakat NTT. Novel Cinta Terakhir (2011) karya V. Jeskial Boekan adalah “sastra NTT” karena mengangkat masalah NTT dalam kaitan dengan pengungsi Timtim.

Selanjutnya, novel yang berjudul Lembata (2008) karya F. Rahardi dan puisi berjudul “Beri Daku Sumba” (yang ditulis 41 tahun yang lalu, yakni tahun 1970) karya penyair besar Taufiq Ismail, adalah juga “sastra NTT” karena berbicara tentang NTT, dalam hal ini tentang masyarakat Lembata dan tentang kondisi alam dan geografis Sumba, meskipun novelis F. Rahardi dan penyair Taufiq Ismail bukan sastrawan NTT.

Berdasarkan patokan kedua, yakni “sastra yang dihasilkan orang NTT,” maka semua jenis karya sastra yang dihasilkan orang NTT adalah “sastra NTT.” Yang dimaksudkan orang NTT di sini adalah penulis (pengarang) NTT, baik yang lahir dan tinggal di NTT, lahir di NTT tinggal di luar NTT, maupun yang lahir dan tinggal di luar NTT tetapi keturunan (darah) orang NTT.

Berdasarkan patokan kedua di atas, maka semua kumpulan puisi John Dami Mukese, yakni Doa-Doa Semesta (1983), Puisi-Puisi Jelata (1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996), Puisi Anggur (2004), dan Kupanggil Namamu Madonna (2005) adalah “sastra NTT,” karena penyairnya orang NTT, kelahiran Manggarai Timur, 24 Maret 1950, meskipun dalam sejumlah kumpulan puisi itu ada juga puisi tentang Filipina tempat beliau mengambil gelar doktor beberapa tahun lalu. Demikianpun novel Petra (2006), Ziko dan Nina (2008), dan Gayuuuz (2008) karya Yoss Gerard Lema adalah “sastra NTT,” karena pengarangnya kelahiran NTT. Karya Bara Pattyradja yang berjudul Bermula dari Rahim Cinta (2005) dan Protes Cinta Republik Iblis (2006) adalah “sastraNTT,” karena penyairnya orang NTT kelahiran Lembata pada  12 April 1983. Tentu masih banyak contoh yang lain lagi.

Selanjutnya, siapa sastrawan NTT? Apa kriterianya? Berdasarkan cara pandang yang sama dengan “kriteria sastra NTT” sebagaimana dikemukakan di atas, sastrawan NTT dapat pula dirumuskan. Sastrawan NTT adalah “pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT.” Kelahiran NTT atau keturunan NTT yang dimaksudkan di sini, yakni pengarang yang lahir dan tinggal di NTT, lahir di NTT tinggal di luar NTT, atau yang lahir dan tinggal di luar NTT, tetapi keturunan (darah) orang NTT.

Yang disebut “sastrawan NTT” dalam pengertian ini, tidak hanya pengarang yang mengahasilkan “karya sastra kreatif” (seperti penyair, cerpenis, novelis, dramawan),  juga pengarang atau penulis “karya sastra ilmiah” (seperti kritikus, pemerhati, pengamat,  dan peneliti sastra).

Bertolak dari kriteria di atas, saya mencoba melacak “keberadaan” sastrawan NTT, baik yang tinggal di NTT maupun di luar NTT, baik yang lahir di NTT maupun yang lahir di luar NTT. Meskipun upaya pelacakan ini belum maksimal hasilnya, namun telah mendapatkan gambaran umum. Ternyata, tidak banyak orang NTT yang mengabdikan diri dan berjuang di bidang sastra dan budaya. Hasil pelacakan saya, untuk sementara jumlah sastrawan NTT tidak lebih dari 30 orang. Jumlah ini tentu terlalu kecil kalau kita bandingkan dengan jumlah sastrawan di provinsi lain, misalnya sastrawan Jawa Tengah, sastrawan Sumatera Utara, sastrawan Riau,  sastrawan Bali, sastrawan Jawa Timur, dan lain-lain.

Sastrawan NTT dapat dikelompokkan dengan berbagai cara dan sudut pandang. Saya coba mengelompokkan sastrawan NTT berdasarkan usia, dari yang berusia tua sekali (sangat senior), yang sudah tua (senior), sampai dengan yang masih muda (yunior). Sastrawan NTT yang sudah sangat senior, untuk mudahnya kita kelompokkan sebagai  Sastrawan NTT Lapis Pertama (lahir tahun 1930-1949, kini berusia 62-81 tahun). Sastrawan NTT yang senior,  kita kelompokkan Sastrawan NTT Lapis Kedua (lahir tahun 1950-1969, kini berusia 42-61 tahun). Sedangkan sastrawan yunior, kita namakan Sastrawan NTT Lapis Ketiga (lahir tahun 1970-1989, kini berusia 22-41 tahun). Rentang jangka waktu antara lapis yang satu dengan lapis yang lain 20 tahun.

Pengelompokan ini boleh dikatakan semacam “periodisasi sederhana sastra NTT.” Tujuannya tidak lain hanya untuk membuat “peta dasar” pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal kelahirannya sampai dengan saat ini, dari generasi awal sampai  generasi sekarang. Tujuan berikutnya adalah agar masyarakat NTT dan juga masyarakat luar NTT tertarik dan tergugah untuk mengenal siapa-siapa sastrawan NTT, yang dengan itu kiranya terdorong untuk membaca dan mempelajari karya-karya sastra mereka.

Berdasarkan periodisasi sederhana di atas, hasil pelacakan saya, Sastrawan NTT Lapis Pertama berjumlah hanya tujuh orang. Ketujuh orang sastrawan NTT itu adalah: Gerson Poyk (80 tahun, lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Rote Ndao); Frans Mido (75 tahun, lahir pada 7 November 1936 di Wolosambi, Nagekeo); A.G. Hadzarmawit Netti (70 tahun, lahir pada 9 Oktober 1941 di Soe, TTS); Dami N. Toda (69 tahun, almarhum, lahir pada 29 September 1942 di Pongkor, Manggarai, meninggal dunia di Hamburg, Jerman pada 10 November 2006);  Umbu Landu Paranggi (68 tahun, lahir pada 10 Agustus 1943 di Sumba Barat); Julius R. Sijaranamual (67 tahun, almarhum, lahir pada 21 September 1944 di Waikabubak, Sumba Barat, meninggal dunia  Mei 2005); dan Ignas Kleden (63 tahun, lahir pada 19 Mei 1948 di Larantuka, Flores Timur).

Sastrawan NTT Lapis Kedua dan Lapis Ketiga belum bisa dikelompokkan pada kesempatan ini, akan dilakukan lewat artikel-artikel opini yang akan datang. Pada saat ini saya tengah mengumpulkan berbagai data dan informasi untuk setiap sastrawan sambil menelaah  karya-karya sastra mereka. 


Sekadar menyebut beberapa nama sastrawan NTT itu, antara lain: John Dami Mukese, Maria Matildis Banda, Mezra E. Pellondou, Leo Kleden, Willem B. Berybe, Sipri Senda, Paul Budi Kleden, Frans Piter Kembo, Yoss Gerard Lema, Usman D. Ganggang, V. Jeskial Boekan, Willy A. Hangguman, Otto J. Gaut, Yoseph Lagadoni Herin, Marsel Robot, Aster Bili Bora, Paul Lete Boro, sampai dengan yang masih muda, seperti Bara Pattyradja, Pion Ratuloly, Gusti Masan Raya, Januario Gonzaga, Robert Fahik, Hengky Ola Sura, Umbu Spiderno, Agus Dapa Loka, Abdul M. Djou, Jefta Atapeni, Charlemen Djahadae, Kristo Ngasi, Joe Wassa, dan lain-lain yang tentu akan terus bertambah. * (HP 081339004021, Blog www.yohanessehandi.blogspot.com).

Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia, dari  Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 19 November 2011).



Post a Comment for "Melacak Sastra dan Sastrawan NTT"