Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tantangan Perguruan Tinggi di NTT

Pada tahun 2011 ini animo tamatan SMA/MA/SMK melanjutkan studi ke berbagai perguruan tinggi (PT) di NTT cukup besar. Hal ini kita ketahui dari berbagai berita media masa dan cerita dari berbagai kampus di NTT. Animo yang cukup besar ini tentu berkaitan dengan jumlah dan persentase lulusan SMA/MA/SMK tahun ini di NTT cukup besar.

Beberapa tahun terakhir ini memang orang-orang muda NTT lebih memilih kuliah di berbagai kampus di NTT daripada kuliah di Jawa, Bali, Makasar, dan tempat lain di luar NTT. Tentu masih ada juga yang memilih kuliah di luar NTT, tetapi itu karena ada pertimbangan khusus, misalnya program studi yang diminati tidak ada atau kurang tersedia di kampus-kampus NTT. Di samping menghemat biaya, juga sebagian besar program studi yang diperlukan masyarakat sudah tersedia di berbagai kampus di NTT.

Jumlah PT di NTT pada saat ini cukup banyak dan rupanya akan terus bertambah. Yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)  tercatat 3 PT Negeri (PTN), yakni Universitas Nusa Cendana, Politeknik Negeri, dan Politeknik Pertanian Negeri, ketiganya di Kupang. PT Swasta (PTS) tercatat berjumlah 33, baik berupa universitas, institut, maupun sekolah tinggi, politeknik, dan akademi.

Bila ditambah dengan PT yang dikelola oleh Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan PT Kedinasan Non-Kementerian yang lain, jumlahnya bisa mencapai 50 PT yang tersebar di seluruh NTT. Menyongsong tahun ajaran baru 2011/2012 ini, bermunculan pula PT-PT baru di NTT. Semakin bertambah banyaknya  PT di NTT akan semakin memberi banyak pilihan bagi para calon mahasiswa baru di NTT dan ini persaingan yang bagus. 

Hal lain yang juga menjadi bahan pertimbangan orang kuliah di berbagai PT di NTT adalah bahwa mutu lulusan PT di NTT bisa ditingkatkan menyamai mutu lulusan PT di Jawa, Bali, dan Makasar, dan di tempat lain di luar NTT apabila mutu berbagai PT di NTT dapat diperbaiki atau ditingkatkan dengan mengacu pada berbagai standar dan indikator yang ditetapkan. Berbagai PT di NTT pada saat ini  berlomba-lomba mengejar mutu lulusannya.

Meningkatkan mutu PT di NTT merupakan harapan sebagian besar masyarakat NTT. Harapan besar ini merupakan tantangan besar berbagai PT di NTT. Tantangan itu tentu tidak sedikit dan tidak ringan. Sekadar menyebut contoh tantangan PT di NTT itu, antara lain bagaimana meningkatkan status akreditasi PT dan bagaimana membangun etos keilmuan di masing-masing PT di NTT.

Salah satu indikator mutu PT di Indonesia, termasuk PT di NTT, adalah status akreditasi program studi pada PT yang bersangkutan. Akreditasi adalah pengakuan terhadap sebuah program studi pada PT yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa program studi tersebut memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu.

Badan yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Mutu atau status akreditasi sebuah program studi PT diukur dengan peringkat A, B, dan C. Dari sekitar 50 PT yang ada di NTT, tercatat masih banyak program studinya yang belum terakreditasi oleh BAN PT karena belum memenuhi syarat.

Tantangan berat sejumlah PT di NTT yang belum terakreditasi ini adalah bekerja   keras untuk mendapatkan status akreditasi. PT yang program studinya belum terakreditasi, tidak bisa mewisuda lulusannya, ijazahnya tidak diakui. Selanjutnya, tantangan sejumlah PT di NTT yang peringkat akreditasinya C adalah berusaha keras untuk mendapatkan peringkat  B dan A, dan yang peringkat B berusaha untuk mendapatkan peringkat A.

Di Jawa, Bali, dan sejumlah daerah tertentu di Indonesia, ada instansi pemerintah dan swasta yang hanya mau menerima lulusan PT yang akreditasi program studinya peringkat A dan B. Di NTT pada saat ini, lulusan akreditasi peringkat C belum menemui masalah, namun untuk kepentingan ke depan harus diantisipasi dari sekarang oleh setiap PT. Target yang mesti dikejar oleh setiap PT di NTT adalah akreditasi A, setidaknya B. PT yang bermutu tinggi adalah PT yang peringkat akreditasinya A. Beberapa PT di NTT memang ada yang sudah mengantongi akreditasi peringkat A dan B, namun belum banyak.

Tantangan berat berikutnya yang dihadapi berbagai PT di NTT adalah membangun etos keilmuan di masing-masing PT. Etos keilmuan adalah semangat keilmuan yang menjadi ciri khas cara berpikir, bertindak, dan berperilaku civitas akademika di setiap PT. Etos keilmuan seringkali juga disebut tradisi keilmuan.

Etos keilmuan atau tradisi keilmuan  sebuah PT ditunjukkan, antara lain dari kualitas berpikir para civitas akademika, kualitas proses pendidikan dan pengajaran, kualitas materi pendidikan dan pengajaran, kualitas hasil penelitian, kualitas pengabdian kepada masyarakat, dan kualitas publikasi karya ilmiah sebagai karya puncak seorang ilmuwan di bidang keilmuannya.

Dalam kurun waktu satu setengah bulan terakhir ini, kalangan akademisi berbagai PT di NTT hangat membicarakan perihal etos keilmuan ini. Pemicunya adalah artikel opini Hengky Ola Sura, mahasiswa Universitas Flores, yang dimuat Pos Kupang (4/6/2011) dengan judul “Merindukan Profesor Menulis.” Inti artikel ini adalah menggugah para profesor atau guru besar di NTT agar kiranya para profesor sudi menyumbangkan ide atau gagasan bernas lewat tulisan-tulisan atau artikel opini di berbagai surat kabar di NTT, seperti Flores Pos, Pos Kupang, Timor Express, dan lain-lain. Dengan demikian, menurut Hengky Ola Sura, gelar profesor itu tidak sekedar GBHN (guru besar hanya nama).

Artikel ini menyulut polemik hangat di kalangan civitas akademika di berbagai PT di NTT. Florianus Geong, mahasiswa STFK Ledalero, menanggapi Hengky lewat opininya yang berjudul “Menulis untuk Apa?” Di samping memperkuat inti gagasan Hengky, Geong juga menggugat para profesor di NTT (yang dalam perkembangannya mengarah kepada para profesor di Undana) yang masih tidur di menara gading untuk turun gunung ikut memecahkan masalah sosial kemasyarakatan yang melilit masyarakat NTT pada saat ini.

Artikel dua mahasiswa ini berhasil memancing tanggapan dua profesor dari Undana, yakni Yusuf Leonard Henuk (menulis dua kali dengan judul “YLH Profesor Penulis dari Undana” dan “Mengapa Ilmuwan Harus Menulis?”) dan Alo Liliweri (menulis “Profesor tentang Guru Besar Hanya Nama”). Polemik ini semakin bertambah panas dengan munculnya berbagai gugatan sporadis terhadap para profesor di NTT yang dilontarkan oleh Charles Beraf, alumnus STFK Ledalero, lewat tulisan “Menulis, Beranjak dari Elitisme.”

Dari polemik ini terekam dua hal penting sekaligus catatan penting untuk berbagai PT di NTT pada saat ini. Pertama, sebagian besar PT di NTT belum optimal membangun etos keilmuannya. Salah satu indikator belum terbangunnya etos keilmuan adalah belum banyak dan belum seringnya para civitas akademika dari berbagai PT di NTT memublikasikan ide-ide atau gagasan-gagasannya di berbagai media masa tingkat regional NTT dan tingkat nasional yang bisa diakses atau dibaca secara luas oleh masyarakat NTT.  

Karena jarangnya para profesor (kaum akademisi pada umumnya) di NTT menulis di media masa, baik tingkat regional  NTT maupun tingkat nasional,  akibatnya mereka tidak atau jarang dikenal masyarakat NTT. Isi otak para profesor NTT pun tidak diketahui dengan jelas oleh masyarakat NTT. Pada titik ini, tantangan kaum akademisi (ilmuwan di PT) di berbagai PT di NTT (tidak hanya profesor) adalah membiasakan diri untuk  menerbitkan buah pikiran  atau gagasan di bidang keilmuannnya lewat tulisan-tulisan di berbagai media masa yang bisa dibaca masyarakat luas.

Kedua, sebagian besar akademisi PT di NTT belum menunjukkan kontribusi yang berarti dalam memecahkan berbagai carut-marut masalah sosial kemasyarakatan NTT. Sampai dengan saat ini, masyarakat NTT belum merasakan, apa yang dilakukan secara konkret oleh para profesor atau kaum akademisi pada umumnya di NTT dalam mengatasi masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan masyarakat NTT yang menurut data terakhir BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT berada pada nomor urut memalukan, yakni nomor urut 31 dari 33 provinsi di Indonesia.

Keterbelakangan masyarakat NTT dari berbagai aspek kehidupan dan pembangunan ini seolah-olah luput dari perhatian para profesor atau kaum akademisi di NTT. Pada titik ini, tantangan kaum akademisi dan para profesor di berbagai PT di NTT pada saat ini adalah mengambil bagian dalam mencari dan menemukan masalah (problem oriented) dan memecahkan masalah (problem solving) yang melilit masyarakat NTT yang sudah kronis dari tahun ke tahun  sampai dengan saat ini.

Oleh Yohanes Sehandi
Mantan Anggota DPRD NTT 1999-2009, Mengajar di Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat Flores Pos, terbitan Ende, pada Kamis, 21 Juli 2011)



1 comment for "Tantangan Perguruan Tinggi di NTT"

  1. Menarik pak, selamat berkarya di Uniflor.

    ReplyDelete