Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membaca Cerpen Pos Kupang

Sejak diluncurkannya Pos Kupang (PK) edisi Minggu pada 3 Maret 1996, lewat rubrik Imajinasinya PK telah menyuguhkan banyak sekali cerita pandek (cerpen) kepada para pembacanya. Kalau dihitung pukul rata setiap bulan empat kali terbit, maka sampai akhir Mei 2010, jumlah cerpen yang dihasilkan PK selama 14 tahun lebih ini berjumlah  684 cerpen. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Kalau dikumpulkan dalam buku antologi (kumpulan) cerpen, seperti yang biasa dilakukan Kompas, maka PK telah menghasilkan buku antologi cerpen berjilid-jilid, yang tentu menambah kekayaan khazanah sastra budaya daerah ini (NTT).
 
Pada bulan-bulan awal terbit, setiap cerpen yang disuguhkan PK selalu disertai dengan sebuah catatan singkat berupa kritik atau analisis atas cerpen tersebut. Meskipun catatan itu singkat, tetapi cukup bermanfaat. Sebagaimana fungsi “kritik sastra” pada umumnya, termasuk kritik cerpen, catatan singkat yang dilakukan PK dapat memberikan arah atau menguak tabir kabut rahasia sebuah  karya sastra kepada pembaca sehingga pembaca mengerti, kemudian menghayati, dan pada akhirnya mengapresiasi karya sastra tersebut. Bagi penulis cerpen (cerpenis), kritik cerpen itu bermanfaat sebagai evaluasi atas karyanya untuk perbaikan proses kreatif selanjutnya. Hanya sayangnya, kritik cerpen PK sudah lama hilang, yang tentu merupakan suatu kerugian besar, baik bagi para pembaca maupun bagi para cerpenis.
 
Sebagai pembaca cerpen PK, penulis  opini ini merasa terpanggil untuk memberikan sebuah  catatan terhadap cerpen-cerpen yang disuguhkan PK setiap minggunya. Catatan ini terdorong oleh pengalaman batin penulis yang terbiasa membaca cerpen-cerpen serius berbobot sastra karya para cerpenis Indonesia, baik lewat buku antologi cerpen maupun lewat majalah dan suratkabar. Tentu hasil penilaian ini tidak terlepas dari “selera seni” pribadi  sehingga bisa saja unsur subjektif dan objektif berhimpitan dalam penilaian, apalagi objek yang dibidik adalah sebuah karya sastra yang merupakan hasil imajinasi pengarangnya. Bukankah sebuah karya sastra adalah karya multi interpretasi ?
 
Pada waktu membaca cerpen-cerpen PK, bayangan yang ada pada pikiran penulis adalah unsur-unsur yang seharusnya ada dalam sebuah cerpen karena unsur-unsur itulah yang pada hakikatnya membentuk sebuah cerpen. Unsur-unsur itulah yang disebut unsur “intrinsik” dalam teori prosa/fiksi. Unsur intrinsik itu antara lain: tokoh atau perwatakan, plot atau alur cerita, latar atau setting, dan gaya pengungkapan. Begitu salah satu atau beberapa unsur tidak muncul atau muncul  samar-samar dalam cerpen, maka dengan sendirinya muncul pertanyaan, apakah karya imajinasi itu layak disebut sebuah cerpen (berbobot sastra) atau tidak? Jangan sampai karya imajinasi itu hanya bersifat renungan, refleksi iman, khotbah, ekspresi gejolak batin, sketsa, atau lukisan suasana alam/lingkungan.
 
 Cerpen-cerpen PK yang coba dianalisis   dalam tulisan ini adalah cerpen PK edisi bulan Mei 2010, yakni  “Bejana Hati” karangan R. Blast D. Lejap (PK, 2/5/2010), “Cinta dan Perempuna” karangan Anice Tunayt (PK, 9/5/2010), “Wanita Sepotong Kepala” karangan Januario Gonzaga (PK, 16/5/2010), dan “Langit Jingga pada Sepotong Senja” karangan Wendly Jebatu (PK, 23/5/2010).
 
Pertama, cerpen “Bejana Hati.” Cerpen ini menggambarkan perasaan cinta sejati seorang mahasiswa rantau kepada seorang mahasiswi kakak tingkat. Perasaan cinta muncul  bukan saja karena mahasiswi ini cerdas, cantik, dan menjadi idola di kampus, tetapi karena sifat dan kepribadiannya yang sempurna di mata hati tokoh aku. Ia berjasa membangkitkan kembali motivasi berjuang si aku untuk menyelesaikan kuliahnya yang sempat terbengkelai. Cinta  dalam diri kedua insan ini adalah cinta sejati dalam arti luas, yakni cinta yang tidak harus memiliki. Cinta persahabatan. Si aku terus saja membangun cinta sejati, cinta persahabatannya, meskipun sang idola telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Cerpen ini menjadi lain dan khas dibanding cerpen khas para pelajar/mahasiswa yang berakhir dan berbau erotis.
 
Pengarang cerpen cukup bagus menggambarkan watak halus si tokoh utama, cintanya dikendalikan secara wajar, alamiah. Alur cerita memang tidak berkembang karena cerpen lebih menggambarkan suasana batin tokoh, bukan peristiwa atau kejadian. Latar atau setting tidak ditampilkan dengan baik, hanya sekali saja disebut nama “kampus biru,” entah di mana. Kekuatan cerpen ini terletak pada penggambaran secara padat  suasana batin cinta persahabatan tokoh “aku” yang tulus, luhur, dan mulia tanpa ada unsur erotis. Gaya pengungkapan matang, terukur, dan wajar.
 
Kedua, cerpen “Cinta dan Perempuan.” Cerpen ini menghadirkan bayangan kepada pembaca akan sosok seseorang yang tak berwujud, yang dilukiskan sebagai: orang yang terlahir unik, mendatangi planet bumi dengan cara menakjubkan. Dia penyayang, budi baik tiada duanya, berkarakter, dan berintegritas. Seseorang itu anak raja, pewaris takhta kerajaan, punya taman indah di pinggir kota, penuh pesona dan menakjubkan. Deskripsi selanjutnya adalah petuah-petuah panjang seorang opa (kakek) kepada seseorang yang disebut “kau” (perempuan) oleh pengarang/penutur cerita.
 
Membaca cerita ini yang terbayang di hadapan kita adalah lukisan keberadaan seseorang yang tak berwujud yang merupakan sumber cinta sejati dan sempurna. Membaca bolak-balik   cerpen ini dengan menelusuri unsur-unsur pembentuk sebuah cerpen yang baik, tidak kita temukan. Alur cerita serta latar yang membingkai cerita ini tidak jelas dihadirkan pangarang. Keseluruhan cerita hanyalah imajinasi pengarang tentang seseorang yang tak terjangkau yang merupakan sumber cinta sejati di satu sisi, dan di sisi lain adalah  kerinduan cinta sejati dari seseorang (perempuan) kepada seseorang yang abstrak itu. Menurut hemat penulis, cerita “Cinta dan Perempuan” ini “bukanlah”  sebuah cerita pendek yang merupakan salah satu genre (jenis) karya sastra. Cerita ini hanyalah sebuah renungan atau refleksi iman atau refleksi  cinta sejati atau refleksi panggilan hidup seseorang kepada sang pemilik cinta sejati.
 
Ketiga, cerpen “Wanita Sepotong Kepala.” Judul cerpen ini memberi isyarat kepada kita bahwa cerpen ini bukan cerpen realistis. Isyarat itu langsung diperkuat alinea pertama cerpen yang membawa kita ke dunia lain: “Kau membawa beberapa potong dirimu yang belum dikuburkan. Lambat-lambat kau menemui pemuda yang sedang mengerang dari balik semak. Di sana kau menyerahkan kunci yang dulu dipakai pemuda itu untuk mengunci potongan tubuhmu.”
 
Cerpen ini menggambarkan kegelisahan arwah tokoh “kau” yang adalah “wanita sepotong kepala.” Wanita itu korban “mutilasi”  sadis dari lelaki gelapnya yang tidak bertanggung jawab atas janin dalam perut wanita hasil hubungan haram keduanya. Anggota tubuh  wanita dipotong-potong, kepalanya disimpan  dalam “koper.” Jeritan roh  atau arwah wanita terus menghantui  seluruh jiwa raga si pemuda. Pada akhirnya si pemuda ambil keputusan pintas bunuh diri dalam ngarai yang dalam.  Pengarang cerpen ini sungguh cermat menutup cerpen ini dengan alinea penutup yang sangat padu dengan alinea pembuka: “...pemuda itu telah berani menghadapi segala risiko. Ia tak mau menamatkan hidupnya tanpa maaf darimu. Diambilnya kunci pemberianmu dan mencocokkan ke dalam lubangnya. Koper terbuka. Kau tertawa sebab dia kembali tidur bersamamu lagi.”
 
Cerpen ini termasuk cerpen serius, berbobot sastra. Pengarangnya cukup matang mengatur alur cerita setengah sorot balik. Memang tidak gampang merekonstruksi jalan cerita cerpen ini kalau tidak cermat menyelami jalan pikiran pengarang lewat alur cerita yang harus dibaca berulang-ulang. Kata “koper” dan “kunci” dalam cerpen ini bisa bermakna asli sebenarnya bisa pula bermakna simbolik. “Wanita Sepotong Kepala” adalah sebuah cerpen PK yang tidak kalah bobot dengan cerpen-cerpen para cerpenis mapan dalam sastra Indonesia modern.
 
Keempat, cerpen “Langit Jingga pada Sepotong Senja.” Cerpen ini sangat indah dan sukses melukiskan keindahan alam senjahari dari atas batu besar di ujung  kampung tua sunyi yang ditinggal pergi para penghuninya. Si tokoh “aku” yang sudah sepuluh tahun tidak pulang mengunjungi kampungnya yang sunyi,  datang untuk kembali menikmati keindahan menatap langit tepi barat dan menyaksikan jejak sang surya pada petak-petak langit jingga. Pengarang sangat piawai melukiskan kelembutan perasaan sang tokoh “aku” dan cermat melukiskan detail-detail objek yang menjadi sasaran, yakni “detik-detik”  sang mentari terbelah di ufuk barat dihiasi langit berwarna jingga. Coba nikmati kutipan ini:  “Yang aku lihat cuma sekeping saja yang masih memancarkan sinar. Yang sebelahnya sudah tertutup gunung seperti seorang yang dikubur hidup-hidup dengan kepala di atas permukaan tanah dan melemparkan senyum kepada semua orang yang lewat.” Ini salah satu contoh cerpen yang sukses melukiskan detail-detail yang indah, proporsional, yang didukung oleh alur cerita dan latar yang mendukung. Membaca cerpen ini mengingatkan penulis atas cerpen-cerpen Wildan Yatim yang sangat piawai melukiskan suasana alam pedesaan daerah Mandailing di Sumatra Utara, tempat asal cerpenis tersebut.
 
Demikianlah garis besar catatan penulis setelah membaca  empat cerpen PK bulan Mei 2010. Karakter tokoh cerpen belum dieksploitasi secara maksimal, kecuali cerpen “Wanita Sepotong Kepala” dan “Langit Jingga pada Sepotong Senja.” Kedua cerpen ini juga berhasil  membangun alur cerita yang sesuai dengan karakter tokoh. Hanya latar atau setting cerpen tidak spesifik ditampilkan.
 
Kelemahan utama keempat cerpen ini, menurut hemat penulis adalah pengaturan latar atau setting cerita yang tidak spesifik. Latar cerita umum dan mengambang, terutama latar tempat. Latar kampus biru dalam cerpen “Bejana Hati” adalah latar umum, tidak khas. Sesuatu yang sangat padu dan khas kalau kampung tua yang sunyi dalam cerpen “Langit Jingga pada Sepotong Senja” disebutkan nama kampungnya, misalnya salah satu kampung tua di sekitar Eban  (TTU) tempat pengarang menulis cerpen ini. Demikian pun nama sejumlah tempat yang menjadi latar dalam cerpen “Wanita Sepotong Kepala” kalau disebutkan maka akan memunculkan warna lokal cerpen yang spesifik dan kontekstual.
 
Karena kurang  spesifiknya  latar tempat cerpen- cerpen ini,  maka kita tidak tahu,  apakah cerita-cerita  ini terjadi di NTT atau di luar NTT, apakah pengarangnya orang NTT atau bukan, karena latar tempat dan sosial budaya tidak tergambar kekhasan dalam cerita. Padahal latar tempat, waktu, dan sosial budaya NTT adalah latar yang khas  dan unik untuk sebuah  karya sastra prosa seperti cerpen dan novel  yang pada umumnya menarik minat  para kritikus sastra Indonesia modern. Gerson Poyk dan Julius Sijaranamual adalah contoh sastrawan yang telah bersaing di tingkat Nasional lewat latar NTT yang khas dan unik dalam cerpen dan novel. *
 

Oleh Yohanes Sehandi 
Anggota DPRD Provinsi NTT 1999-2009

(Telah dimuat harian Pos Kupang (Kupang) pada 1 Juli 2010)

Post a Comment for "Membaca Cerpen Pos Kupang"