Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mencari Latar NTT dalam Cerpen

Dalam sebuah cerita pendek  (juga dalam novel atau roman), latar atau setting  merupakan salah satu  unsur  intrinsik,  di samping unsur intrinsik yang lain, seperti  tema atau inti cerita, tokoh atau perwatakan, plot atau alur cerita, dan gaya pengungkapan cerita. Unsur-unsur intrinsik ini merupakan  “unsur dasar”  yang membangun/membentuk sebuah cerita  pendek   (cerpen)  atau novel. Eksistensi sebuah cerpen  atau novel ditentukan oleh hadirnya unsur-unsur  intrinsik ini. Tanpa kehadiran unsur-unsur ini, sebuah cerita rekaan atau  cerita   fiksi  (prosa atau  imajinasi),  susah untuk dimasukkan sebagai cerpen atau novel yang merupakan salah satu genre karya sastra.
            
 Di samping unsur intrinsik, cerpen  atau  novel  juga  mengandung  unsur ekstrinsik, yakni unsur/faktor yang ikut mempengaruhi  cerpen atau novel  dari  luar, seperti faktor sosial,  budaya, politik, ekonomi, ideologi, dan lain-lain. Unsur-unsur ekstrinsik ini hanya sekedar memberi kelengkapan penciptaan  sebuah  cerpen atau novel,  dan tidak menjadi dasar penentu eksistensi sebuah  cerpen atau novel.
             
Menurut M.J. Murphy yang dikutip Frans Mido dalam buku Cerita Rekaan dan Seluk-beluknya (1994, hlm. 51), latar adalah  “tempat dan waktu di mana para tokoh hidup dan bergerak. Keduanya mempengaruhi watak/kepribadian, tingkah-laku, dan cara berpikir para tokoh.”  Tidak jauh berbeda dengan M.J. Murphy, kritikus sastra M.S. Hutagalung dalam Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967, hlm. 102-103) menyatakan bahwa latar adalah gambaran tempat, waktu, dan segala situasi/kondisi di tempat terjadinya peristiwa/cerita.  Jakob Sumardjo dalam Fiksi Indonesia Dewasa Ini (1979), Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang (1980), dan Korrie Layun Rampan dalam Dasar-Dasar Penulisan Cerita Pendek (1995), merumuskan pengertian  latar   atau setting  “hampir sama” dengan yang dirumuskan M.J. Murphy dan M.S. Hutagalung di atas.
             
Bertolak dari pengertian latar atau setting sebagaimana dirumuskan sejumlah ahli/pemikir/kritikus sastra/fiksi  di atas, saya mencoba  “mencari”  latar daerah/wilayah/provinsi Nusa Tenggara Timur (latar NTT) dalam cerpen-cerpen Pos Kupang  (PK) yang  dengan setia hadir  kepada  para  pembacanya   setiap  edisi hari Minggu. Cerpen-cerpen PK yang saya telusuri/telaah  ini  mulai  edisi  pertengahan April 2010 (11 April 2010) sampai dengan  awal Agustus  2010  (8  Agustus 2010).  Jadi,   selama 4 bulan.  Adapun perinciannya adalah:  April 3 cerpen, Mei 5 cerpen, Juni 5 cerpen, Juli 4 cerpen, dan Agustus 2 cerpen. Jadi, jumlah cerpen yang ditelusuri/ditelaah   latarnya  sebanyak  19  cerpen.

Hanya Satu Cerpen
             
Dari 19 cerpen yang  ditelusuri  itu, yang  menggunakan  daerah/wilayah/provinsi      NTT sebagai  latar  cerpen  (jangan kaget)  “hanya  satu (1)  cerpen !”  Sebagian besar  cerpen  menggunakan  “latar  umum”  (bisa terjadi di mana saja dan kapan saja)  sebanyak  14  cerpen. Sedangkan  latar   yang   “tidak  jelas”  ada  4 cerpen. Tentang  tiga  jenis  latar yang saya temukan pada 19  cerpen  ini akan   dipaparkan  berikut ini.
             
Pertama,  cerpen yang menggunakan   “latar NTT.”  Satu-satunya cerpen (dari 19  cerpen) yang menggunakan latar NTT adalah  cerpen  “Firasat”  karangan Joe Wassa (PK, 25/7/2010). Wilayah gerak tokoh-tokoh cerpen ini (latar tempat) adalah Kupang, Aimere, dan Borong (Manggarai Timur). Latar waktu pun, terungkap juga  dalam cerpen  ini,  di mana cerita berlangsung  sekitar  satu tahun,  dimulai  6 November 2008 sampai dengan Agustus 2009. Meskipun latar situasi/kondisi sosial budaya khas NTT belum cukup dieksploitasi oleh pengarang, namun  cukup bisa terekam dalam  gaya pengungkapan  lewat dialog (melalui HP) antara kedua tokoh yang berperan.
             
Cerpen “Firasat” menceritakan “kisah”  percintaan antara Kure (seorang pegawai kantoran di Kupang)  dengan Rika (seorang mahasiswi   tamat kuliah, asal Borong). Kisah cerpen dimulai ketika Rika meninggalkan Kupang, pulang kampung ke Borong ikut kapal feri jurusan Aimere:  “Samar-samar kapal feri jurusan Aimere-Flores terlihat semakin jauh, semakin kecil, dan cuma menyisakan satu titik hitam nan kecil di tengah lautan dan lalu menghilang dari pelupuk mata Kure, seiring butir-butir air mata yang membasahi wajahnya yang terlihat kusut. Sementara itu pesona mentari senja perlahan-lahan turun menyentuh batas cakrawala dan langit pun berubah gelap seiring waktu menghantarkan malam.”  Ini sekedar contoh pelukisan latar  dan  situasi yang cukup baik.
            
 Gaya  pengungkapan   khas NTT  sekaligus  menunjukkan latar  situasi/kondisi cerpen,  “sedikit”  terekam lewat pembicaraan telpon (HP) antara Kure dan Rika: “Baik sudah, biar tahun depan kaka bisa pergi lamar ade sesuai rencana kita,” sambung Kure bahagia. ”Janji    ya kaka jangan sampai ingkar pokoknya Rika tetap tunggu kaka,” balas Rika mesra.  Dialog selanjutnya:  “Ingat kaka, hanya Rika yang punya kaka punya hati oh,” pinta Rika mesra. “Ok sayang. Ingat juga e hanya kaka yang ada di Rika pung hati,”  sahut Kure tak kalah mesranya menutup pembicaraan.  Gaya pengungkapan dalam bentuk pilihan kata dan frasa lisan/bahasa tutur  khas orang NTT cukup  terlihat, seperti:  baik sudah, kaka bisa pergi lamar ade, pokoknya Rika tetap tunggu kaka, hanya Rika yang punya kaka punya hati oh, ingat juga e, hanya kaka yang ada di Rika pung hati.
             
Cerita selanjutnya, sang  perjaka Kure nekat pergi melamar Rika di Borong.  Sayang, sesampai di Borong Kure  dengan  mata dan hati  perih dan kosong menyaksikan sang “ade  Rika”  terkasih sedang duduk manis di pelaminan dalam acara pesta nikah yang  baru saja terjadi satu jam sebelumnya. Rika nikah dengan lelaki pilihan  orang  tua  berupa kawin tungku sesuai dengan  adat kebiasaan orang Manggarai. Anak om nikah dengan anak  tante guna melanggengkan hubungan keluarga   dan  adat. Kure  dengan  hati  hampa  kembali  Kupang.
            
 Cerpen  “Firasat”  ini,  menurut hemat  saya,  termasuk  cerpen   “baik  dan berhasil,”   meskipun   bukan  contoh  cerpen    PK  yang  ideal  dari segi “bobot” sastranya. Cerpenis  Joe Wassa  sudah  dengan  bagus  menggunakan latar NTT  yang  dia  kuasai  dan   akrabi.  Plot atau alur cerita  mengalir  enak dengan pelukisan yang menarik pula,  meskipun agak datar. Dialog antara dua tokoh yang tengah dimabuk asmara  (protagonis dan antagonis) berlangsung secara wajar sebagai orang muda NTT dengan logat NTT yang wajar pula.

Memang, tema  yang  diangkat  adalah  tema lama,  “kasih tak sampai,”  mirip tema zaman Siti Nurbaya dan  Azab dan Sengsara  tahun 1920-an. Untuk  sejumlah  kecil  daerah  tertentu  yang  terpencil  di NTT, saya kira tema ini masih relevan juga.  Dari segi unsur intrinsik, yakni unsur-unsur   yang  membentuk/membangun   sebuah   cerpen, cerpen  “Firasat”  karya Joe Wassa ini telah  memenuhi  semuanya itu.
             
Kedua, cerpen yang menggunakan “latar umum.”  Ada 14  cerpen, yakni:  “Kertas Putih” (Hiro Nitsae, PK, 11/4/2010), “Yang Tersisa” (Kristo Suhardi, PK, 18/4/2010), “Bejana Hati” (R. Blast D. Lejap, PK, 2/5/2010), “Wanita Sepotong Kepala” (Januario Gonzaga, PK, 16/5/2010), “Langit Jingga pada Sepotong Senja” (Wendly Jebatu, PK, 23/5/2010), “Masih di Sini” (Lolik Luon, PK, 6/6/2010), “Pintu Kamar 29” (Charles Rudolf Bria, PK, 20/6/2010), “Persahabatan dan Cinta” (Oluvia Novita, PK, 27/6/2010), “Mata” (Erman Loy, PK 27/6/2010), “Jasmin” (Cornelis Djeki, PK, 4/7/2010), “Harta Terakhir” (Fr. Setu Fransiskus Aprianus, PK, 11/7/2010), “Cinta di Dusun Kecil” (Mariana Sogen, PK, 18/7/2010), “Diary dari Surga” (M.Y. Natalia Meo Siga, PK, 1/8/2010),  dan “Masih Ada Doa Untukku” (Victor Lende, PK, 8/8/2010).   Ke-14  cerpen yang menggunakan  “latar umum” di atas, setelah ditelusuri,  masing-masing cerpen mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Ada cerpen yang bagus  dengan   tokoh-tokoh   cerita  dan  mengembangkan karakter/watak tokoh-tokoh itu  dengan bagus. Ini  dapat terlihat pada cerpen “Yang Tersisa” (Kristo Suhardi), “Wanita Sepotong Kepala” (Januario Gonzaga), “Jasmin” (Cornelis Djeki), “Cinta di Dusun Kecil” (Mariana Sogen), dan “Masih Ada Doa Untukku” (Victor Lende). Rata-rata cerpenis cukup serius menggarap cerita dengan plot atau alur cerita yang terjaga.  Pelukisan latar  dan  gaya pengungkapan yang cukup  baik  dan   mengesankan  ada pada cerpen  “Langit Jingga pada Sepotong Senja” (Wendly Jebatu), “Jasmin” (Cornelis Djeki), dan “Masih Ada Doa Untukku” (Victor Lende). Cerpen-cerpen yang lain berada pada posisi rata-rata.

Latar Tidak Jelas
            
 Jenis  cerpen  yang  ketiga  adalah  cerpen  yang  “latar  tidak jelas.”  Ada 4 cerpen        yang  latarnya  tidak  jelas  atau  kabur, yakni:  “Ketika Kelam Mendekam dalam Rahim Negeri Kami” (Mario F. Lawi, PK, 25/4/2010), “Cinta dan Perempuan” (Anice Tunayt, PK, 9/5/2010), “Sekuntum Mawar di Taman Rumah Kami” (Amanche Franck, PK, 30/5/2010), dan “Aku dan Rumahku” (Alfredo S.H. Pareto, PK, 13/6/2010).
             
Keempat cerpen  di  atas  latarnya  tidak jelas  atau  kabur, karena cerpen hanya berisi pelukisan  atau  penggambaran  suatu  keadaan atau  suasana, baik keadaan/suasana batin/ iman/kepercayaan/keyakinan si pengarang, maupun keadaan/suasana objek yang menjadi  sasaran  pelukisan/penggambaran.  Karena  hanya berupa lukisan/gambaran, maka sejumlah unsur intrinsik  yang   menjadi  “dasar  pembentukan”  sebuah  cerpen,  menjadi kabur. Tidak jelas  kehadiran  tokoh yang  “berinteraksi” dalam  keempat  cerpen  di atas, baik tokoh protagonis maupun antagonis.  Padahal,  interaksi antara tokoh menghasilkan  kejadian-kejadian atau  peristiwa-peristiwa,  kejadian-kejadian  itulah  yang  membentuk  plot  atau  alur  cerita.
 
Tema keempat cerpen  ini  berkaitan  dengan  ungkapan   iman, kepercayaan, cinta  kasih, serta pesona dan rasa syukur atas segala cinta  kasih  yang  dinikmati.  Hasilnya  mirip  sebuah  renungan, khotbah,  pendalaman iman, refleksi iman, refleksi panggilan, dan yang sejenisnya. Cerita  seperti  ini,  susah  sekali untuk dimasukkan  sebagai  sebuah  cerpen  yang  merupakan salah satu genre karya sastra. Sebagai sebuah  karya imajinasi  ya, tapi untuk dimasukkan  sebagai  sebuah  cerpen,  menurut  hemat  saya,  tidak.
 
Dalam  artikel  opini   “Membaca Cerpen Pos Kupang”  (PK, 1/7/2010),  saya mengungkapkan   harapan   sekaligus  kerinduan  agar  kiranya  suatu  waktu,  cerpen-cerpen  PK  bisa   bersaing  dalam  pergulatan  sastra  Indonesia  modern  di tingkat Nasional. Dari segi kemampuan atau  potensi yang dimiliki,  para pengarang   (calon  pengarang)  kita  tidaklah kalah dibandingkan  dengan  pengarang-pengarang dari daerah lain. Rata-rata penulis cerpen PK adalah  sarjana dan para  mahasiswa  yang  sebagian  besar  belajar  filsafat  dan  teologi.
 
Yang  mungkin perlu  dipacu  sekaligus  penggerak motivasi   para pengarang kita   adalah  “strategi”  memilih tema yang khas NTT. Tidak sulit  mencari  tema  khas  NTT,  sebut saja  misalnya:  alam  yang  indah,  tanah  gersang,  kehidupan yang keras,    busung lapar,  rakyat miskin, miskin karena bodoh/malas,   malas tapi mau kaya, musibah tanah longsor, gempa bumi, tenggelam kapal,  baku bunuh kakak beradik,  perang tanding, percaya gaib/obat hitam, adat  yang  membelenggu,  upacara  penguburan,  pesta  adat  bergengsi,  dan lain-lain.
 
Tema-tema khas ini  akan melahirkan  tokoh-tokoh yang watak/karakternya khas NTT pula,   seperti:  keras kapala, ulet, mudah emosi, suka miras,  punya naluri  bunuh, namun mudah berbelas kasih, suka  mengampuni,  kekeluargaan,  jujur,  tidak dendam,   terus terang, dan beriman.  Kalau  tema  dan  “tokoh”  (maksudnya tokoh  imajiner)  sudah  lahir/diciptakan, tinggal  menentukan   latar  atau  setting   (tempat  dan  waktu)  kejadian  yang  pas,  dan itu  tidak  sulit,  tinggal  memilih   di mana  saja  di  seluruh  pelosok  NTT  ini.
 
Dengan  tema yang   khas NTT,  maka  tokoh-tokoh  pun  berkarakter  khas  NTT pula, kemudian dipadu  dengan  latar   NTT  yang khas,  unik, eksotik,  tandus, dan  seram menakutkan,  menjadi  “modal  dasar  yang  kuat”  bagi  penciptaan   karya-karya   sastra  NTT untuk bersaing di tingkat Nasional dalam pergulatan sastra Indonesia modern.  Keunggulan  karya-karya  sastra  Gerson Poyk dan Julius Sijaranamual,   menurut  hemat  saya,   terletak  pada  kekuatan  kedua  sastrawan   asal   NTT  ini mengangkat  tema/tokoh/latar  NTT  yang khas      ke dalam  karya-karya  sastra  mereka, baik  cerpen  maupun  novel. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Bahasa dan Sastra Indonesia

(Telah dimuat harian Pos Kupang (Kupang) pada 21 Oktober 2010)



Post a Comment for "Mencari Latar NTT dalam Cerpen"