Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bahasa Daerah Kita: Bukan Salah Bunda Mengandung

Cerita dan berita duka tentang kepunahan atau  ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah kita di tanah air,  seringkali kita dengar dan baca lewat berbagai media massa. Cerita dan berita duka yang sama menimpa juga sejumlah bahasa daerah kita di Nusa Tenggara Timur (NTT). Artikel opini Flores Pos (28/7/2010) yang berjudul “Bahasa Daerah Kita,” tulisan Alexander Bala Gawen, kembali menyentil sekaligus menggugah kesadaran kita untuk berpikir lagi, seperti apa dan bagaimana nasib bahasa-bahasa daerah kita nanti dalam kurun waktu yang akan datang, baik untuk  jangka pendek dan menengah maupun untuk jangka  panjang.

Ancaman kepunahan yang dihadapi  bahasa-bahasa daerah akhir-akhir ini, memang semakin hari semakin nyata. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi yang menggeser konsep dan paradigma komunikasi dan informasi, membuat bahasa daerah tak berdaya, tergagap-gagap, sebagian sudah mulai meminggir, dan sebagian lagi sudah terpinggirkan. Harian Kompas (9/7/2010) melaporkan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, bahwa ada 15 bahasa daerah di Indonesia yang “telah punah” dan 150-an lainnya “terancam punah” dari 700 lebih bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Berita duka yang memilukan ini disampaikan oleh Sugiyono, Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, yang berada di Banjarmasin dalam rangka melakukan sosialisasi UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Tiga hari  sebelumnya, Kompas (6/7/2010) melaporkan berita duka yang  sama dari Ende, Flores, NTT, bahwa penulis dan peneliti aksara (bahasa) Lota di Ende, Maria Matildis  Banda, menyatakan bahwa  pada saat ini aksara (bahasa) Lota di Ende “telah punah” dan sepertinya dibiarkan punah karena tidak diajarkan di sekolah.

Dalam Konferensi Internasional Multidisiplin di Ruteng, Manggarai, muncul kegelisahan akan punahnya bahasa daerah Manggarai, karena itu ada gagasan agar dibuatkan peraturan daerah (Perda) untuk mengoptimalkan penggunaan bahasa tersebut (Pos Kulang, 21/7/2010). Kegelisahan yang sama terjadi di Kabupaten Ende, yang ditanggapi serius oleh Pemda Ende ( Dinas Pariwisata Ende) dengan menyelenggarakan Seminar Bahasa Ende di Aula Olangari  yang (diharapkan) merekomendasikan bahasa daerah Ende jadi “muatan lokal bahasa” di tingkat Sekolah Dasar (Flores Pos, 22/7/2010). Visi dan semangat yang dipompakan dalam seminar itu oleh Kadis Pariwisata Ende, Anna Anny Labina, kiranya bisa menjadi “berita hiburan” dalam suasana perkabungan kepunahan/ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah.

Cerita dan berita tentang kepunahan bahasa-bahasa daerah di tanah air, tentu “merisaukan” masyarakat komunitas penutur bahasa daerah tersebut, sebab bagaimanapun, kehilangan  bahasa daerah sama dengan kehilangan warisan budaya nenek moyang yang tak ternilai,  yang tentu tidak  mungkin tergantikan. Para ahli dan peneliti bahasa  (bahasa daerah)  pun bersedih, yang selama ini punyai kepedulian dan terlibat dalam penelitian/penulisan  bahasa daerah di tanah air, seperti Ayatrohaedi, Stephanus Djawanai, Henny Lomban Ticoalu, Wayan Bawa, Yos Inyo Fernandez, EKM Masinambow, Aron Meko Mbete, Lucy R. Montolalu, Suripan Sadi Utomo, dan lain-lain untuk sekedar menyebut beberapa nama.

Kehilangan Ensiklopedi

Salah seorang di antara para ahli bahasa (linguis) yang telah lama gelisah dan risau itu adalah Prof. Dr. Stephanus Djawanai, M.A. Pada waktu dikukuhkan menjadi guru besar (profesor) di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta,  pada 4 November 2009,  pakar linguistik  alumnus University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat, ini menunjukkan kerisauannya yang mendalam. Beliau melihat bahasa itu adalah  manusia dan kemanusiaan. “Telaah Bahasa, Telaah Manusia” adalah judul pidato ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar yang keempat asal Provinsi NTT. Tiga profesor lain sebelumnya adalah Herman Yohanes (sekaligus Rektor I UGM), Yeremias Keban, dan Charles Rangga. Di hadapan sekitar 500 tamu undangan, di antaranya 7 orang profesor dari UGM, UI, Atma Jaya, Undip, Udayana, dan Sanata Dharma, Djawanai  yang menulis disertasi dengan judul  Ngadha Text Tradition: A Linguistic Investigation In to The Collective Mind of The Ngadha People, Flores, menyatakan bahwa sampai dengan saat ini tingkat kepunahan bahasa manusia sudah mencapai lebih dari 40 % (Pos Kupang, 7/11/2009).

Dalam rubrik  “Tamu Kita”  Pos Kupang (20/3/2010) Djawanai yang lahir di Bajawa, Ngada, pada 10 Oktober 1943, ini menjelaskan panjang-lebar tentang cara pandangnya yang melihat  “bahasa dan manusia” sebagai satu-kesatuan, yang beliau sebut sebagai Konsep Singularitas. Punahnya bahasa (terutama bahasa-bahasa daerah), menurut konsep ini, sama dengan punahnya gagasan manusia, punahnya peradaban, hilangnya sarana manusia untuk mengetahui jatidirinya, untuk berbicara, dan menghimpun pengalaman kehidupan dan dunia. “Matinya satu bahasa sama dengan hilangnya satu ensiklopedi manusia,” tandas Djawanai, yang kini berkantor di Universitas Flores, Ende, dalam rangka membantu program-program Universitas Flores, setelah purnabakti dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Dalam penjelasannya di Banjarmasin (Kompas, 9/7/2010), Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono, menyebutkan sejumlah penyebab punahnya bahasa daerah atau bahasa daerah ditinggalkan penuturnya. Pertama, masyarakat pemakai bahasa daerah itu tidak lagi mau menikah dengan orang dari komunitasnya yang satu bahasa. Kedua, kuatnya kecenderungan masyarakat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain terutama ke kota-kota (urbanisasi). Ketiga, perkembangan sarana teknologi dan komunikasi modern yang menggunakan bahasa asing atau minimal bahasa Indonesia. Tentu masih ada lagi penyebab lain, misalnya ketidakmampuan bahasa daerah sebagai sarana perekam dan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang  menjadi trend pada era globalisasi ganas pada saat ini.

Mencermati penyebab punahnya bahasa daerah, sebagaimana disebutkan di atas, memang membuat posisi bahasa daerah “terjepit.” Masalah nikah dalam komunitas satu bahasa, misalnya. Apa mungkin melarang orang untuk menikah  (istri atau suami) di luar suku  bangsanya, atau memaksa orang muda untuk terus mengambil “anak om” yang sudah menjadi tradisi turun-temurun, demi  melestarikan suatu bahasa daerah, sementara sudah diketahui umum bahwa perkawinan dalam satu suku secara genetika tidak menguntungkan, karena akan menghasilkan keturunan yang lemah secara fisik dan mental (intelektual). Belakangan ini juga gereja Katolik tidak mau memberi sakramen pernikahan pasangan nikah dalam satu garis keturunan (anak om). Kemudian, faktor pindah tempat (urbanisasi).

Apa mungkin orang dilarang untuk mencari nafkah atau kerja di tempat lain (di kota), hanya untuk melestarikan bahasa daerahnya, sementara di wilayah daerah suku tidak memungkinkannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk kehidupan rumah tangganya. Keadaan akan menjadi lain kalau di wilayah sukunya itu dibuka lapangan kerja yang luas dan menjamin kehidupan yang layak bagi warganya. Terakhir, faktor sarana komunikasi dan informasi serta faktor sarana perekam dan penyebar ilmu pengetahuan dan teknologi, rupanya bahasa daerah “sungguh tidak berdaya.” Hampir semua konsep ilmu pengetahuan  dari berbagai bidang, teknologi, dan komunikasi berasal dari luar, dari Barat atau negara maju yang lain, dengan menggunakan sarana bahasa asing,  minimal dalam bahasa Indonesia.

Mungkin yang masih bisa bertahan dalam bahasa daerah adalah sarana perekam dan penyebar budaya lokal (dalam arti sempit), yaitu dalam pembicaraan adat-istiadat, cerita rakyat/hikayat/legenda/fabel, serta ritus-ritus adat berkaitan dengan arwah dan nenek moyang. Ungkapan-ungkapan adat-istiadat dan lagu-lagu daerah kalau tradisinya kuat, masih bisa bertahan. Kita tidak bisa  memastikan, meski bisa memperkirakan, bahwa dalam perjalanan waktu bahasa daerah akan  terkikis perlahan-lahan, entah sampai kapan, kalau tidak ada langkah-langkah konkret untuk melestarikan, membina, dan mengembangkannya.

Langkah-langkah konkret  itu  kiranya baru bisa menjadikan  bahasa daerah  eksis di tengah gempuran bahasa-bahasa lain yang membawa konsep ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi modern yang menggoda dan menghanyutkan. Ini tentu “Bukan Salah Bunda Mengandung.” Nenek moyang telah  berjasah menciptakan peradaban lewat bahasa, tetapi perkembangan  kebudayaan  manusialah  yang membuat “ensiklopedi peradaban  manusia” yang tak ternilai ini punah.

Politik Bahasa Daerah

Kerisauan atau kecemasan akan punahnya bahasa-bahasa daerah di tanah air,  sudah lama menjadi “bahan perbincangan”  para ahli bahasa kita sejak disepakatinya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (bahasaNasional) pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda) sampai dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada 18 Agustus 1945 (penetapan UUD 1945). Pada waktu  Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah, pada 25-28 Juni 1938 dan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, Sumatera Utara, pada 28 Oktober-2 November 1954, pembicaraan/pembahasan tentang berbagai kemungkinan rumusan “kebijakan Nasional di  bidang kebahasaan” guna membina dan mengembangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa di Indonesia (bahasa-bahasa daerah) terus diintensifkan.

Baru pada “Seminar Politik Bahasa Nasional” pada 25-28 Februari 1975 di Jakarta, berhasil dirumuskan kebijakan Nasional di bidang kebahasaan, yang disebut Politik Bahasa Nasional. Prof. Dr. Amran Halim, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P dan K, menjadi “arsitek” perumusannya dengan bantuan/dukungan penuh Prof. Dr. Anton Moeliono dan Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana.  Politik bahasa Nasional dirumuskan sebagai “kebijaksanaan Nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan.”  Masalah kebahasaan itu merupakan jaringan masalah yang dijalin oleh  (1) masalah bahasa Nasional; (2) masalah bahasa-bahasa  daerah; (3) masalah bahasa-bahasa asing  (Politik Bahasa Nasional, Jilid I dan Jilid 2, 1981).

Dalam politik bahasa Nasional, “bahasa daerah” dirumuskan sebagai bahasa perhubungan  intradaerah di wilayah RI, merupakan bagian daripada kebudayaan Indonesia yang hidup sesuai dengan penjelasan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai  (1) Lambang kebanggaan daerah; (2) Lambang identitas daerah; (3) Alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Dalam kaitannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai  (1) Pendukung bahasa Nasional; (2) Bahasa pengantar di Sekolah Dasar pada daerah tertentu; (3) Alat pengembang serta pendukung kebudayaan daerah. Usaha-usaha pembinaan dan pengembangn bahasa daerah meliputi kegiatan  (1) Inventarisasi bahasa-bahasa daerah dalam segala aspeknya; (2) Peningkatan mutu pemakaian dan pengajaran bahasa daerah.

Pengajaran Bahasa Daerah

Dalam politik bahasa Nasional (Politik Bahasa Nasional, Jilid 2, 1981, hlm 155)  pengembangan pengajaran bahasa daerah bertujuan meningkatkan mutu pengajaran bahasa daerah sedemikian rupa sehingga penuturnya memiliki  (1) Keterampilan berbahasa daerah;  (2) Pengetahuan yang baik tentang bahasa daerah; (3) Sikap positif terhadap bahasa daerah dan sastranya. Di samping itu, pengajaran bahasa daerah juga sebagai sarana yang ikut (1) Menunjang pembinaan unsur kebudayaan Nasional; (2) Mengarahkan perkembangan bahasa daerah; (3) Membakukan ragam-ragam bahasa daerah.

Untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa daerah tersebut,   perlu dirancang program-program kebahasaan sebagai berikut: (1) Penelitian masalah pengajaran bahasa daerah dan jalan pemecahannya; (2) Perumusan kurikulum yang mencapai tiap aspek tujuan menjadi kelompok satuan yang dapat diukur menurut tingkat dan jenis sekolah; (3) Persiapan program khusus pengajaran bahasa daerah yang secara langsung dapat mengahasilkan ahli bahasa daerah; (4) Penentuan didaktik dan metodik bahasa yang paling cocok; (5) Pengembangan kepustakaan.

Apa yang tengah diupayakan di Kabupaten Ende agar bahasa Ende  menjadi  “muatan lokal bahasa”  di tingkat Sekolah Dasar (SD),  perlu disambut dengan gembira sebagai langkah terobosan untuk membina dan mengembangkan bahasa daerah (Ende) sekaligus juga sebagai penjabaran atau tindak lanjut politik bahasa Nasional dalam  pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 4 Agustus 2010)            


Post a Comment for "Bahasa Daerah Kita: Bukan Salah Bunda Mengandung"