Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Novel Suara Samudra

Judul: Suara Samudra
Penulis: Maria Matildis Banda
Genre: Novel
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan 1: 2017
Cetakan 2: 2018
Cetakan 3: 2019
Tebal: x + 485 halaman
ISBN: 978-979-22-5289-0
Kontak WA: 0852 3867 9043

Gambaran Isi Buku

Novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda ini mengangkat warna daerah atau warna lokal Lamalera, Lembata, NTT dalam panggung sastra Indonesia modern dengan sangat sempurna. Inilah salah satu novel dalam sastra Indonesia yang cukup berbobot sastra. Novel Suara Samudra ditulis dengan latar desa nelayan dan penangkapan ikan paus secara tradisional di Lamalera, Lemabata NTT. Novelis Maria Matildis Banda, yang biasa dianggil Mery Banda, menulis novel ini dengan pengetahuan luas lewat riset cukup mendalam.

Novelis Mery Banda lahir pada 29 Januari 1960 di Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT. Meraih gelar Sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. Gelar Magister (S-2) diraih di Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Gelar Doktor (S-3) diraih di Fakultas Pascasarjana Universitas Udayana. Pada saat ini beliau menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Pernah menjadi dosen di Universitas Nusa Cendana, di Kupang, Universitas Flores, di Ende, dan STFK Ledalero, di Maumere. Telah menerbitkan beberapa judul buku novel yang berbobot, antara lain Surat-Surat dari Dili (2005), Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015), Doben (2016), dan Bulan Patah (2021).

Novel ini mengangkat tema musibah yang dialami para nelayan Lamalera karena juru tikam atau lamafa salah menikam ikan paus. Lamafa Arakian dari peledang (perahu) Martiva Pukan menikam seguni, yakni induk paus yang masih menyusui anaknya. Dua lamafa lain dari peledang Sare Dame dan Hama Hama ikut melakukan kesalahan yang sama. Dalam tradisi orang Lamalera, paus yang sedang menyusui atau yang sedang bunting dan anak paus tidak boleh ditikam. Itu namanya pemali. Apabila melanggar pemali, maka akan mendapat musibah.

Mengapa lamafa Arakian sebagai tokoh utama novel ini salah menikam? Karena dia masih memikul dosa masa lalu yang belum terselesaikan. Seturut tradisi dan ajaran leluhur, nelayan yang melakukan ola nua, yakni mencari nafkah di laut, harus bebas dari berbagai dosa, baik secara vertikal kepada Tuhan yang Mahakuasa dan para leluhur, maupun horisonatal kepada sesame dan lingkungan.

Dosa di Darat, Terhukum di Laut

Novelis Mery menggambarkan, pada pagi hari itu, sembilan peledang nelayan Lamalera menuju ke perairan Lamalera. Rombongan paus yang menampakkan diri dengan menyemburkan air di permukaan laut untuk bernapas. Sembilan peledang itu berada di tengah-tengah rombongan ikan paus. Peledang Sare Dame, Hama Hama, dan Martiva Pukan berada pada posisi berdekatan, saling menunggu satu sama lain. Arakian, lamafa dari Martiva Pukan, bersiap-siap melompat tinggi dengan galah di tangan dan tempuling di ujungnya. Hatinya bergetar.

Arakian kini berhadapan dengan rombongan paus dalam jumlah banyak, Konflik batin bergejolak dalam hatinya. Apakah paus itu ditikam atau tidak? Apakah pantas atau tidak? Konflik batin Arakian semakin memuncak tatkala rombongan paus berjarak dekat, sekitar dua meter.


Lamafa Melayang di Udara Menikam Paus (Sumber: m.kaskus.co.id)

Adapun salah satu beban dosa Arakian terkait dengan Ana Mariana, mantan pacarnya. Mariana dibawa lari secara paksa oleh Romansyah, yang kemudian menjadi pengusaha di Denpasar. Pada malam dinihari sebelum Mariana dibawa lari Romansyah, Arakian dan Mariana melampiaskan gemuruh cinta kedua lawan jenis ini di dalam lambung peledang Martiva Pukan di pantai Lamalera. Itu terjadi dua puluhan tahun lalu.

Benih yang ditanam Arakian dalam rahim Mariana, teman kelasnya di SMAK Syuradikara, Ende, kemudian melahirkan anak kembar, Aurelia Lamberta Lera (dipanggil Lyra) dan Aurelius Lambertus Dika (yang kemudian menjadi pastor, dipanggil Pater Lama). Arakian belum berdamai dan minta maaf kepada Mariana dan kedua anaknya. Kedua anaknya, Lyra dan Pater Lama, terus penasaran mencari jejak bapa mereka di Lamalera.             

Di samping bermasalah dengan Mariana, Arakian juga bermasalah dengan istrinya Ina Yosefina. Yosefina direbutnya secara paksa dari pacarnya Lelarat. Lelarat adalah saudara sepupunya Arakian. Yosefina direbut paksa keluarga besarnya, agar Arakian tidak larut putus asa karena kehilangan cinta pertamanya Mariana. Meskipun sudah hidup berkeluarga selama dua puluhan tahun, Arakian tidak menggauli Yosefina sebagaimana layak suami-istri. Arakian menyimpan beban batin. Belum minta maaf kepada Yosefina, juga kepada Lelarat.

Ketika Lamafa Salah Tikam

Kini samudra menggelora. Perahu terombang-ambing. Matros mendayung sekuat tenaga menghadapi koteklema (paus besar) yang timbul tenggelam. Arakian berdiri tegak di atas hamma lolo dengan napas tersengal. Batinnya terus berkecamuk, bagaimana Mariana, Yosefina, Lelarat. Jantungnya kembali berdebar ketika suara lamafa lain memberi isyarat sudah tiga paus sudah ditaklukkan, dua koteklema, satu anak paus. Teriakan dan loncatan lamafa berikutnya menampilkan sebuah pentas antara langit di atas dan samudra raya di bawahnya (Banda, 2017: 170).

Apakah Arakian harus menikam? Harus ambil keputusan? Dosa menumpuk di daratan, kini diuji di lautan. Bagaimana dengan Mariana, Yosefina, Lelarat, dan anak-anaknya? “Apa yang terikat di daratan, terikat pula di lautan.” Arakian ingat nasihat kakeknya sewaktu kecil dulu.

“Sambil berteriak Arakian melompat dan menikamkan kaffe numung di ujung tlake atau bambu berujung tempuling dengan segenap tenaganya, dengan seluruh kekuatan tubunya yang terjun dan jatuh, dan menekan dalam-dalam tubuh raksasa itu dalam beberapa detik, sebelum tlake dilepaskan dan dirinya terjerembab jatuh dalam pelukan samudra raya” (Banda, 2017: 174).

Lamafa dari Sare Dame dan Hama Hama ikut terbang meloncat, terjun dengan tikaman-tikaman berikutnya. Induk besar seguni itu mengamuk. Anaknya sudah ditikam lamafa lain. Hanya dengan sekali tikam, anak seguni itu mati. Induk seguni mengamuk sejadi-jadinya. Dia merasa terluka. Dia tahu pula anaknya sudah ditikam. Induk seguni menerjang. Peledang Hama Hama langsung terbongkar. Sejumlah induk paus yang tersisa bergerak mendekati anak seguni yang tertikam, menyentuh tubuhnya sebentar dengan mulut, kemudian melanjutkan perjalanan.

Sial bagi Arakian! Dia melakukan kesalahan fatal. Sengenap nelayan dalam Martiva Pukan panik. Kesalahan fatal telah terjadi. Arakian menikam induk seguni. Itu pemali dalam adat orang Lamalera. Sudah ada perjanjian dengan para leluhur, haram hukumnya untuk menikam paus jenis seguni. Juga seguni yang sedang bunting dan anak paus masih kecil.

Musibah Salah Tikam

Laut seputar induk paus itu berwarna merah. Kedua peledang mengepung untuk saling membantu, tetapi tiba-tiba seguni mengapung di permukaan. Dalam sekali putar ekornya menghantam Sare Dame dan langsung pecah berantakan. Para nelayan berhamburan di lautan lepas. Yang lain berhasil naik ke Martiva Pukan. Yang lain entah ke mana dalam gelombang yang sedang mengganas. Yang tersisa tinggal Martiva Pukan dengan jumlah nelayan 17 orang. Sudah melampaui kapasitas peledang.

Dengan sekuat tenaga para nelayan mengikuti tarikan seguni yang terluka dengan harapan seguni akan kelelahan dan mati. Setelah mati, akan segera ditarik ke pantai Lamalera. Namun apa yang terjadi? Justru sebaliknya. Paus induk ini menenggelamkan dirinya sehingga tidak bisa ditikam para lamafa. Paus induk terus menyeret Martiva Pukan ke samudra mahaluas.

Para awak Martiva Pukan terpanah. Ritual kea sedang berlangsung di bawah permukaan laut. Ritual kea adalah ritual rombongan ikan paus yang satu per satu menyentuh peledang kemudian menyentuh beberapa kali paus yang tertikam, secara perlahan dengan mulutnya, sebagai tanda perpisahan atau ucapan selamat tinggal, setelah itu perjalanan dilanjutkan (Banda, 2017: 186).

Seguni terus menyeret makin jauh di ke kedalaman. Posisi peledang kini tidak tahu lagi ada di mana. Satu-satunya keputusan adalah memutuskan tale leo atau tali penghubung induk seguni dengan Martiva Pukan. Dengan putusnya tali penghubung ini, maka perahu terbebas dari seretan paus induk, namun resiko baru terjadi, yakni Martiva Pukan terampung tak tentu arah. Tali penghubung pun diputuskan. Begitu putus, terjadi hal aneh yang membuat para nelayan tercengang.

“Beberapa detik setelah tale leo diputuskan, sekonyong induk seguni muncul di permukaan laut, menyemburkan air yang bercampur darah untuk mengambil napas. Tampak tali-temali di tubunya, kaffe numung atau tempuling yang tak terlihat, tetapi ada. Ketika paus muncul hilang timbul di permukaan laut, para nelayan menahan napas, menatap tak berkedip sekejab pun. Dia dapat menghancurkan peledang dengan segenap nelayannya dengan sekali sundul ataupun sekali tabrak. Namun, itu tidak dilakukannya. Bukan sifat koteklema seguni mau mengambil kesempatan dan membalas dendam secara manipulatif. Meskipun dia hanya seekor koteklema seguni, akan tetapi kepekaan dan rasa hormatnya pada sesama makhluk hidup yang berbeda dari kelompoknya, tetap tertanamkan” (Banda, 2017: 279-280).

Tak mereka sadari, sudah empat hari tiga malam mereka berada di lautan lepas. Jagung titi sudah habis. Air minum tidak ada lagi. Hanya keajaiban saja yang bisa menyelamatkan mereka. Kapal pesiar Australia melintas dengan kapten kapal Bastian de Razoary asal Larantuka, Flores Timur. Para nelayan dan Martiva Pukan dibawa ke Kupang. Mereka merasa Martiva Pukan telah menyelamatkan meraka dari musibah yang sangat dahsyat. *

(Yohanes Sehandi)

 

2 comments for "Buku Novel Suara Samudra"