Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sastra Kritik dan Kritik Sastra

Prolog
Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA 
dalam Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT 

         
        Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA
         Dosen Fakultas Filsafat Universitas
              Widya Mandira Kupang

Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT adalah judul buku Yohanes Sehandi, seorang kritikus sastra NTT, setelah sebelumnya ia memasuki suatu diskusi panjang berbulan-bulan tentang sastra dan sastrawan NTT di media Flores Pos dan Pos Kupang. Diskusi panang itu di bawah tema “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT.” Menurut saya, dengan sangat tepat Yohanes Sehandi memberikan judul bukunya dengan kata “Mengenal,” karena judul itu adalah hasil dari proses panjang yang ia lakukan sebelumnya, yakni  “Melacak.”

Berkaitan dengan penerbitan buku ini, saya selaku warga NTT, yang bukan ahli sastra, tetapi ahli filsafat, dengan senang hati memberikan Prolog bagi buku ini sekadar untuk mengantar kepada pokok persoalan yang termuat di dalamnya. Untuk itu, saya ingin sekali membicarakan dua hal berkaitan dengan “eksistensi sastra” sebagai karya manusia untuk memanusiakan manusia, yakni sastra kritik dan kritik sastra. Sastra kritik menyangkut eksistensi sastra sebagai kritik sosial, sedangkan kritik sastra menyangkut eksistensi kritikus sastra yang bertugas menganalisis karya sastra demi pengembangan mutu karya sastra.

Sastra Kritik

Karya sastra itu tidak pernah berupa murni “khayalan.” Betul, novel itu cerita fiktif, cerpen itu juga cerita fiktif, jadi bukan kisah historis murni. Namun, novel dan cerpen itu pada dasarnya adalah salinan dari realitas sosial, terutama realitas ketidakberesan sosial. Sastrawanlah yang menyalin itu ke dalam bentuk novel, cerpen, dan puisi, untuk membangunkan suatu kesadaran masyarakat atas ketidakberesan itu.

Jadi, karya sastra adalah intisari hidup yang dihayati dan direfleksikan, dan bahkan juga suatu cara untuk menanggulangi kontingensi hidup manusia. Cerita-cerita kuno, seperti lakon-lakon Mahabharata atau Ramayana yang dipentaskan dalam wayang, menyuarakan pengalaman penderitaan manusia yang terpendam. Maka, kehadiran sastra dalam kehidupan sosial sangat penting. Karya sastra itu dapat mengungkapkan kenyataan dengan lebih tajam daripada sebuah laporan empiris.

Sastra memiliki pengaruh politis karena cerita-ceritanya membangun cakrawala pembebasan dan menggugah harapan akan dunia yang lebih baik. Cerita-cerita itu bagaikan foto-foto yang dibuat oleh sastrawan untuk dipajang dalam bentuk tulisan yang dapat membuka mata masyarakat terhadap realitas politik. Hal itulah yang menyebabkan mengapa karya sastra sering menghadapi kecurigaan dan upaya-upaya represif kaum penguasa.

Tetralogi novel atau roman sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang terdiri atas (1) Bumi Manusia (1980), (2) Anak Semua Bangsa (1980), (3) Jejak Langkah (1985), dan (4) Rumah Kaca (1988) adalah sebagai salah satu contohnya. Rangkaian novel historis ini dikarang di Pulau Buru, Maluku, di mana novelis besar Indonesia ini menjadi tahanan politik selama sepuluh tahun karena dituduh terlibat dalam Lekra yang bercap komunis oleh pemerintah Indonesia.

Karya Pramoedya Ananta Toer itu bercerita tentang seorang ningrat Jawa bernama Minke, yang di sekitar peralihan ke abad ke-20 menjadi dewasa dan selanjutnya memainkan peranan penting sebagai wartawan dalam perjuangan kemerdekaan. Keterlibatan itu dibayar mahal dengan pembuangan dirinya. Minke sadar akan segi-segi negatif dari budaya feodal Jawa dan merasa tertarik pada  humanisme Eropa. 

Namun, Minke mengalami  bahwa begitu kecil kerelaan orang Eropa dalam mengindahkan nilai-nilai humanisme itu. Pengalaman itu diceritakan dalam banyak episode, di mana setiap episode adalah gambaran jeritan kemaraham terhadap ketidakadilan sosial yang begitu besar dan penderitaan yang dihasilkan oleh ketidakadilan sosial itu.

Contoh ini menunjukkan bagaimana sebuah novel historis, dengan hanya menceritakan ketidakadilan dan pengalaman penderitaan, bisa menyuarakan nilai-nilai yang tertindas, dan akhirnya menggugah solidaritas sosial-politik. Novel historis ini tidak hanya mengungkapkan sebuah etika anamnetis model J. B. Metz yang memberi tempat utama pada kenangan penderitaan (memoria passionis), melainkan juga merupakan sebuah etika naratif, yaitu sebuah etika dalam bentuk cerita.

Sastra NTT sebagai “warga” sastra Indonesia, bahkan boleh juga disebut sebagai ”warga” sastra dunia, memainkan peran yang sama, yakni menyalin realitas sosial NTT ke dalam bentuk cerita novel, cerpen, drama dan puisi, dan sekaligus melakukan kritik sosial, yakni mengangkat ketidakberesan sosial di Provinsi NTT. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa sastra NTT adalah salinan realitas sosial masyarakat NTT yang dihayati dan direfleksikan oleh sastrawan-sastrawan NTT.

Kritik Sastra

Berdasarkan isi buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT ini dan beberapa tulisan Yohanes Sehandi sebelumnya, terutama di media cetak Pos Kupang dan Flores Pos, saya  merasa bangga. Mengapa? Karena, ternyata  orang NTT tidak hanya memiliki karya sastra dan penulis sastra (sastrawan) melainkan juga pemerhati dan bahkan kritikus sastra.

Memperhatikan beberapa telaahan yang dilakukan oleh Yohanes Sehandi terhadap karya-karya sastra di NTT selama ini, saya akhirnya harus mengakui bahwa Yohanes Sehandi, tidak saja sebagai seorang pemerhati sastra NTT, tetapi lebih sebagai seorang kritikus sastra NTT.  Kalaupun dia belum dikategorikan ke dalam kritikus sastra hebat karena belum begitu lama menggeluti dunia kritik sastra, namun pengalaman awal ini sudah menunjukkan adanya potensi besar ke arah itu.

Saya mendukung lahirnya kritikus sastra NTT. Karena, bagaimanapun orang NTT sudah dikenal di pentas nasional bahkan di pentas dunia dalam dunia kritik sastra. Sudah dicatat di dalam sejarah sastra Indonesia modern dan sastra dunia nama seorang putra NTT, Dami N. Toda, sebagai seorang kritikus sastra yang berbobot. 
 
Saatnya kita melahirkan kritikus-kritikus sastra muda. Akan tetapi, kritikus sastra hanya bisa lahir kalau ada karya sastra, karena tugas dan pekerjaannya adalah menelaah karya sastra secara kritis demi perkembangan penulisan karya sastra yang semakin berbobot.


Penulis sastra adalah manusia. Sebagai manusia mereka perlu mendapat dorongan dan kritikan, dan itulah yang dilakukan oleh kritikus sastra, sehingga sastrawan menghasilkan karya sastra tidak saja semakin banyak,  tetapi juga semakin berbobot. 

Tilikan dan kritikan dari kritikus sastra sangat membantu peningkatan bobot karya sastra. Sastrawan yang tidak mau dikritik adalah sastrawan yang tidak mau berkembang. Kalau dia tidak berkembang dalam bobot karyanya, maka bagaimana mungkin kita mengharapkan NTT untuk masuk ke pentas sastra nasional dan sastra dunia?

Menariknya, dalam pengamatan saya selama ini, bahwa ada penulis sastra NTT yang tidak rela karyanya ditelaah oleh kritikus sastra. Hal ini, sejauh yang saya amati, pernah dialami oleh kritikus Yohanes Sehandi. Dia pernah menelaah secara kritis beberapa karya sastra dari beberapa komunitas sastra di NTT yang dimuat di Pos Kupang, dan muncullah tanggapan menolak dari  penulis karya sastra itu. Dengan kata lain, penulis sastra itu tidak menerima telaahan atau kritikan dari kritikus sastra.

Menurut saya adalah wajar kalau ada kritik sastra. Ada hubungan erat antara sastrawan dan kritikus sastra. Syukur sekali kalau kita di NTT ini tidak hanya ada penulis sastra, tetapi juga kritikus sastra. Kritikus sastra sebenarnya memberi semacam nasehat, teguran, dan arahan kepada seniman. Hanya saja, seorang sastrawan menulis karyanya tidak boleh bergantung kepada kemauan kritikus sastra, karena bagaimanapun sastrawan memiliki kebebasan dalam berekspresi. 

Akan tetapi, bagi pengarang awal (pemula) sangat perlu kritik sastra. Sebab, kritik dapat menjadi masukan berharga untuk meningkatkan proses kreatifnya, sehingga pada saatnya dia dapat menghasilkan karya berbobot.

Berkaitan dengan sebutan sastra NTT, kepada Yohanes Sehandi sebagai seorang kritikus sastra NTT, tentu kita dapat mengajukan pertanyaan tentang local genius sastra NTT itu. Karena hanya dengan mengenal local genius itu, barulah kita bisa mengklaim, yang ini karya sastra NTT, dan yang itu bukan sastra NTT. Bagaimanapun NTT adalah suatu komunitas masyarakat dengan segala keunikannya yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan komunitas-komunitas lain di Indonesia.

Meski di dalam diskursus ilmu-ilmu sosial akhir-akhir ini, termasuk Antropologi, sudah mulai dibedakan antara local genius dan local genuine. Menurut distingsi itu, local genuine adalah apa yang kita sebut sekarang kearifan lokal. Dalam pandangan itu, local genuine adalah apa yang dimiliki oleh suatu masyarakat lokal yang merupakan ciri keasliannya tanpa adanya pengaruh luar atau unsur campuran dari luar. 

Sedangkan local genius adalah keunikan lokal, tetapi masih dapat menerima pengaruh luar. Dan itulah, misalnya, kalau kita memikirkan kebudayaan Jawa dengan tanpa luput menghubungkannya dengan Hinduisme.

Tanpa mengabaikan diskursus itu, mari kita mengamati local genius sastra NTT, sehingga karya sastra itu betul-betul milik masyarakat NTT. Yang menjadi tugas Yohanes Sehandi selaku kritikus sastra NTT adalah bagaimana menentukan local genius sastra NTT itu. Karena penemuan local genius  itulah yang menentukan ke-NTT-an sastra NTT.

Jawabannya ada, dan itulah yang dibahas oleh Yohanes Sehandi dalam buku ini secara argumentatif: Bagian I tentang “Mengenal Sastra NTT,” Bagian II tentang “Mengenal Sastrawan NTT,” dan Bagian III tentang “Menyelisik Sastra NTT.” 

Argumentasinya jelas, pada bagian pertama penulis mempertanggungjawabkan apa yang ia maksudkan dengan sastra NTT, pada bagian kedua mempertanggungjawabkan apa yang ia sebut sastrawan NTT, dan akhirnya pada bagian ketiga ia mempertegas batasan dan pandangannya tentang sastra dan sastrawan NTT itu dengan menentukan latar (setting) NTT dalam cerpen dan puisi serta menganalisis karya-karya sastrawan NTT.

Dengan melihat struktur buku ini, jelaslah bahwa seorang kritikus sastra berbeda dengan seorang estetikus. Seorang kritikus sastra adalah seorang yang memiliki kemampuan dan kemampuannya itu terlatih dalam memisahkan hal-hal yang bersifat emosional dengan hal-hal rasional. Pada titik ini, yaitu pada titik di mana ia berpikir dan berargumentasi secara rasional, Yohanes Sehandi berhasil menunjukkan dirinya sebagai seorang kritikus sastra. * 

Kupang, 2 Maret 2012        

(Artikel ini merupakan Prolog yang ditulis Norbertus Jegalus dalam buku Yohanes Sehandi yang berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012, halaman 3-8).

 

Post a Comment for "Sastra Kritik dan Kritik Sastra"