Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Sastra Indonesia Pascareformasi

Apa yang dimaksud dengan sastra Indonesia Pascareformasi? Sacara garis besar, sastra Indonesia Pascareformasi adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang setelah era reformasi tahun 1998/1999. Sastra Indonesia Pascareformasi dimulai tahun 2000 bersamaan dengan dimulainya otonomi daerah atau desentralisasi politik dan pemerintahan di Indonesia.

Menurut kritikus Maman S. Mahayana dalam artikelnya yang berjudul “Sastra Indonesia Pascareformasi,” dalam bukunya Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia, 2012, halaman 292-293), periode Pascareformasi merupakan periode yang paling semarak dan meriah dalam sastra Indonesia.

Baik secara kuantitas maupun kualitas, karya-karya sastra Indonesia yang terbit pada periode Pascareformasi ini sepertinya datang berdesak-desakan. Adapun faktor utamanya karena terjadinya perubahan sangat mendasar dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Tumbangnya rezim Soeharto dan Orde Baru yang represif, sentralistik, militeristik, dengan berbagai jargon politiknya yang penuh eufemistik, boleh jadi telah sangat mempengaruhi gaya pengucapan dan cara berpikit para sastrawan Indonesia.

Mahayana dalam bukunya yang disebutkan di atas, mengajukan tesis menarik tentang kemungkinan perkembangan sastra Indonesia Pascareformasi. Menurutnya, perubahan sosial dan politik yang terjadi begitu cepat dan derasnya arus globalisasi yang tidak dapat dibendung dalam era teknologi informasi, memaksa perkembangan kesusastraan Indonesia, sangat boleh jadi, akan jatuh pada kecenderungan memasuki dua arah orientasi pada periode Pascareformasi.

Pertama, pengaruh arus globalisasi dan lompatan kemajuan teknologi informasi akan membuka akses yang lebih luas bagi sastrawan Indonesia terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Adanya berbagai kemudahan orang membuka jaringan internet dengan aneka macam situsnya, tidak hanya dapat meluaskan cakrawala atas perkembangan pengetahuan kesusastraan dunia, tetapi juga memberi kemungkinan lain atas gaya, pengucapan, dan tema yang menjadi bahan garapan para sastrawan Indonesia. Kondisi itu tentu saja ikut mempengaruhi perkembangan kesusastraan Indonesia di masa depan.

Kedua, pengaruh perubahan sosial dan politik dalam tataran pemerintahan dalam negeri Indonesia, terutama dalam proses desentralisasi dengan pemberlakuan otonomi daerah sejak tahun 2000, turut mengubah perkembangan sastra Indonesia. Selepas otonomi daerah digulirkan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi sentralistik, kehidupan sosio-kultural di pelosok Tanah Air niscaya lebih membumi, mengakar, dan kembali pada kultur kedaerahan. Paling tidak, problem lokalitas daerah akan menjadi salah satu tema sentral karya-karya sastra Indonesia pada periode berikutnya. Kultur etnik lokal dan problem sosial yang terjadi di daerah sangat mungkin akan menjadi lahan subur bagi sastrawan-sastrawan Indonesia, baik yang tinggal di daerah maupun yang tidak.

Dalam hal kecenderungan yang kedua, yakni desentralisasi sastra Indonesia Pascareformasi, menurut Mahayana, wacana lokalitas akan menjadi penting dan mencuat sebagai sebuah konsep dan sangat mungkin pula akan diwujudkan ke dalam tiga skenario, yakni (1) mengeksploitasi kekayaan tradisi dan kultur lokal; (2) mengusung problema kemasyarakatan lokal, tempatan, yang khas terjadi dan menjadi milik para sastrawan dalam lingkup lokalitas daerah masing-masing; dan (3) memproklamasikan semangat lokalitas daerah menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat Jakarta (Mahayana, 2012, halaman 305-306).

Dengan demikian, sastra Indonesia Pascareformasi, di satu sisi berorientasi global atau mendunia, di sini lain berorientasi lokal/regional atau sastra Indonesia yang kembali ke kultur kedaerahan. Sastra Indonesia yang berorientasi kultur kedaerahan inilah yang disebut sebagian pengamat sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal.

Sastra Indonesia warna daerah adalah karya sasta yang ditulis dalam bahasa Indonesia, mengandung kultur lokal dan karakter kedaerahan yang khas, misalnya sastra Indonesia di Provinsi NTT, yang belakangan disebut sebagai sastra NTT. Kultur lokal dan karakter kedaerahan yang khas NTT itu tercermin pada tema, amanat, aspirasi, latar, penokohan, dan karakter khas kedaerahan lainnya. Demikian pula sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di daerah-daerah lain di Indonesia. Itulah yang disebut sastra Indonesia Pascareformasi.

Ende, 18 Februari 2022

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT

Post a Comment for "Pengertian Sastra Indonesia Pascareformasi"