Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buku Puisi Kasut Lusuh

Judul                : Kasut Lusuh
Penulis             : Fritz Meko, SVD

Pengantar         : Yohanes Sehandi
Genre                : Buku Puisi
Penerbit            : Pohon Cahaya, Yogyakarta
Cetakan 1         : 2020
Tebal                : 155 halaman
ISBN                : 978-602-4912-04-8
Kontak WA      : 0812 5144 833

Gambaran Isi Buku

Buku Kasut Lusuh adalah buku kumpulan puisi karya penyair Fritz Meko, SVD. Buku ini berisi  71 judul puisi. Ada puisi yang pendek, ada yang sedang, ada pula yang panjang. Dibagi dalam dua bagian. Semua puisi dalam buku ini dengan mudah ditangkap maknanya oleh pembaca.

Bagian I, berjudul “Menakar Hidup dalam Peristiwa,” terdiri atas 36 puisi. Sebagian besar puisi pada bagian ini merekam berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari yang dialami penyair dalam menjalankan tugasnya, kemudian direfleksikan. Berbagai momen dan peristiwa itu dilihat penyair secara horisontal, ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan, kepada sesama manusia dan lingkungan yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia.

Bagian II, berjudul “Melihat Hidup dari Langit,” terdiri atas 35 judul puisi. Sebagian besar puisi pada bagian ini merekam berbagai momen dan peristiwa spiritual yang dialami penyair, terutama sebagai seorang biarawan. Penyair Fritz Meko, SVD adalah seorang biarawan Katolik dalam Kongregasi Serikat Sabda Allah, yang secara internasional dikenal dengan nama Sicietas Verbi Divini, disingkat SVD. Berbagai momen dan peristiwa itu dilihat penyair ini secara vertikal, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Ke atas adalah ke langit Sang Khaliknya.

Semua puisi dalam buku ini dapat dilacak atau ditelusuri riwayat hidup dan proses kreatif penciptaannya, karena setiap puisi memiliki kolofon. Kolofon adalah keterangan yang tercantum pada bagian akhir setiap puisi yang berisi tempat dan tanggal penciptaan sebuah puisi. Berdasarkan data kolofon pada 71 puisi yang ada, tercatat sebagian besar puisi diciptakan penyair dalam empat tahun terakhir, dari 2017 sampai 2020, sebanyak 52 judul puisi. Adapun perinciannya: tahun 2020 sebanyak 6 puisi, 2019 sebanyak 19 puisi, 2018 sebanyak 16 puisi, dan 2017 sebanyak 11 puisi. Tahun 2017-2020 adalah masa proses kreatif paling subur penyair kelahiran Manamas, Timor, NTT, pada 21 Juni 1963 ini. Selebihnya, sebanyak 19 puisi diciptakan pada 2010, 2007, 2006, 2005, 2004, 2002, 1999, 1998, 1997, 1996, dan 1995.

Berdasarkan kolofon itu pula, tempat penciptaan puisi-puisi dalam buku ini paling banyak terjadi di dua tempat, yakni di Surabaya, Jawa Timur, dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebanyak 23 puisi. Adapun perinciannya: Surabaya sebanyak 13 puisi,  Palangkaraya sebanyak 10 puisi. Hal itu dapat dimaklumi, karena penyair bertugas di Surabaya sejak 2009 sampai 2020 ini, dan di Palangkaraya selama 6 tahun, dari 1993 sampai 1999. Selebihnya, sebanyak 48 judul puisi diciptakan di berbagai tempat sesuai dengan tugas pengabdian dan perjalanan penziarahan penyair ini, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Tempat-tempat itu adalah Irlandia, Jerman, Palestina, Yerusalem, Nasaret, Singapura, Dili, Malang, Timor, Ruteng, Nias, Kupang, Jakarta, Denpasar, Mataram, Palembang, dan lain-lain.

Secara keseluruhan, puisi-puisi ini merupakan refleksi keseharian seorang penyair sebagai seorang biarawan dengan sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Mungkin itulah tema yang bisa kita sarikan dari buku ini. Semua puisi dengan mudah ditangkap maknanya, termasuk pembaca awam sekalipun, karena penyair menggunakan kata-kata biasa yang tidak rumit. Memang inilah yang diinginkan penyair, agar para pembaca tidak hanya memahami isi buku ini dari perspertif sastra, tetapi juga dari perspektif spiritual. Maka, jadilah puisi-puisi dalam buku ini minim bahasa simbol dan metafora rumit yang susah dipahami.

Penyair sepertinya punyai prinsip, apalah gunanya menulis puisi penuh bahasa simbol dan metafora yang rumit dan gelap yang ternyata tidak dipahami para pembaca? Meskipun minim bahasa simbol dan metafora, kadar buku ini sebagai karya sastra tidak berkurang. Ada banyak penyair Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa simbol dan metafora dalam puisi-puisi mereka. *

(Yohanes Sehandi)

 

Post a Comment for "Buku Puisi Kasut Lusuh"