Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Potensi Sastra Membangun Karakter Anak Bangsa

Ada pandangan keliru pemerintah kita selama ini tentang peran sastra dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sastra dipandang kurang atau tidak berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagian besar pejabat pemerintah kita, mulai dari pusat, provinsi, sampai kabupaten/kota, beranggapan bahwa pembangunan bangsa adalah pembangunan fisik-material (jasmani) belaka, yang hasilnya bisa dilihat dan dirasakan, bisa diukur dan ditabelkan. Yang dikejar pembangunan ekonomi dan infrastruktur, dengan sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar mata uang, PAD, DAU, DAK, APBN, dan APBD.

Karena yang diutamakan adalah pembangunan fisik-material (jasmani), maka pembangunan mental-spiritual (jiwa) diabaikan. Akibatnya, mental-spiritual sebagian besar warga bangsa kerdil dan keropos, bahkan tidak berkarakter. Nilai-nilai luhur bangsa terkikis.

Akibatnya, timbullah budaya instan, seperti kekerasan fisik, ujaran kebencian, anarkisme sosial, radikalisme, intoleran, dan terorisme. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah, arif dan bijaksana, pluralitas, saling menghormati, menghargai perbedaan, seakan terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup yang semuanya diukur dari nilai ekonomi dan gaya hidup modern. Kepribadian anak bangsa terbelah, tidak utuh. Antara budi dan pekerti terpisah. Antara perkataan dan perbuatan tidak sejalan. Lain di mulut, lain di hati, lain di perbuatan.

Yang dibutuhkan bangsa ini pada saat ini adalah paradigma pembangunan yang berimbang antara pembangunan fisik-material dan pembangunan mental-spiritual. Pembangunan mental-spiritual titik beratnya pada pembentukan karakter anak bangsa. Pembentukan karakter anak bangsa mengintegrasikan persoalan moral dan keluhuran budi pekerti segenap warga bangsa. Hal itu sejalan dengan tujuan dan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Penidikan Nasional, yakni untuk membangun dan mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.

 
Pembangunan karakter adalah pembangunan jiwa. Adapun unsur-unsur jiwa itu adalah: pikiran, perasaan, kehendak, dan angan-angan (Herimanto dan Winarno, 2010). Syair lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya,” telah memberi isyarat tegas kepada para petinggi/pejabat pemerintah negeri ini: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Bangunlah jiwanya, maksudnya bangun karakter anak bangsa, sedangkan bangunlah badannya adalah bangun fisik-material warga bangsa. Keduanya harus dibangun secara berimbang dan berkelanjutan.

Apa itu karakter dan pembangunan karakter? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008, halaman 623) karakter diartikan sebagai: “sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.” Karakter juga diartikan sebagai tabiat atau watak. Karakter merupakan nilai yang tertanam dalam diri seseorang yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri-sendiri, sesama manusia, lingkungan, bangsa dan negara yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.

Karakter juga merupakan cara berpikir dan perperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, saling menghargai, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan mempertanggungjawabkan akibat dari keputusan yang dibuatnya.

Pembentukan karakter anak bangsa dapat diwujudkan antara lain melalui pengembangan potensi sastra. Sastra yang dimaksudkan di sini adalah sastra kreatif dengan berbagai jenis (genre). Adapun jenis-jenisnya karya sastra itu secara garis besar adalah (1) prosa, seperti novel, novelet, cerita pendek, cerita rakyat, hikayat, mitos, legenda, fabel, dan lain-lain yang ciri khasnya bercerita/narasi; (2) puisi, seperti syair, pantun, gurindam, pribahasa, bidal, tuturan adat, doa, balada, dan lain-lain yang ciri khasnya pemadatan makna kata/ungkapan; dan (3) drama, seperti teater, pementasan, sinetron, film, monolog/dialog, yang bersifat pertunjukan panggung.

Untuk pembentukan karakter bangsa, karya sastra dengan berbagai genrenya diperlukan sebagai sarana atau media. Hal ini beralasan karena karya sastra mengandung berbagai nilai etika dan estetika, nilai pendidikan dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri-sendiri (psikologis), tetapi juga tentang/dengan Tuhan (religiusitas), tentang alam semesta (romantik), dan tentang masyarakat lingkungan (sosiologis).    

Peran dan fungsi sastra dalam pembangunan karakter bangsa ibarat garam yang dilarutkan dalam air. Tak terlihat garamnya, namun terasa asinnya. Dia nyata, namun sulit dibuktikan wujudnya. Peran sastra juga bagaikan bumbu masakan yang membuat masakan terasa lezat, gurih, dan bergairah, meskipun bumbunya tidak kelihatan karena terlarut dalam masakan. Yang terlihat masakannya, bumbunya tidak kelihatan. Cara kerja sastra adalah membentuk karakter anak bangsa dari dalam diri. Pendidikan sastra menjadi lebih bermakna dan berbeda karena tumbuh kesadaran dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar.

Karya sastra sebagai karya seni tercipta karena adanya energi estetis dan imajinatif serta luapan perasaan pengarang yang disampaikan secara lisan dan tulisan ke publik. Sastra sebagai karya seni memiliki peranan penting dalam kehidupan seseorang. Karya sastra mampu membawa kita menjelajahi dunia yang penuh imajinasi dan kreatif. Dengan sastra kita dapat menanamkan nilai-nilai dari dalam diri-sendiri dan diri orang lain, misalnya rasa malu, harga diri, kreatif, kejujuran, kebaikan, kerja keras, rajin, bertanggung jawab, dan hargai perbedaan. *


Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat majalah Warta Flobamora (Surabaya), Edisi 89, Tahun ke-9, 2021, halaman 49)

3 comments for "Potensi Sastra Membangun Karakter Anak Bangsa"

  1. Perlunya pemahaman untuk mereka yang kurang berminat dengan Sastra, justru dengan banyak mempelajari Sastra mata hati kita semakin terbuka untuk memandang kehidupan ini

    ReplyDelete
  2. Pemartabatan sastra dan kearifan lokal saat ini cenderung terabaikan. Terima kasih Prof atas tuisanx yg sangat mencerahkan.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas apresiasi Pak Thomas Swalar dan Pak Jihab Talib. Salam.

    ReplyDelete