Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Resensi Buku, Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai

 Resensi Buku oleh Narudin

Judul Buku: Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai; Penulis: Yohanes Sehandi; Penerbit: Ombak, Yogyakarta; Pengantar: Maman S. Mahayana; Tahun Terbit: 2017; Tebal: xv + 196 Halaman;
ISBN: 978-602-258-467-4.

 Tak berlebihan apabila diutarakan bahwa di NTT (Nusa Tenggara Timur) telah lahir kritikus sastra yang tekun menyuguhkan gambaran lengkap tentang peta kesusastraan NTT sebagai bagian dari kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia ialah akumulasi dari seluruh kekayaan sastra di tanah air. Salah satunya ialah kesusastraan NTT. Kesusastraan NTT pun merupakan tulisan warna lokal (local color writing) yang menawarkan sekian perbendaharaan objek-objek kultural (cultural objects) di sana kepada publik sastra Indonesia. Berlapang dada terhadap khazanah kesusastraan NTT berarti salah satu pintu masuk guna mengapresiasi salah satu harta-benda sastra Indonesia secara lokal, regional, dan nasional sekaligus lantaran NTT ialah bagian dari Indonesia dan Indonesia mengharuskan NTT menjadi bagian dari wilayah geografis yang tak terpisahkan.

Lantas buru-buru dilontarkan kembali sebuah pertanyaan menggelitik di muka: Siapakah kritikus sastra dari NTT yang tekun mencatat perjalanan sejarah serta kiprah para sastrawan berikut karya-karya sastranya yang melimpah melalui sekian esai dan kritik sastranya itu? Ia adalah Yohanes Sehandi. Bukan Dami N. Toda, bukan pula Ignas Kleden. Dami N. Toda dan Ignas Kleden rupanya menyibukkan diri menulis perihal karya sastra kota, tak sempat bahkan agaknya lupa menyiarkan sejarah, sastrawan, dan karya sastra sastrawan NTT secara lengkap.

Yohanes Sehandi lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia pernah menjadi anggota DPRD Provinsi NTT Fraksi PDI Perjuangan selama 10 tahun (1999-2009), dan pernah mengajar mata kuliah bahasa Indonesia di beberapa perguruan tinggi, misalnya, di STIPAR Ende, Flores selama 10 tahun. Dan sejak Oktober 2010 hingga sekarang, ia menjadi dosen tetap pada Universitas Flores (Uniflor), Ende. Ia mengasuh mata kuliah: Teori Sastra, Dasar-Dasar Menulis, Menulis Kritik dan Esai, Menulis Karya Ilmiah, Pengantar Jurnalistik, pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Uniflor tersebut.

Selain menjadi editor sejumlah buku, Yohanes Sehandi sejak menjadi mahasiswa di IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang) telah banyak menulis artikel opini yang terpublikasikan sejak tahun 1982 sampai tahun 2017 (selama 35 tahun) sekitar 340 artikel, dimuat dalam sekitar 30 surat kabar dan majalah yang tersebar secara lokal, regional, dan nasional.

Sebelum buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017) ini terbit, sudah terbit beberapa judul buku yang lain, yakni (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012); (2) Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Penerbit Widya Sari, Salatiga, 2013); (3) Mengenal 25 Teori Sastra (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014); (4) Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015); (5) Pengantar Jurnalistik (Penerbit Widya Sari, Salatiga, 2016); dan (6) Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017). Buku yang terakhir inilah niscaya merupakan buku dengan peta lengkap tentang kesusastraan Indonesia di NTT.

Dalam kata pengantarnya, Maman S. Mahayana, menyatakan bahwa memang dibutuhkan kritikus sastra yang punya kesadaran dan kepedulian kepada dinamika kesusastraan di wilayahnya sendiri. Yohanes Sehandi telah menegaskan kesadaran serta kepeduliannya kepada NTT. Selanjutnya Maman mengimbuhkan bahwa buku ini pun merupakan bentuk apresiasi atas kiprah para sastrawan di NTT. Ada usaha Yohanes Sehandi dalam mengungkapkan kekayaan khazanah sastra para pengarang NTT dengan mencoba menguraikan kedalamannya secara ringan, informatif, dan inspiratif. Model gaya kritik esainya laiknya kritik esai H. B. Jassin, dan buku ini dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran kalangan yang lebih luas: pelajar-guru, mahasiswa-dosen, termasuk para sastrawan dan masyarakat umum.

Rupa-rupanya, apresiasi pembuka dalam Kata Pengantar Maman S. Mahayana itu disambut secara ramah oleh Yohanes Sehandi. Dalam Bab ke-2, bertajuk “Kritik dan Esai Sastra,” Yohanes Sehandi mengutip tahapan menulis kritik sastra a la Maman S. Mahayana. Yohanes mengutip “Sembilan Langkah Mangkus dan Satu Jurus Pamungkas” dari salah satu buku kritik sastra Maman S. Mahayana. Apabila ditinjau secara lebih saksama, maka sembilan langkah mangkus (baca: mujarab) itu sesungguhnya mengandung sekian pertentangan dalam gagasannya sendiri. Akan tetapi, pembacaan secara umum terhadap sembilan langkah mangkus itu telah telanjur dijadikan panduan mujarab oleh Yohanes Sehandi. Dugaan perlu dikemukakan bahwa gaya kritik esai Yohanes dan Maman memang tak jauh berbeda dari segi stilistika, konon mengikuti tradisi klasik kritik esai a la H. B. Jassin. Meskipun demikian, pembacaan cermat terhadap kedua karya kritikus ini (Yohanes dan Maman) kiranya dapat diteliti lagi lebih lanjut.

Dalam percakapan pribadi, Yohanes berujar bahwa ia merasa terbuka, hendak merangkul kritikus siapa pun, termasuk Maman agar sastra NTT dapat lebih disemarakkan lagi oleh uluran tangan kreatif para kritikus sastra Indonesia. Gaya ungkap ramah-tamah Yohanes dapat dimaklumi, mengingat pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT menjadi kian pesat sejak tahun 2011 hingga kini, terbukti dari banyaknya buku sastra yang diterbitkan, dan sekian esai dan kritik sastra yang dimuat di media massa lokal NTT. Kecuali itu, dalam Bab ke-2 ini, Yohanes menyajikan beberapa contoh kritik sastra: puisi, antologi puisi, antologi cerpen, dan novel. Kritik sastranya bersifat impresionistik, hanya menerangkan pokok-pokok yang dianggap menonjol saja. Kritik sastra selintas lalu ini pun masih dapat ditoleransi karena semua kritik sastra ini pernah dimuat di harian Pos Kupang dan Flores Pos termasuk kritik sastra koran yang serba-terbatas ruang.

Dalam Bab ke-1, Yohanes Sehandi menerangkan secara cukup padat mengenai “Sastra Indonesia di NTT,” dengan perincian sub-bab: Sastra Indonesia di NTT, Sejarah Sastra Indonesia di NTT, Kiprah dan Karya Sastrawan NTT, dan Perempuan NTT di Panggung Sastra. Dalam bab pertama ini, Yohanes menguraikan posisi sastra NTT di mata sastra Indonesia, sejarah, kiprah para sastrawan berikut karya-karya sastranya. Yohanes menyebutkan bahwa Gerson Poyk (1931-2017) sebagai perintis sastra NTT, yakni orang NTT pertama yang menggeluti dunia sastra.

Kemudian Yohanes menawarkan periodisasi sastrawan NTT dalam rentang masing-masing angkatan sekitar 19 tahun. Ada sekitar 4 rentang waktu (lapis). Lapis pertama, sastrawan yang lahir pada 1931-1950, misalnya, sastrawan Gerson Poyk, Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, Ignas Kleden, dan lain-lain. Lapis kedua, sastrawan yang lahir pada 1951-1970, misalnya, sastrawan Maria Matildis Banda, Fanny J. Poyk, Yoseph Yapi Taum, Mezra E. Pellondou, dan lain-lain. Lapis ketiga, sastrawan yang lahir pada 1971-1990, misalnya, Robert Fahik, Pion Ratulolly, dan lain-lain. Terakhir, lapis keempat, sastrawan yang lahir pada 1991-2010, misalnya, Mario F. Lawi dan Erlyn Lasar. Setelah itu, Yohanes melakukan penelusuran karya-karya sastra para sastrawan tersebut di atas sesuai dengan lapis-lapisnya. Alhasil, buku-buku puisi karya para sastrawan NTT sejak tahun 1976-2017 sebanyak 58 judul buku. Buku-buku cerpen karya para sastrawan NTT sejak tahun 1975-2017 sebanyak 46 judul buku. Dan buku-buku novel karya para sastrawan NTT sejak tahun 1964-2017 sebanyak 71 judul buku novel. Sebuah penelusuran yang menyita waktu dan tenaga tentu saja.

Sedangkan dalam Bab ke-3, yakni bab terakhir, Yohanes Sehandi seakan-akan sudah cukup mengumpulkan sekian tulisannya berupa kritik dan esai tentang sastra NTT dengan tajuk “Sastra NTT dalam Kritik dan Esai.” Terdapat sekitar 24 kritik dan esai di dalamnya dengan susunan yang longgar, tidak berurutan. Isi-isi kritik dan esai di dalamnya selain mengupas karya sastra di NTT, pun memaparkan tema-tema yang cukup mengejutkan, umpamanya, esai bertajuk “Munsi ke-2 dan Aspirasi Daerah,” “Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam,” “G 30 S dan Pramoedya Ananta Toer” sampai esai berjudul “Debat Sastra Berujung Pidana.”

Sekali lagi diutarakan bahwa telah lahir kritikus sastra dari NTT yang mencintai sastra NTT sesuai dengan risiko dan tanggung jawab individualnya. Ia adalah Yohanes Sehandi. Yohanes sudah mencoba sekuat tenaga mengungkapkan sejarah sastra NTT, kiprah para sastrawan berikut karya sastranya, termasuk sekian kritik dan esai tentang karya sastra dan para sastrawan NTT. Peta kesusastraan NTT dalam buku Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (2017) karya Yohanes Sehandi ini niscaya sebuah panorama kaya dan telaten buah karya “sang kritikus dari Timur yang benar-benar ingin disebut timur.”

Dawpilar, Desember 2017

                                                                                                           Narudin

 

Narudin
Lahir di Subang, Jawa Barat, seorang Duta Bahasa Berprestasi Jawa Barat 2015. Tulisannya berupa puisi, prosa, esai/kritik, dan terjemahan Indonesia-Inggris, Inggris-Indonesia dimuat di Majalah Sastra Horison, Basis, Kompas, Media Indonesia, dan lain-lain. Semua karyanya sudah dibukukan, misalnya, Makna yang Luput (Kritik Kontemporer 63 Buku Puisi, 2017), Teori Sastra Kontemporer: Formalisme, Strukturalisme, dan Semiotika (2017), buku puisi Di Atas Tirai-tirai Berlompatan (2017), Puisi-Puisi Cinta: Untuk Rumi, Gibran, dan Tagore (2017), dan buku cerpen Dua Raja Cerpen (2017). Narudin banyak menerjemahkan buku, dan sering diundang menjadi pembedah buku/pembicara seminar sastra tingkat nasional dan tingkat internasional. Narudin dapat dihubungi di FB: Narudin Pituin dan WA: +62 81-320-157-589. Nomor rekening BCA Narudin BN Subrendi: 0953039203.

 

 

2 comments for "Resensi Buku, Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai"

  1. Mantap ulasannya Pak,salam santun,mari kita terus berbenah terutama dalam kritik dan esai

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Pak Guru Thomas, sang pendekar literasi dari Lembata.

    ReplyDelete