Tragedi TKI NTT di Mata Penyair
tidak ada ungkapan belangsungkawa
cuma sertifikat kematian, ditulisi nanah
menetes dari buah dadamu yang luka
dan tak sempat menuntaskan tugas menjadi ibu
Penggalan puisi yang dikutip di atas adalah bait ketiga dari lima bait puisi berjudul “Bhiju” karya Nikolaus Loy. Puisi ini termuat dalam buku antologi berjudul Bulan Peredam Prahara (2018) yang diterbitkan Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) bekerja sama dengan Penerbit Kosa Kata Kita (KKK) Jakarta. Editor buku Alfred B. Jogo Ena.
Bhiju adalah nama perempuan dalam tradisi Ngada, Flores. Penulis puisi Nikolaus Loy adalah dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fisip, UPN Yogyakarta. Loy lahir di Ngada, Flores, NTT, pada 23 Februari 1967.
Puisi “Bhiju” menggambarkan tragedi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Ngada, Provinsi NTT. Dia seorang gadis bercita-cita memperbaiki nasibnya. Berangan-angan mendapat penghasilan besar untuk menjadi “ibu” kelak bila berumah tangga. Untuk sejumlah ringgit ia rela bekerja sebagai babu di Tawau, daerah Malaysia berbatasan Indonesia.
Meskipun Bhiju berada di rantau selama 15 tahun, namun ingatan, kerinduan, dan kasih sayang keluarga besar di kampungnya tak pernah luntur. Menanti kapan Bhiju pulang dari rantau. Duka mereka pecah, tatkala yang pulang bukannya Bhiju yang mereka harapkan, tetapi Bhiju dalam kargo yang sudah busuk oleh nanah menetes dari dada terobek luka.
Kasih sayang keluarga besar dan sanak familih di kampung yang setia menunggu Bhiju, disimbolkan penyair Nikolau Loy sebagai “sarung” yang dianyam dari rambut seratus ibu di kolong rumah beratap gunung: //Sarung itu menyimpan bau tubuhmu/ selalu turun saat rindu, melilit di ulu hatiku/ lima belas tahun, Bhiju/ sedang engkau di rantau jauh, Tawau/ memburu hidup yang tak mencintaimu//.
Penyair Nikolau Loy melanjutkannya rasa duka dalam bait keempat puisinya: //Dalam sarung itu kubaring tubuhmu/ juga harapanku akan nyanyian cinta/ yang tak bakal mengalir dari gitar/ di depan altar yang berenang dalam dupa aroma cendana//. Di bagian akhir puisi tragedi ini, penyair menutupnya dengan rasa ngilu kehabisan air mata: //engkau Bhiju, kekasihku seorang babu/ tidurlah dalam sarung itu/ hanya itu//.
Kepedihan hati penyair NTT atas tragedi perdagangan dan perbudakan manusia ini juga tertuang dalam puisi Milla Lolong berjudul “Litani kepada Perempuan.” Milla lolong adalah mahasiswa tingkat akhir Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Flores (Uniflor), Ende. Puisi ini diambil dari buku antologi puisi Bulan Peredam Prahara (2018) yang sudah disebutkan di atas.
Puisi ini ditulis penyar Milla Lolong khusus ditujukan kepada Adelina, seorang TKI muda asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten TTS. Adelina tewas di rumah majikannya di Malaysia karena mati kelaparan, tidak diberi makan, tidur bersama anjing. Berbagai berita menunjukkan bahwa Adelina mengalami penyiksaan fisik dan non-fisik oleh majikannya.
Dalam puisi “Litani kepada Perempuan,” Milla Lolong memulainya dengan: //Pergi ke negeri jiran/ Atas nama palsu/ Dari orang-orang palsu/ Dengan senyum bahagia/ yang engkau palsukan juga//. //Di negeri jiran/ Engkau berjuang melawan takdir/ Engkau pasrahkan nasibmu/ Pada tangan-tangan mereka yang berduit//. Kemudian: //Bergulat dengan sakit yang ngeri/ Engkau dipulangkan: sudah kaku di peti/ Disambut dengan air mata yang ranum//.
Tragedi pilu menimpa TKI asal Provinsi NTT terus saja terjadi belakangan ini. Sejak heboh TKI asal NTT Nirmala Bonat beberapa tahun lalu, seakan tidak pernah surut bahkan meningkat, yang terus memperburuk citra Provinsi NTT di mata dunia dalam melindungi pahlawan dewisanya.
Citra buruk Provinsi NTT yang lain adalah provinsi termiskin ketiga dan provinsi dengan kinerja birokrasi terburuk ketiga dari 34 provinsi di Indonesia. Sampai kini, ketiga citra buruk itu masih melekat erat. Entah sampai kapan nasib tidak tentu ini berakhir?
Berdasarkan rilis yang disampaikan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi NTT, sebagaimana diberitakan Pos Kupang (16/10/2019), sebanyak 326 warga NTT yang meninggal dunia di luar negeri dalam lima tahun terakhir, sejak 2015 sampai Oktober 2019. Angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data BP3TKI tersebut, TKI NTT yang meninggal dunia tahun 2015 sebanyak 28 orang, 2016 sebanyak 46 orang, 2017 sebanyak 62 orang, 2018 sebanyak 105 orang, dan 2019 sampai Oktober sebanyak 88 orang. Berdasarkan jenis kelamin, TKI laki-laki sebanyak 217 orang, perempuan 109 orang. Sebagian besar TKI yang meninggal berstatus illegal (non-prosedural) sebanyak 208 orang, sedangkan TKI legal sebanyak 18 orang.
Dilihat dari asal kabupaten, TKI NTT yang meninggal paling banyak asal Kabupaten Ende dan Malaka masing-masing sebanyak 40 orang, disusul TTS sebanyak 36 orang, Flores Timur 31 orang, Kabupaten Kupang 25 orang, Sikka 24 orang, TTU 23 orang.
Berdasarkan berita Tribunnews.com (Rabu, 2 Oktober 2019), sejak Januari 2019 sampai 1 Oktober 2019, NTT telah menerima jenazah TKI sebanyak 87 jenazah. “Sejauh ini jenazah yang kami terima sudah 87 jenazah, dari 87 itu, hanya satu TKI yang legal, yang lain illegal,” kata Timoteus K. Suban, Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan BP3TKI Provinsi NTT.
Jenazah terakhir adalah seorang ibu bernama Taroci Sila, asal Kecamatan Amanuban Barat, TTS. Taroci bekerja di Malaysia sejak 2002. Ia menetap di sebuah kontrakan di Selangor bersama suami dan tiga anak. Suami Taroci sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan. Taroci meninggal dunia akibat ledakan kompor gas.
Sebagai penutup tulisan ini, berikut saya kutip puisi Agust Dapa Loka, seorang sastrawan NTT kelahiran Sumba Barat Daya, 8 Agustus 1959, kini menjadi guru di SMAK Anda Luri, Waingapu. Puisi ini diambil dari buku antologi puisi berjudul Kepada Pedang dan Nyala Api (Editor Julia Daniel Kotan) yang diterbitkan Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) bekerja sama dengan Penerbit Kosa Kata Kita (KKK) Jakarta.
(Agust Dapa Loka)
Tanah kita selalu kedatangan peti
tempat jenazah perempuan-perempuan Flobamora lintas baya
yang mati di negeri asing?
Kita tentu tahu apa alasan mereka berbondong
kendati lonceng kematian selalu menjadi tanda masuk
pada area tak ramah?
Kita tlah jenuh memercayai pepatah klasik,
lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada
hujan emas di negeri orang?
Kita mengancam mereka dengan batu dari negeri sendiri
membuka jalan hijrah menjadi emas bagi negeri orang
lalu di puncak kadar keemasan terakhir di sana
mereka dikembalikan tetap batu bagi negeri kita
dalam peti yang entah masih menyimpan rupa mereka.
Berhentilah memelihara mimpi
bongkahan-bongkahan tanah kita menanti dijamah
bibir-bibir pantai merekah dibelai ombak memesona menakjubkan
hamparan bukit sabana menyimpan rahasia yang menanti disibak
sebab di sana ilalang tetap bercanda dengan angin
Tumpaslah bebatuan negeri kita menjadi pualam. *
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende.
Tulisan yang sangat hebat. Ulasan tentang kemanusiaan.
ReplyDeleteTerima kasih Pak Leo atas apresiasinya.
ReplyDelete