Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi Esai, Apa dan Mengapa

Kemunculan puisi esai yang digagas ilmuwan sosial Denny JA dalam sastra Indonesia menyulut kontroversi panjang bertahun-tahun. Kontroversi kini memasuki babak baru pada tahun 2018 ini yang dipicu Denny JA dan kawan-kawan dengan gerakan nasional penulisan puisi esai yang melibatkan 5 orang penulis puisi setiap provinsi di Indonesia. Hasil dari gerakan nasional ini akan terbit 34 buku puisi esai dari 34 provinsi ditulis oleh 170 penyair puisi esai dari seluruh Indonesia. Setiap penulis puisi diberi honorarium yang menggiurkan.

Gerakan puisi esai Denny JA dan kawan-kawan mendapat perlawanan keras dari pihak penentang puisi esai. Mereka bereaksi menghadang gerakan ini. Awal 2018 ini pihak kontra puisi esai membuat Petisi penolakan puisi esai Denny JA dengan mengusung slogan: menolak puisi esai prabayar, menghapus nama Denny JA dari sastra Indonesia, menolak pembodohan sejarah sastra, bebaskan sastra Indonesia dari racun manipulasi. Petisi itu ditandatangani ratusan penyair muda, dikirim ke berbagai intansi pemerintah dan swasta, antara lain Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kementerian Pariwisata, Badan Bahasa, Hiski, Komite Buku Nasional, Perpustakaan Nasional, dan Ikapi. 

Heboh puisi esai bermula tahun 2012 pada waktu Denny JA yang dikenal luas sebagai konsultan politik dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menerbitkan buku antologi puisi berjudul Atas Nama Cinta (2012).  Denny JA menyebut lima puisi yang terhimpun di dalamnya sebagai puisi esai. Diklaimnya bahwa puisi esai adalah genre baru dalam sastra Indonesia. Kehebohan berubah menjadi gejolak tahun 2014 pada waktu terbit buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014) yang ditulis Tim 8 dengan koordinator penyair Jamal D. Rahman. Salah satu tokoh berpengaruh dalam buku tebal 734 halaman tersebut adalah Denny JA. Oleh Tim 8 Denny JA dinilai berpengaruh karena penggagas dan perintis penulisan puisi esai di Indonesia. Denny JA layak disejajarkan dengan tokoh sastra Indonesia lain, seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, H.B. Jassin, Arief Budiman, Nh. Dini, Iwan Simatupang, W.S. Rendra, dan lain-lain.

Apa dan bagaimana puisi esai yang menghebohkan itu? Mengapa puisi esai membuat sastra Indonesia bergejolak? Penggagas sekaligus dedengkot puisi esai Denny JA dalam bukunya Memotret Batin dan Isu Sosial Melalui Puisi Esai (2017, halaman xvii-xxi) menjelaskan lima ciri khas puisi esai sebagai platform atau kredo atau manifesto puisi esai. Lima manifesto puisi esai inilah yang membedakan puisi esai dengan puisi jenis lain, termasuk puisi lirik (Rendra) dan prosa lirik (Linus Suryadi AG).

Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Misalnya, jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu belum cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Topik itu akan menjadi puisi esai jika kondisinya diubah menjadi: Budi jatuh cinta kepada Ani, tetapi mereka berbeda agama, atau berbeda kasta, atau berbeda kelas sosialnya,  sehingga menimbulkan suatu problem dalam komunitas tertentu.

Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa, seperti metafor, analogi, dan sebagainya bagus untuk dipilih. Namun, diupayakan agar anak SMA sekalipun dapat memahami pesan yang disampaikan puisi. Puisi Chairir Anwar dan Rendra menjadi referensi dalam berbahasa puisi esai. Prinsip puisi esai, semakin sulit puisi itu dipahami publik semakin buruk puisi itu sebagai medium komunikasi penyair dengan dunia di luarnya.

Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh real yang hidup dalam sejarah. Namun, realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata-mata potret akurat sebuah sejarah. Puisi esai memang bukan biografi atau potongan sejarah objektif. Benar bahwa dalam huru-hara Mei 1998 ada kasus perkosaan terhadap gadis keturunan Tionghoa. Namun, tokoh yang ada dalam puisi esai yang mengangkat topik peristiwa Mei 1998 itu adalah tokoh fiksi, tokoh rekaan. Justru karena itu fiksi, maka penulis  bebas membuat dramatisasi agar lebih menyentuh dan lebih membuat pembaca merenung.

Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair, tetapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespons isu sosial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apapun itu. Isu sosial yang direkam bisa soal diskriminasi, pembaruan agama, kemiskinan, huru-hara, dan berbagai isu krusial lannya. Walau puisi esai itu fiksi, tetapi ia diletakkan dalam seting sosial yang benar. Karena itu, catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai karena menunjukkan bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Jika pembaca ingin tahu lebih detail bisa mengeksplorasinya  lebih detail melalui catatan kaki. Fungsi catatan kaki tidak sekadar asesoris, tetapi merupakan bagian sentral puisi esai.

Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya tergambar sebuah dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial. Perubahan karakter itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak. Jika dikuantifikasi, sebuah puisi esai harus panjangnya minimal dengan tulisan 10.000 karakter. *
 
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
 
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Selasa, 17 April 2018)


Post a Comment for "Puisi Esai, Apa dan Mengapa"