Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kritik Sastra Indonesia dalam Dua Arus

Kritikus sastra Indonesia yang berwibawa pada saat ini, Maman S. Mahayana, dalam bukunya berjudul Kitab Kritik Sastra (2015) menyatakan bahwa istilah “kritik sastra” di Indonesia pertama kali digunakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam tulisannya di majalah Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932  berjudul “Kritik Kesoesasteraan.” Menurut Mahayana, inilah artikel pertama yang secara eksplisit mencantumkan kata "kritik sastra." Sejak saat itulah istilah kritik sastra digunakan orang untuk menunjuk sebuah tulisan (artikel opini) di media massa cetak yang membicarakan (karya) sastra sebagai kritik sastra. Setelah keluar dari Pandji Poestaka, STA melanjutkan tradisi kritik sastra Indonesia dalam majalah Poedjangga Baroe yang dipimpinnya.

Kritik sastra yang diperkenalkan STA berdasarkan impresi dan intuisi. Jadi, lebih bersifat apresiatif, dibandingkan dengan penilaian. Ia sekadar membuat apresiasi atau penghargaan atas hasil kesusastraan. Semangatnya hendak menyemarakkan dunia sastra menuju masyarakat dan kebudayaan baru Indonesia yang merupakan visi dasar STA di bidang kebudayaan. Majalah Poedjangga Baroe dalam perjalanan selanjutnya membawa pengaruh besar dalam perkembangan kritik sastra Indonesia. Pada waktu itu, semuanya terjadi di media massa cetak. Belum ada buku khusus yang berisi kajian atau kritik terhadap karya sastra sampai pada era Indonesia merdeka.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, kritik sastra di Indonesia mulai bertumbuh dan berkembang. Kritikus sastra pun bermunculan. Berbagai buku antologi esai dan kritik sastra dan buku-buku pelajaran mendapatkan lahan subur. Meskipun demikian, sebagian besar buku-buku yang terbit itu bukanlah berupa kajian khusus yang mendalam mengenai karya sastra, melainkan gambaran selintasan tentang karya sastra Indonesia.

Memasuki tahun 1960-an, menurut Mahayana (2015) dalam buku yang telah disebutkan di atas, mulai bermunculan buku-buku kritik sastra yang berisi kajian-kajian karya sastra beserta posisi pengarangnya. Buku-buku kritik sastra itu sebagian besar berasal dari skripsi, tesis, dan hasil penelitian para dosen dan mahasiswa. Buku-buku kajian ilmiah itu sudah berpretensi ilmiah. Perintisan penerbitan buku-buku ilmiah di bidang kritik sastra bermunculan dari dunia akademik perguruan tinggi.

Dalam perkembangannya, muncul kritikus-kritikus sastra dan karya-karya kritiknya. Kritikus yang paling menonjol dan produktif dari sekian banyak kritikus yang tampil di panggung kritik sastra adalah H.B. Jassin (1917-2000). Jassin tidak hanya membuat kritik sastra secara terus-menerus, juga membuat dokumentasi sastra secara terus-menerus sampai akhir hayatnya. Kedudukan kritik sastra dalam sastra Indonesia menjadi kokoh setelah Jassin menerbitkan buku berjilid-jilid (empat jilid) berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1954) yang merupakan himpuran esai-esai dan kritik-kritiknya di berbegai media massa cetak tahun 1950-an sampai 1960-an. Jassin pun menerbitkan banyak buku berkaitan dengan kritik dan esai sastra, buku teori dan sejarah sastra Indonesia. Buku-buku kritik sastra Jassin inilah kemudian menjadi model kritik sastra Indonesia, bahkan sampai kini.

Pada 31 Oktober 1968 berlangsung pertemuan heboh di bidang kritik sastra di Bandung dengan nama “Diskusi Kritik Sastra.” Dalam diskusi itu muncul dua arus atau aliran kritik sastra Idonesia yang berseberangan. Arus pertama berasal dari dunia akademik yang diwakili sejumlah dosen dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI), yakni J.U. Nasution, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali yang kemudian menyebut arus kritik sastra mereka sebagai aliran Kritik Sastra Rawamangun. Aliran Rawamangun berpandangan bahwa karya sastra terdiri atas unsur-usur yang membentuknya yang disebut unsur-unsur intrinsik. Alat bedah yang dipakai untuk menelaah karya-karya sastra kaum akademisi ini adalah teori strukturalisme yang pada saat itu sedang berkembang.

Arus atau aliran kedua berasal dari kalangan sastrawan. Kalangan ini diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, dan Salim Said yang kemudian menyebut arus kritik sastra mereka sebagai aliran Kritik Sastra Ganzheit (istilah bidang studi psikologi). Aliran kritik sastra ini berpandangan bahwa karya sastra itu adalah satu-kesatuan, sebuah totalitas, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebuah totalitas bukanlah penjumlahan dari unsur-unsur yang membentuknya. Perdebatan seru dalam pertemuan Bandung itu diterbitkan dalam bentuk buku oleh Lukman Ali (Editor) dengan judul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978) yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sejak saat itu dunia kritik sastra Indonesia terbelah dalam dua arus besar gerakan, yakni arus kritik sastra umum dan arus kritik sastra akademik. Dua arus itu sampai kini masih hidup dan berkembang dalam dunia kritik sastra Indonesia. Berikut penjelasan singkat kedua arus besar tersebut.

Pertama, arus kritik sastra umum. Kritik sastra umum sasaran pembacanya adalah masyarakat umum yang berbasis media massa. Kritik sastra umum kemunculannya jauh sebelum zaman kemerdekaan, yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan kawan-kawan, didukung penuh dan berkat jasa lembaga media massa, baik majalah maupun surat kabar. Selama media massa tetap menyediakan ruang untuk tulisan tentang sastra dan kritik sastra, jenis kritik sastra umum ini akan tetap berkembang untuk masa-masa mendatang. Apalagi pada era sekarang ini, tidak hanya didukung media massa cetak, tetapi juga media massa online (daring). Media online ini bahkan lebih maju dan berkembang. Para penulis kritik sastra umum ini adalah sastrawan, pengamat dan kritikus sastra, bahkan masyarakat umum yang akrab dan terbiasa menulis di media massa cetak maupun media online.

Kedua, arus kritik sastra akademik. Kritik sastra akademik basisnya dunia akademik di perguruan tinggi. Kritik sastra akademik berpretensi ilmiah, hasilnya  berupa makalah, artikel ilmiah, hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Setiap tahun bertebaran kritik sastra akademik di kalangan perguruan tinggi. Hanya sayangnya, kritik sastra akademik jarang dipublikasikan di media massa cetak dan media online. Akibatnya, kritik sastra akademik jarang dikenal masyarakat umum, apalagi kaum akademisi sastra jarang menulis di media massa cetek. Mereka sibuk membimbing mahasiswa urus kenaikan jabatan akademik, lupa menyebarluaskan hasil kritik sastranya untuk masyarakat luas.  Karena kritikus sastra akademik jarang menulis di media massa, maka muncul anggapan bahwa perguruan tinggi gagal menghasilkan kritikus sastra Indonesia. Maka berkembang pula isu yang tak sedap, yakni terjadi krisis kritik sastra Indonesia. *


Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Sabtu, 11 November 2017)

Post a Comment for "Kritik Sastra Indonesia dalam Dua Arus"