Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mawar Tak Berduri Bidan Ros dari Flores

“Jangan takut ibu, kita harus bertahan! Karena ketakutan meningkatkan penindasan.”

Kutipan ini adalah dua baris puisi penyair WS Rendra yang berjudul “Jangan Takut Ibu” untuk menguatkan hati kaum ibu yang berjuang melawan penindasan. Dua baris puisi WS Rendra di atas dikutip dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga karya novelis Maria Matildis Banda, biasa disapa Mery Banda. Novel ini diterbitkan Penerbit Kanisius Yogyakarta (2015) tebal 568 halaman. Novelis ini suka memberi judul novel-novelnya berkaitan dengan bunga. Sebelumnya sudah terbit novel Liontin Sakura Patah, Bugenvil di Tengah Karang, dan Pada Taman Bahagia.

Nama bunga wijaya kusuma yang dijadikan judul novel ini merupakan lambang bakti husada. Filosofi bunga ini menjadi benang merah dalam pelayanan Bidan Ros sebagai tokoh utama novel, juga tokoh-tokoh lain, seperti Dokter Yordan, Bidan Flori, Mama Sofi, Mama Falentina, Om Martin, Om Cekat, dan kader desa siaga yang lain. Isi novel ini dibagi dalam lima bagian dengan 34 sub-bagian. Judul-judul bagian adalah Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, Wijaya Kusuma Berguguran, Wijaya Kusuma Nama Bunga Itu, Terdengar Suara Wijaya Kusuma Malam Ini, dan  Kupetik Wijaya Kusuma yang Sedang Mekar.  


Novel tebal ini mengangkat tema besar yang sangat urgen pada saat ini di Provinsi NTT, yakni tentang suka-duka dan tantangan pelaksanaan program Revolusi KIA (Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak) yang dicanangkan Pemerintah Provinsi NTT beberapa tahun silam. Salah satu tujuan program ini memastikan semua ibu hamil harus melahirkan anak di fasilitas kesehatan yang memadai. Revolusi KIA punyai pengaruh langsung pada perubahan mental dan perilaku masyarakat, karena menuntut kerja sama dan partisipasi segenap warga yang terkait. Tantangan program ini terjadi di daerah-daerah pedesaan yang masih terikat dengan budaya patriarkat yang tidak menguntungkan kedudukan ibu hamil dan kaum perempuan pada umumnya.

Mery Banda menampilkan Bidan Rosa Dalima sebagai tokoh utama novel. Dia biasa dipanggil Bidan Ros atau Bidan Rosa terkadang Nona Ros. Dia berasal dari Bajawa, Kabupaten Ngada, anak bungsu Mama Yus seorang bidan tua di Bajawa yang berpengalaman. Bidan Ros mengabdikan diri sebagai bidan desa di Polindes Bakung bagian dari Puskesmas Flamboyan dalam wilayah RS Melati. Latar atau seting novel ini di wilayah Lio bagian timur Kabupaten Ende, di sekitar lereng gunung Kelimutu.

Masyarakat di pedesaan menganggap urusan hamil dan persalinan adalah urusan perempuan, bukan urusan laki-laki. Suami merasa malu kalau terlibat dalam urusan itu, misalnya kalau ikut mengantar istri hamil ke puskesmas atau polindes, menjaga ibu yang melahirkan, mengurus bayi dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan ibu hamil dan anak bayi. Bahkan ada suami tidak mau istrinya diperiksa dokter atau bidan, apalagi dipegang alat kelaminnya oleh orang lain. Bukan karena dilarang, tetapi hanya karena tidak lazim dan merasa malu kalau diketahui orang lain.  

Bidan Ros mengalami berbagai kejadian memilukan dalam bertugas. Berikut beberapa contoh. Mama Lisa yang melahirkan anak keempat harus meregang nyawa di RS Melati. Sejumlah kejadian fatal membuat hatinya sakit, dan betapa pedihnya. Mama Lisa seorang pasien yang rentan karena melahirkan anak setiap tahun, ada yang selamat ada yang tidak. Itu akibat lalai memeriksa kehamilan di polindes. Suaminya Om Nadus masa bodoh, bahkan meninggalkan istri yang hamil tua dengan merantau sebagai TKI di Malaysia. Anggota keluarga Mama Lisa masa bodoh, sibuk urusan lain.

Mama Lisa harus dirujuk ke RS Melati di Kota Ende yang jaraknya puluhan kilometer. Dalam perjalanan ke RS dihadang angin dan hujan deras. Jalan putus dan tanah longsor. Keadaan bertambah runyam karena melewati Jalan Trans Flores yang putus karena longsor di Km 18 dari Kota Ende ke arah timur. Selama 2,5 jam Mama Lisa harus berjuang antara hidup dan mati di tengah jalan putus dan tanah longsor. Nyawanya meregang sia-sia sesampai di RS Melati. “Apakah saya ikut andil dalam kematian ini?” suara hati Bidan Rosa atas peristiwa duka itu.


Maria Matildis Banda   

 

Mama Aminah juga harus pergi sia-sia di Puskesmas Flamboyan hanya karena ketiadaan tabung gas. Ada dua pasien gawat darurat yang harus diselamatkan nyawanya dengan tabung gas. Tabung gas hanya satu, dua yang lain lalai untuk diisi petugas puskesmas. Bidan dan perawat berkelahi merebut tabung gas untuk pasiennya. Apes dialami Ibu Aminah yang tidak kebagian tabung gas. Ini kematian konyol. Apakah ini kelalaian pelayanan bidan atau kelalaian manajemen puskesmas?  “Apakah saya ikut andil dalam kematian ini?”batin Bidan Rosa tak berdaya.

Berbekalkan berbagai pengalaman pahit yang dialaminya di Puskesmas Flamboyan dan Polindes Bakung membuat Bidan Ros bangkit bersama kepala puskesmas, bidan-bidan desa lain, kader-kader desa siaga, bapa desa, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemuda. Berkat kelincahannya bergaul serta sifatnya yang suka menolong dan ramah, tugas Bidan Ros menjadi lancar karena dicintai banyak warga. Dia juga mampu meyakinkan warga untuk berpartisipasi menyukseskan tugas pelayanannya. Tanpa menyimpan rasa dendam dan sakit hati kepada siapapun dia tetap bekerja profesional dengan pegang filosofi bunga wijaya kusuma yang memancarkan nilai kemanusiaan. Keselamatan pasien menjadi yang utama. Bidan Ros bagaikan mawar tak berduri yang mekar di pedesaan. 

 

Berbagai kesuksesan yang ditorehnya, tanpa gembor-gembor, membuat Bidan Ros mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk pihak pemerintah. Berkat pengabdiannya yang tulus Bidan Ros mendapat penghargaan sebagai bidan teladan tingkat Provinsi NTT. Predikat yang sangat pantas diterimanya.

Novel ini menampilkan karakteristik masyarakat dan budaya Flores dengan "sempurna" lewat dialog-dialog para tokoh yang terlibat. Apalagi pada waktu pertemuan para kader siaga di desa atau polindes. Mery Banda sangat cermat menampilkan karakter setiap tokohnya lewat kekhasan bahasa yang mereka gunakan, seperti gaya berbahasa Mama Sofi, Mama Gons, Om Cekat dan Lukas Kribo, membuat kita tersenyum sendiri, merasa geli, tergelitik dan lucu. Bahasa dasar bahasa Indonesia, tetapi sambung-menyambung dengan bahasa daerah Lio, campur aduk dengan logat pribadi, namun tetap komunikatif.

Membaca novel ini kita terbawa hanyut dalam gaya penulisan Mery Banda yang mengalir lancar, gurih, dan menggelitik. Sebagai orang Flores, pada waktu membaca novel ini, saya merasa seperti sedang menertawakan diri sendiri, juga menertawakan orang lain, yang juga sesama orang Flores. Memang begitulah gaya orang Flores kalau bicara. Ya, mau bagaimana lagi. Kita harus bangga dengan apa yang kita miliki sebagai kekhasan kita. Dan Mery Banda adalah sastrawan NTT yang jago melukiskan kekhasan berbahasa itu.

Novel ini mengangkat lokalitas budaya dan masyarakat Flores termasuk topografi dan geografi Flores yang kurang bersahabat. Tidak hanya gaya berbahasa orang Flores yang khas, perilaku dan karakter lelaki Flores juga muncul dalam novel ini. Misalnya, tokoh Adrian lelaki mata keranjang yang suka gonta-ganti pacar. Lukas Kribo tukang ojek kampung yang suka buat onar di Puskesma Flamboyan. Om Martin sarjana ekonomi yang masih lajang, suka membantu Bidan Ros tapi malu menyatakan cintanya. Om Cekat yang cerewet dan sering salah mengucapkan sejumlah istilah baru yang sedang tren, tetapi menyenangkan.  

Novel ini menjadi tambah bergairah untuk terus dibaca karena diselingi dengan cerita petualangan cinta tiga orang lelaki lajang yang jatuh cinta kepada Bidan Ros. Mereka adalah Adrian pemuda mata keranjang asal Bajawa. Dokter Yordan kepala Puskesmas Flamboyan asal Atambua, Kabupaten Belu,  yang berperilaku sopan, dan Martin seorang pengusaha lokal yang sukses. Ketiga pemuda ini dengan caranya sendiri-sendiri merebut hati si bunga mawar yang tak berduri, namun malu untuk terus terang.

Cerita petuangan cinta ketiga pria jomblo ini menjadi tak berujung di bagian akhir novel. Novelis Mery Banda membuat kejutan, para pembaca jadinya penasaran dan bertanya-tanya, padahal penasaran sudah di ubun-ubun. Apakah Bidan Ros jadi nikah dengan Dokter Yordan atau dengan Martin atau pula dengan Adrian?  Ketegangan yang lain adalah bagaimana hasil perjuangan Matilda mantan pacar Dokter Yordan dari Surabaya yang tiba-tiba muncul merebut Dokter Yordan dari tangan Bidan Ros pada waktu keduanya berada di Taman Doa Oebelo di Kabupaten Kupang?

Novelis Maria Matildis Banda sepertinya sengaja menggantung sejumlah persoalan cinta yang membuat para pembaca penasaran. Tema percintaan tidak diberi kata akhir oleh novelis. Novelis mau menunjukkan bahwa percintaan dalam novel ini hanyalah tema tambahan sebagai penyedap rasa untuk menggairahkan jalan cerita novel. Tema utama novel adalah tantangan dan suka-duka pelaksanaan Revolusi KIA di daerah pedesaan di Provinsi NTT. *


Oleh: Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Selasa, 17 Oktober 2017)




3 comments for "Mawar Tak Berduri Bidan Ros dari Flores "

  1. Mantap pak, sy baru punya satu novel ibu Mery banda... "pd taman bahagia" beli waktu msh mahasiswa. penasaran dgn novel lainnya

    ReplyDelete
  2. Trmksh ulasan cerita nya sangat menarik...sukses selalu.👌..shalom

    ReplyDelete