Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Debat Sastra Berujung Pidana?

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

Akhir Maret 2015 lalu, sejumlah media massa di tanah air, baik media cetak maupun  elektronik dan media online, ramai memberitakan penjemputan paksa sastrawan Saut Situmorang oleh tiga orang polisi dari Polres Jakarta Timur, terkait kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan sastrawan Fatin Hamama. Saut dijemput paksa di rumahnya di Yogyakarta, karena dua kali dipanggil penyidik tidak datang. Akhirnya, Jumat (27/3/2015) Saut diperiksa selama enam jam di Polres Jakarta Timur dengan tuduhan melanggar Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan/atau Pasal 310 KUHP, dan/atau Pasal 311 KUHP (Kompas, 28/3/2015).  

Ihwal pemanggilan paksa Saut Situmorang ini bermula dari perdebatan (polemik) sastra di Facebook terkait penerbitan buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diterbitkan Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) tahun 2014. Buku tebal 734 halaman yang diluncurkan di Jakarta pada 3 Januari 2014 ini menghebohkan peminat/penggiat sastra Indonesia. Buku ini ditulis oleh Tim 8 dengan Ketua Tim sastrawan Jamal D. Rahman yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison.

Yang banyak ditentang para peminat/penggiat sastra adalah masuknya nama Denny JA pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sebagai tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh. Denny JA disejajarkan dengan tokoh sastra Indonesia lain, seperti Chairil Anwar,  Rendra, Pramoedya Ananta Toer, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan lain-lain. Selama ini Denny JA dikenal luas sebagai konsultan politik dengan LSI yang dikelolanya sebagai lembaga survei yang sangat kredibel di Indonesia. Dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ini (halaman 647-663), Denny JA dinilai oleh penulis (Ahmad Gaus) sebagai tokoh sastra berpengaruh karena “menggagas puisi esai” yang merupakan konsep estetika baru dalam sastra Indonesia modern.   

Para penentang buku itu membuka laman grup di Facebook dengan nama “Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.” Dalam laman itu Saut Situmorang, Iwan Soekri Munaf, dan lain-lain mengambil bagian. Fatin Hamama salah seorang yang disebut terlibat dalam penerbitan buku, dituduh oleh para penentang sebagai brokernya Denny JA. Saut Situmorang dilaporkan Fatin ke Polres Jakarta Timur karena menggunakan kata “bajingan.” Adapun kalimat lengkap dalam laman itu: “Jangan berdamai dengan bajingan.”

Bentuk Kriminalisasi?

Banyak pihak yang menilai tindakan penjemputan paksa (ada yang menyebutnya penangkapan) oleh Polres Jakarta Timur itu sebagai tindakan berlebihan, bahkan sebuah bentuk kriminalisasi debat sastra. Menurut pengacara Saut, Iwan Pangka, kasus itu terlalu dibesar-besarkan. “Dalam sastra, kalimat seperti itu (bajingan) sudah biasa. Apalagi pelapor (Fatin) juga sastrawan. Jadi, seharusnya sudah mengerti. Apa jadinya dunia sastra Indonesia kalau perdebatannya langsung dibawa ke ranah hukum,” ujarnya (Kompas, 28/3/2015).

Kecaman keras datang dari budayawan Radhar Panca Dahana. Menurutnya, perdebatan sastra semestinya bukan ranah kepolisian, sehingga tidak benar jika masalah ini ditarik ke persoalan hukum. Setiap wilayah kebudayaan memiliki ruang lingkup linguistik tersendiri yang berbeda-beda satu sama lain. Jangan semua disamaratakan dengan bahasa hukum. “Tidak benar polisi mengurusi perdebatan sastra. Dalam norma literer kesusastraan, saling ejek adalah hal lumrah sejak dulu, untuk saling melengkapi. Setelah ejek-mengejek, biasanya mereka (sastrawan) lalu minum kopi bareng,” kata Radhar yang sering vokal membela kebudayaan.

Kalau kita ikuti terus polemik penjemputan paksa Saut Situmorang di media sosial, sampai kini masih berlanjut. Meskipun ada yang membela Fatin yang melapor dan Polres Jakarta Timur yang menjemput paksa Saut Situmorang, sebagian besar peminat/penggiat sastra dan masyarakat umum menentang kasus perdebatan sastra berujung pidana. Ragam bahasa sastra tidak bisa disamakan dengan ragam bahasa dunia politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Kata “bajingan” dalam karya sastra, juga dalam perdebatan sastra, adalah bagian dari gaya bahasa atau majas yang memang sesekali diperlukan guna memberikan efek gugah sebuah karya.

Kata “Bajingan”

Tentang penggunaan kata “bajingan” dalam debat sastra yang menjadi “kata kunci” tuduhan pencemaran nama baik oleh Fatin Hamama, membuat saya teringat perdebatan singkat antara penyair Rendra dan penyair Darmanto Jatman pada 33 tahun lalu, tepatnya tahun 1982. Pada waktu itu, Hardi (redaktur Majalah Sastra Horison) mewawancarai Rendra dan dimuat dalam Majalah Sastra Horison edisi Nomor 11 (November) Tahun 1982 (halaman 353-361) dengan judul: “Rendra: ‘Saya Punya Mental Juara.”’ Dalam wawancara itu Rendra ditanyai tentang penilaiannya terhadap puisi-puisi sejumlah penyair Indonesia, termasuk puisi-puisi penyair Darmanto Jatman, yang menggunakan bahasa gado-gado, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Menurut Rendra puisi-puisi Darmanto itu tidak bernilai, dia hanya cari efek saja, tidak mempunyai disiplin estetika, nilainya rendah, bahkan memalukan. Ini sebagian kutipan penilaian Rendra: “Lhhaaa ini kan hanya mengejar efek saja. Lalu mengejar efek ini, disiplin estetika apa? Cari efek … itu kan kalau seorang actor  “cari efek” … memalukan sekali.”

Majalah Sastra Horison edisi berikutnya Nomor 12 (Desember) Tahun 1982 (halaman 434-435) dimuat tanggapan balik sejumlah penyair atas wawancara Rendra, dengan judul “Menanggapi Rendra.” Apa tanggapan Darmanto atas penilain Rendra? Ini kutipannya: “Dia itu ‘bajingan,’ kok. Ungkapan Jawa yang saya pakai itu kan merupakan tesa saya yang harus dijawab oleh sejarah. Apa yang saya tulis bukan hanya sekadar ‘mencari efek.’ Ia merupakan pencerminan kegelisahan saya sebagai orang Jawa yang dijajah oleh bahasa Indonesia.” Penggunaan kata “bajingan” yang digunakan Darmanto menanggapi penialaian Renda atas puisi-puisinya adalah ungkapan spontan, dan itu biasa dalam dunia perdebatan sastra.

Selang beberapa waktu kemudian, yakni awal tahun 1983, Rendra diundang membacakan puisi-puisi pamfletnya di Universitas Diponegoro Semarang tempat Darmanto Jatman mengajar. Pada waktu dimintai tanggapan pers atas penampilan Rendra di Semarang, Darmanto memujinya sebagai penyair kuat Indonesia yang belum ada tandingannya. Sejumlah surat kabar terbitan Semarang, seperti Suara Merdeka dan Wawasan memberitakan tanggapan sportif Darmanto Jatman. Peristiwa menarik ini saya ikuti betul, karena pada waktu itu (1981-1985) saya kuliah di Semarang dan sesekali ikut terlibat dalam kegiatan sastra.

Ragam Lingustik Berbeda

Mari kita bandingkan kata “bajingan” yang digunakan penyair Darmanto terhadap penyair Rendra, dengan kata “bajingan” yang digunakan Saut Situmorang terhadap Fatin Hamama. Konteksnya sama, perdebatan sastra. Antara Rendra dan Darmanto setelah perdebatan itu baik-baik saja, bahkan Darmanto memuji Rendra dengan tulus sebagai penyair kuat Indonesia. Tidak ada dendam, tidak ada masalah.

Itulah dunia sastra, dunia dalam kata-kata. Dunia sastra mempunyai konvensi sendiri yang berbeda dengan dunia lain, seperti dunia politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Benar sekali kata budayawan Radhar Panca Dahana, bahwa setiap wilayah kebudayaan memiliki ruang lingkup linguistik tersendiri yang berbeda satu sama lain. Jangan semua disamaratakan dengan bahasa hukum. Karena itu, tidak perlu polisi mengurusi perdebatan sastra.

Kalau Fatin Hamama memahami sungguh hakikat sastra, termasuk perdebatan di bidang sastra, mestinya dia tidak serta merta melaporkan Saut Situmorang ke Polres Jakarta Timur. Dunia sastra adalah dunia dalam kata-kata yang sarat muatan relativitas-relativitas. Sastra berusaha menjaga idealisme, menjaga keseimbangan kutub-kutub ekstrim yang berseberangan.  Dunia dalam kata-kata membuat segala yang ekstrim menjadi relatif. Kalau Fatin Hamama merasa diri seorang penyair, dan kasus ini terus berujung ke tindak pidana, menurut hemat saya, kepenyairan Fatin Hamama perlu direfleksikan kembali.

Kepada Polres Jakarta Timur yang menangani kasus debat sastra ini, sebaiknya berpikir untuk tidak melanjutkannya. Kasus Saut Situmorang ini bukan hanya masalah pribadi antara Saut dan Fatin Hamama saja, tetapi masalah perdebatan dalam dunia sastra. Apa jadinya dunia sastra Indonesia, kalau perbedaan pendapat langsung dibawa ke ranah hukum. Tidak eloklah Polres Jakarta Timur menerapkan pasal dan ayat UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP ke dalam dunia sastra yang berbeda dengan dunia hukum dan politik. *

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Selasa, 14 April 2015)

Post a Comment for "Debat Sastra Berujung Pidana?"