Menjawab Advokat Edi Danggur
Oleh Yohanes Sehandi
Mantan
Anggota DPRD Provinsi NTT Periode 1999-2009
Saya
cukup kecewa membaca jawaban advokat Edi Danggur di harian Flores Pos terhadap tanggapan saya. Opini yang berjudul “Bernalar
dengan Data” (Flores Pos, 4 Juni
2016) adalah jawaban Edi Danggur terhadap tanggapan saya berjudul “Menanggapi
Advokat Edi Danggur” (Flores Pos, 20
Mei 2016).
Mengapa
saya kecewa? Karena opini Edi Danggur tidak bisa menjelaskan pertanyaan saya,
dia menjelaskan hal lain yang tidak relevan. Substansi pendapat saya dalam konflik
Tanah Pede, baik lewat berita berjudul “Pemprov Harus Kembalikan Pede” (Flores Pos, 15 Maret 2016) maupun dalam
opini tanggapan saya yang telah disebutkan di atas, bertolak dari perintah UU
Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.
Ada
dua pasal dan tiga ayat UU Nomor 8 Tahun 2003 yang menjadi pegangan dasar saya
dalam menanggapi konflik Tanah Pede yang kini makin memanas, yakni Pasal 13
Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Pasal 16.
Dua pasal dan tiga ayat ditambah dengan Penjelasan UU Nomor 8 Tahun 2003
itu yang seharusnya dijelaskan atau dijawab advokat Edi Danggur terutama dari
sisi hukumnya.
Ternyata
Edi Danggur tidak bisa menjelaskannya. Ia bahkan menjelaskan hal-hal lain yang
tidak relevan, seperti bukti kepemilikan Tanah Pede oleh Pemprov NTT berupa
sertifikat tanah. Edi Danggur berakrobat dengan ilmu hukumnya, tetapi tidak
relevan, tidak pada tempatnya, jauh panggang dari api. Orang kampung bilang, gatalnya
lain, garuknya lain. Cara berpikir seperti itulah yang saya sebut dalam opini
ini sebagai sesat pikir advokat Edi Danggur. Tentang sesat pikir ini saya
tunjukkan berikut ini.
Pertama, soal bukti kepemilkan Tanah
Pede berupa sertifikat. Edi Danggur ngotot mengklaim Tanah Pede milik sah
Pemprov NTT yang dibuktikan dengan sertifikat tanah, baik sertifikat yang sudah
hilang maupun yang sudah diganti lagi. Ini yang dijadikan Edi Danggur sebagai
modal dalam menjawab tanggapan saya, yakni data sertifikat Tanah Pede, sehingga
menurutnya dia “bernalar dengan data” yang dijadikan judul opininya. Oke. Kalau
sekarang Pemprov NTT sudah memiliki sertifikat Tanah Pede yang sah, pertanyaan
mendasar, mengapa Pemprov NTT tidak menyerahkannya ke Manggarai Barat sesuai
dengan perintah Pasal 13 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Pasal 16 UU Nomor 8
Tahun 2003?
Sebagaimana
saya kemukakan dalam wawancara Flores Pos
(15 Maret 2016) bahwa selama saya menjadi anggota DPRD Provinsi NTT 1999-2009,
kendala utama Pemprov NTT dalam menyerahkan Tanah Pede ke Manggarai Barat
karena belum lengkapnya dokumen kepemilikan Tanah Pede. Kalimat yang sering
kami dengar dari Kepala Biro Tatapem Tuce Manongga dan Kepala Dinas Pariwisata
Provinsi NTT Hosea Dally adalah: “Ada niat untuk menyerahkan Tanah Pede, tetapi
dokumen kepemilikan tanah belum lengkap, dan akan diusahakan.”
Kini
advokat Edi Danggur sudah memastikan bahwa sertifikat Tanah Pede sudah ada dan
sah. Kalau begitu, kini tiba waktunya Pemprov NTT menyerahkan Tanah Pede itu ke Manggarai Barat. Dua kali Edi Danggur
menanggapi pendapat saya, tetapi tidak menjawab pertanyaan mendasar ini. Dia
menjelaskan hal lain yang tidak relevan. Lain pertanyaan, lain jawabannya. Itulah
yang saya sebut dalam opini ini sebagai sesat pikir.
Penyerahan Tanah Pede oleh Pemprov
NTT kepada Manggarai Barat bersifat imperatif (mengharuskan) sesuai dengan
perintah Pasal 13 Ayat (1) poin b UU Nomor 8 Tahun 2003 yang dengan tegas
menyatakan: Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten
Manggarai Barat, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Bupati Manggarai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan menginventarisasi, mengatur, dan
melaksanakan penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat hal-hal
sebagai beikut: (poin b): barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah,
bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Kabuapten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat.
Pertanyaan mendasar lain dalam
opini saya (Flores Pos, 20 Mei 2016),
juga tidak bisa dijawab Edi Danggur, yakni soal perbedaan sertifikat tanah
milik pribadi (privat) dengan sertifikat tanah milik pemerintah (negara). Saya katakan
dalam opini saya, kalau sertifikat Tanah Pede itu miliki pribadi Frans Lebu
Raya yang kebetulan saat ini menjadi Gubernur NTT, masyarakat Manggarai Barat tidak
mempersoalkannya, karena itu hak milik pribadi. Karena sertifikat Tanah Pede
adalah sertifikat tanah milik pemerintah (negara), dalam hal ini Pemprov NTT, maka
rakyat berhak menyatakan pendapat agar penggunaannya untuk kepentingan
masyarakat banyak, bukan kepentingan pribadi seorang investor (pengusaha) yang bernama
PT SIM.
Rakyat Manggarai Barat bersama
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menentang privatisasi Tanah Pede oleh Pemprov
NTT kepada pihak lain adalah hak konstitusional mereka sebagai rakyat
berdasarkan pertimbangan manusiawi dan masuk akal. Pemerintah yang benar dan berhati nurani, mestinya
berpihak kepada rakyat yang telah memilihnya, bukan bersekongkol dengan pihak
yang menyogoknya. Untuk apa ada pemerintah, untuk apa ada pejabat, kalau perilakunya
hanya menyakiti hati rakyat?
Kedua,
soal kaitan UU Nomor 8 Tahun 2003 dengan UU lain. Edi Danggur ngotot bahwa
pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2003 harus dikaitkan (disesuaikan) dengan
ketentuan UU lain, seperti UU tentang Keuangan Negara, UU tentang
Perbendaharaan Negara, UU tentang Pertanahan, dan peraturan yang lain. Dalam opini
tanggapan saya (Flores Pos, 20 Mei
2016), saya katakan kepada Edi Danggur bahwa Pasal 16 adalah pasal pamungkas UU
Nomor 8 Tahun 2003 yang berbunyi jelas dan tegas: “Pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.”
Edi Danggur mestinya jelaskan
secara rinci pasal berapa dan ayat berapa dalam UU yang lain itu yang tidak
sejalan atau bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2003. Edi Danggur malah berputar-putar
dengan mengutip pendapat pakar hukum Lon L. Fuller, Lawrence M. Friedman, dan
Margaret L. Barron. Apa relevansi mengutip pendapat para pakar hukum ini? Edi
Danggur terus berakrobat dengan menyebutkan sejumlah surat Gubernur NTT yang
memberitahukan Bupati Manggarai Barat bahwa pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2003 harus sesuai
dengan ketentuan UU lain.
Akrobat Edi Danggur yang lain adalah dengan menyatakan
bahwa penyerahan Tanah Pede harus ada tindakan hukum berupa berita acara
penyerahan tanah, juga harus mendapat persetujuan DPRD Provinsi NTT. Akrobat
konyol terakhir Edi Danggur dalam opininya, menyebutkan bahwa Bupati Manggarai
Barat, Agustinus Ch. Dula, telah mengeluarkan Izin Prinsip Lokasi (IPL) pada 30
Juli 2012 dan menerbitkan Izin Lingkungan (IL) pada 13 Mei 2016 kepada investor
PT SIM milik Setya Novanto. Bahkan dia bertaruh, Tanah Pede mustahil diambil
alih menjadi aset miliki Pemkab Manggarai Barat.
Pertanyaan mendasar kepada advokat Edi
Danggur, apa relevansi menyebutkan berbagai hal di atas dalam kaitan dengan
perintah UU Nomor 8 Tahun 2003? Edi Danggur gagal menjelaskan, pasal berapa dan
ayat berapa UU tentang Keuangan Negara, UU tentang Perbendaharaan Negara, dan UU
tentang Pertanahan yang “bertentangan” dengan UU Nomor 8 Tahun 2003? Mengapa
Edi Danggur tidak menunjukkannya?
Mengapa Edi Danggur berputar-putar menyebutkan
hal-hal lain yang tidak relevan? Semua yang disebut Edi Danggur di atas kedudukannya
hukumnya “jauh di bawah” kekuatan UU. Berapa kalipun Gubernur NTT Frans Lebu
Raya membuat surat, berapa kalipun Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula menerbit
surat izin, semuanya tidak mempunyai kekuatan hukum apapun berhadapan dengan UU
Nomor 8 Tahun 2003.
Kalaupun ada pasal dan ayat UU lain
itu yang disebutkan advokat Edi Danggur bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun
2003, maka UU Nomor 8 Tahun 2003 yang harus dinyatakan berlaku secara otomatis berdasarkan
asas penafsiran hukum lex specialis
derogat lex generalis. Asas ini menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
(lex specialis) mengesampingkan hukum
yang bersifat umum (lex generalis).
Dalam kaitan dengan UU Nomor 8
Tahun 2003, yang menjadi lex specialis
adalah UU Nomor 8 Tahun 2003, sedangkan UU tentang Keuangan Negara, UU tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU tentang Pertanahan, dan lain-lain adalah lex generalis. UU Nomor 8 Tahun 2003
yang dinyatakan berlaku secara otomatis. Sebagai sarjana hukum, advokat Edi
Danggur mestinya sudah tahu tentang asas penafsiran hukum yang berlaku
universal ini, tidak perlu diberitahu
lagi. *
(Telah
dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Rabu, 29 Juni 2016)
Post a Comment for "Menjawab Advokat Edi Danggur"