Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjadi Sarjana Paripurna

Kalau ditelusuri sejarah kelahiran dan perkembangannya, kata “sarjana” berasal dari bahasa Sansekerta (India), terserap ke dalam bahasa Kawi (Jawa), kemudian terserap lagi ke dalam bahasa Indonesia. Baik dalam bahasa Sansekerta maupun dalam bahasa Kawi, kata “sarjana” menunjukkan arti “orang pandai” atau “ahli ilmu pengetahuan.”

Dalam perkembangannya, kata “sarjana” mengalami penyempitan makna, yakni kata yang sebelumnya (dahulu) bermakna luas menjadi sempit (terbatas). Kalau sebelumnya kata “sarjana” bermakna luas karena menunjukkan arti orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan, kini istilah itu bermakna sempit.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga, 2001, halaman 1000), kata “sarjana” diartikan sebagai gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menyelesaikan program studi tertentu di perguruan tinggi. Jadi, kata “sarjana” kini hanya menunjukkan arti sempit, yakni orang yang lulus perguruan tinggi (PT) program S-1.

Apakah dengan menyandang “gelar sarjana” dari PT masih melekatkah makna asli kata tersebut sebagai orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan? Tanpa perlu melakukan penelitian, kita harus jujur mengatakan bahwa para sarjana lulusan PT kita di Indonesia kini tidak lagi seperti makna asli kata sarjana itu. Tentu saja ada pengecualian. Inilah tantangan besar sarjana baru lulusan PT kita pada saat ini.     

Berdasarkan fenomena dan perilaku para sarjana yang ada dalam masyarakat kini, membuat para ahli dan pengamat pendidikan tinggi di Indonesia mengajukan konsep “sarjana paripurna” untuk mendorong para sarjana baru memacu diri mengejar yang ideal yang ditawarkan konsep sarjana paripurna. Sarjana paripurna adalah sarjana lengkap atau sarjana penuh yang tidak sekadar menjadi sarjana formalitas yang hanya mengandalkan ijazah dan transkrip nilai.

Apa itu sarjana paripurna? Tentang pokok ini telah banyak ditulis para ahli dan pengamat pendidikan tinggi Indonesia. Herimanto dan Winarno dalam Ilmu Sosial & Budaya Dasar (cetakan ke-3, 2010, halaman 10-11) menyatakan, sarjana paripurna adalah sarjana lulusan perguruan tinggi (PT) program strata satu (S-1) yang memiliki tiga jenis kemampuan dasar. Ketiga jenis kemampuan dasar itu adalah kemampuan personal, kemampuan akademik, dan kemampuan profesional. Setiap sarjana harus memiliki ketiga kemampuan dasar ini untuk bisa disebut sebagai sarjana paripurna.  

Pertama, kemampuan personal (kepribadian). Dengan kemampuan ini seorang sarjana mampu menunjukkan sikap, perilaku, tutur kata, dan tindakan yang mencerminkan kepribadian yang baik sebagai manusia Indonesia; menghayati dan mengamalkan nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan (Pancasila); memiliki kepekaan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat bangsa, terutama permasalahan masyarakat dalam lingkungannya.

Bukan rahasia lagi, tidak sedikit sarjana kita yang dalam pergaulannya di masyarakat tidak menunjukkan sikap, perilaku, tutur kata, dan tindakan terpuji sebagai seorang sarjana. Orang di sekitarnya minum mabuk dan sering berkelahi, dia juga ikut minum mabuk dan berkelahi. Mestinya sang sarjana berusaha untuk mengurangi kebiasaan buruk masyarakat lingkungannya. Kalau dia memiliki kemampuan personal (kepribadian) yang baik, mestinya dia mampu menghilangkan kebiasaan buruk masyaraiat lingkungannya.

Kedua, kemampuan akademik (keilmuan). Dengan kemampuan ini seorang sarjana mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara ilmiah, baik secara lisan maupun secara tertulis; menguasai peralatan analisis keilmuan, berpikir logis, kritis, dan sistematis; memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan menawarkan alternatif solusi atas permasalahan tersebut.

Bukan rahasia lagi, tidak sedikit sarjana kita menyandang gelar sarjana hukum, misalnya, tetapi dalam kehidupan bermasyarakat tidak memberikan solusi atas tindakan melawan hukum yang dilakukan orang di sekelilingnya. Bahkan sebaliknya, ada sarjana hukum yang ikut menjadi provokator yang memicu pertikaian antara warga masyarakat. Kalau dia memiliki kemampuan akademik, si sarjana hukum harus berperan menyadarkan orang di sekelilingnya untuk patuh pada hukum, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ketiga, kemampuan profesional (bidang kerja). Dengan kemampuan ini seorang sarjana dapat menerapkan atau mengaplikasikan ilmunya dalam profesi atau bidang kerja yang digelutinya. Berbagai pelatihan yang diperolehnya di PT adalah modal seorang sarjana untuk bekerja profesional di bidang tugasnya.

Kita sering mendengar keluhan di sekolah-sekolah terhadap sarjana pendidikan lulusan PT. Ada sarjana pendidikan yang ternyata tidak becus melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Ada yang tidak becus menyiapkan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran), tidak mampu mengelola kelas sehingga suasana kelas ribut, tidak mampu menyusun kisi-kisi soal ujian yang dapat mengukur kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik para siswa. Kalau si sarjana pendidikan memiliki kemampuan profesional, tentu tidak ada keluhan di sekolah-sekolah tempat mereka mengajar.

Momen acara wisuda adalah momen berharga untuk refleksi diri bagi setiap sarjana baru. Jadilah sarjana paripurna yang memiliki kemampuan dasar yang mutlak dimiliki, yakni kemampuan personal, kemampuan akademik, dan kemampuan profesional. Dengan demikian, para sarjana baru lulusan PT tidak dinilai sebagai sarjana formalistas belaka yang hanya mengandalkan sepotong kertas yang disebut ijazah dan transkrip nilai. 

Oleh Yohanes Sehandi 
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende 

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Sabtu, 12 Desember 2015)


Post a Comment for "Menjadi Sarjana Paripurna"