Membaca Cerpen Siswa SMA Sedaratan Flores
Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa Oktober 2013, Program Studi (Prodi) Pedidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Flores (Uniflor) menyelenggarakan lomba penulisan cerita pendek (cerpen) tingkat SMA sedaratan Flores, di samping lomba menari tingkat SD dan lomba mendongeng tingkat SMP se-Kabupaten Ende.
Peserta lomba penulisan cerpen berjumlah 27 siswa dari 7 SMA sedaratan Flores. Ke-7 SMA itu adalah (1) SMA St. Klaus Kuwu Ruteng, Manggarai, (2) SMA Seminari Kisol, Manggarai Timur, (3) SMAK Regina Pacis Bajawa, (4) SMAK Syuradikara Ende, (5) SMAN 1 Maumere, (6) SMAN 1 Larantuka, dan (7) SMAK Frater Podor Larantuka. Peserta wanita 17 orang berasal dari 6 SMA, peserta pria 10 orang dari 3 SMA.
Melalui kriteria penilaian yang ketat, dewan juri menetapkan empat cerpenis sebagai pemenang lomba, diumumkan pada puncak peringatan Bulan Bahasa pada Senin, 28 Oktober 2013 di Auditorium Uniflor, yang didahului dengan seminar kebahasaan dengan tema “Menggali Pemikiran Gorys Keraf.”
Keempat pemenang lomba itu adalah (1) Agustinus Yogi Darmawan Warut (SMA Seminari Kisol, Manggarai Timur) dengan judul cerpen “Anak Bukit,” mendapatkan hadiah uang Rp 500.000,00, piala, dan serifikat, (2) Yunike Erlinda Pandjara (SMAK Syuradikara, Ende) dengan cerpen “Tiga Warna,” mendapatkan hadiah uang Rp 250.000,00, piala, dan sertifikat, (3) Claudia Gracia Ngambut (SMA St. Klaus Ruteng, Manggarai) dengan cerpen “Setinggi Bintang di Langit,” dengan hadiah uang Rp 200.000,00, piala, dan sertifikat, dan (4) Angelicha Maria Sole (SMAK Regina Pacis Bajawa, Ngada) dengan cerpen “Wajah Lingkunganku,” dengan hadiah uang Rp 150.000,00, dan sertifikat.
Buku Antologi Cerpen
Dari 27 cerpen yang ada, dipilih 16 cerpen unggulan yang akan dimasukkan dalam Antologi Cerpen Siswa SMA Sedaratan Flores yang akan diterbitkan menjadi buku oleh Prodi PBSI Uniflor.
Cerpenis yang masuk 16 besar itu adalah (1) Dewi Muda Makin (SMAN 1 Larantuka) dengan cerpen berjudul “Ayah, Ibu Kumohon!”, (2) Yohanes Eduardus Loli Ofong (SMAN 1 Larantuka) dengan cerpen “Perjuangan Hidup,” (3) Karolina Karmadina (SMAN 1 Larantuka) dengan cerpen “Akhirnya,” (4) Yosephina Leto Lapilia (SMAK Frater Podor Larantuka) dengan cerpen “Titik,” (5) Romanus Hadianto Ogan (SMAN 1 Maumere) dengan cerpen “Berbeda,” (6) Yosefa Agnes Yollanda Neonbeni (SMAN 1 Maumere) dengan cerpen “Berawal dari Langit Jingga,” (7) Yunike Erlinda Panjara (SMAK Syuradikara Ende) dengan cerpen “Tiga Warna,” (8) Megaayu Widyastuti (SMAK Syuradikara Ende) dengan cerpen “Sang Pinjakan Butuh Perhatian,” (9) Angelicha Maria Sole (SMAK Regina Pacis Bajawa) dengan cerpen “Wajah Lingkunganku,” (10) Agustinus Yogi Darmanto Warut (SMA Seminari Kisol) dengan cerpen “Anak Bukit,” (11) Eugenius Besli (SMA Seminari Kisol) dengan cerpen “Bidadari Gang Sebelah,” (12) Godefridus Yulian Garung (SMA Seminari Kisol) dengan cerpen “Nipi si Pemimpi,” (13) Andreas Royaldus Pan (SMA Seminari Kisol) dengan cerpen “Tersenyumlah Wajah Indonesiaku,” (14) Donatus Doni Koli (SMA Seminari Kisol) dengan cerpen “Awan Hitam Selimut Bangsaku,” (15) Claudia Gracia Ngambut (SMA St. Klaus Ruteng) dengan cerpen “Setinggi Bintang di Langit,” dan (16) Yunuari Flaviana Gembo (SMA St. Klaus Ruteng) dengan cerpen “Pelangi Sehabis Badai.”
Kriteria Penilaian
Prodi PBSI Uniflor bersama dewan juri menetapkan lima kriteria penilaian, yakni (1) kesesuaian isi dengan tema cerpen, (2) keaslian cerpen dengan mengutamakan latar daerah NTT, (3) penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, (4) unsur kreativitas setiap cerpen, dan (5) kehadiran unsur-unsur cerpen sebagai karya sastra. Berikut ini sejumlah catatan ringan saya selaku anggota dewan juri atas 27 cerpen berdasarkan lima kriteria penilaian dewan juri tersebut.
Pertama, kesesuaian isi dengan tema cerpen. Tema yang ditawarkan panitia adalah “Wajah Indonesiaku.” Sebagian besar cerpenis mengusung tema besar tersebut, hanya penerapannya beragam. Ada sebagian cerpenis yang menerapkan tema itu dengan mengangkat cerita yang ruang lingkupnya luas, Indonesia. Ini terlihat pada sebagian cerpen para siswa SMA Seminari Kisol.
Ada sebagian cerpenis yang menerapkan tema besar itu dalam bentuk cerita sederhana yang terjadi di desanya, di sekolahnya, di masyarakat lingkungannya. Karena ceritanya mengangkat fakta dan peristiwa keseharian, jalan ceritanya menjadi lancar dengan gaya khas para siswa SMA. Ini ditunjukkan oleh para cerpenis wanita. Mereka sepertinya merasa bahwa mengangkat fakta dan peristiwa keseharian di masyarakat merupakan sumbangannya untuk menampilkan “Wajah Indonesiaku” pada masa kini.
Kedua, keaslian cerita dengan mengutamakan latar daerah NTT. Untuk menentukan asli dan tidaknya sebuah cerpen memang tidak gampang. Anggota dewan juri dituntut memiliki modal pengalaman membaca cerpen yang pernah terbit, baik di media cetak (koran) maupun media elektronik. Modal itu penting agar tidak salah memilih cerpen yang ternyata hasil plagiasi.
Dalam menentukan keaslian cerpen, dewan juri memperhatikan beberapa unsur, antara lain (1) latar (tempat kejadian) cerita, (2) permasalahan yang diangkat, (3) tokoh (karakter) yang terlibat, dan (4) dialog antara tokoh dalam cerita. Unsur-unsur ini harus padu dan wajar, tidak boleh terjadi kejanggalan.
Sebuah cerpen akan dinilai asli, misalnya, latar cerita terjadi di desa terpencil Teber di Manggarai, permasalahan yang diangkat, misalnya, wabah penyakit diare yang menimpa warga desa Teber, karena hanya sebagian kecil warga yang memiliki WC dan kamar mandi, sebagian besar membuang kotoran di semak-semak belakang rumah. Nama-nama orang di desa itu, misalnya, Agustinus Warut, Mateus Jehedot, Katarina Ngambut, Yustina Lumun, dan lain-lain, menunjukkan nama-nama asli orang Manggarai masa kini. Semakin terasa asli cerpen itu kalau dialog-dialog antara tokoh menggunakan logat Manggarai yang kental.
Sebaliknya, sebuah cerpen dinilai tidak asli, apabila, misalnya, latar cerita terjadi di desa terpecil Teber di Manggarai, permasalahan yang diangkat tentang pembangunan apartemen atau rumah susun, orang yang tinggal di desa itu ada yang bernama, misalnya, Sucipto, Daeng Pasole, Sukartini, Neneng Wahyuni, dan dialog antara tokoh dalam cerita menggunakan logat Betawi atau logat Batak.
Ketiga, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagian besar cerpen menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, ada sebagian kecil yang kurang memperhatikan penggunaan bahasa. Yang dinilai cukup lemah adalah pada penggunaan ejaan (EYD). Kesalahan EYD yang menonjol pada penggunaan kata depan di dan ke yang seharusnya ditulis terpisah, penulisan sigkatan dan akronim yang tidak konsisten, dan penggunaan huruf besar dan tanda baca koma yang tidak sesuai dengan ketentuan EYD. Struktur kalimat yang banyak salah adalah penempatan kata tugas pada awal kalimat, seperti kata menurut, dalam, karena, mengenai yang mengakibatkan subjek kalimat hilang.Yang juga cukup menonjol adalah penulisan kata bahasa asing dan bahasa daerah yang seharusnya dengan huruf miring.
Keempat, unsur kreativitas setiap cerpenis. Unsur kreativitas yang dicermati adalah pada keunikan masalah yang diangkat cerpenis, kesegaran dalam dialog antara tokoh, dan kejutan cerita yang menggugah para pembaca. Dibandingkan dengan cerpenis pria, unsur kreativitas lebih menonjol pada cerpenis wanita dengan menampilkan dialog-dialog antara tokoh yang hidup, mengalir wajar, diselang-selingi dengan bahasa gaul yang digunakan secara proporsional.
Kelima, kehadiran unsur-unsur cerpen sebagai karya sastra. Sebagian besar cerpen menghadirkan unsur-unsur cerpen yang meliputi: unsur latar (tempat kejadian), alur (jalan cerita), tokoh (perwatakan), gaya bahasa (logat), dan tema cerita. Unsur-unsur cerpen ini kehadirannya harus padu, wajar, dan saling mendukung. Kehadiran unsur-unsur inilah yang membedakan sebuah cerpen (karya fiksi pada umunya) sebagai karya sastra dengan jenis karya tulis yang lain, misalnya dengan renungan, khotbah, dan refleksi iman.
Materi Muatan Lokal
Setelah saya membaca cerpen-cerpen ini, saya merasa puas dan bangga, para siswa dan siswi kita di Flores ini memiliki bakat bercerita (bersastra) yang bagus dan unik, terutama apabila mereka mengangkat cerita fakta dan peristiwa keseharian masyarakat kita, mengangkat cerita rakyat Flores yang berbau mistik dan mitos, mengangkat adat-istiadat asli masyarakat Flores. Upaya yang perlu dilakukan di sekolah-sekolah adalah menggali potensi sastra yang dimiliki para siswa, melatih mereka menulis, kemudian mempublikasikan karya-karya sastra mereka lewat media cetak atau lewat penerbitan buku antologi sastra sebagaimana yang akan dilakukan oleh Prodi PBSI Uniflor.
Ke-16 cerpen unggulan dari 16 cerpenis yang berasal 7 SMA sedaratan Flores, yang telah disebutkan di atas, menurut saya adalah cerpen-cerpen yang layak dan pantas untuk diterbitkan menjadi buku antologi cerpen, untuk dibaca banyak orang, dijual untuk masyarakat umum, dan dijadikan sebagai materi muatan lokal pada sekolah-sekolah kita di NTT. Akan menjadi sangat terpuji kalau pemerintah daerah kita, dalam hal ini Dinas PPO, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di NTT, dengan mata hati yang bening membeli buku-buku sastra karya anak-anak daerah kita ini dengan menggunakan dana APBD, kemudian dibagi-bagikan kepada perpustakaan-perpustakaan sekolah yang ada, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA/SMK sampai tingkat perguruan tinggi. *
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Sabtu, 2 November 2013).
Post a Comment for "Membaca Cerpen Siswa SMA Sedaratan Flores"