Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Yohanes Sehandi Menjawab Charles Beraf (3 Seri Tulisan)

Pengantar

Saya merasa perlu untuk segera menjawab atau menanggapi artikel opini berseri Charles Beraf yang berjudul “Jalan Sesat Sastra (wan) NTT” yang dimuat Flores Pos (16-17 Februari 2012). Judul dan isi artikel opini itu “memvonis” kerja panjang saya dalam melacak sastra dan sastrawan NTT sebagai “jalan sesat” oleh Charles Beraf.

Saya perlu segera menjawab Charles agar virus destruktif dari opini itu tidak menggerogoti atau menurunkan semangat berkarya para sastrawan NTT atau calon sastrawan NTT, terutama kepada 64 sastrawan NTT yang telah saya perkenalkan (orbitkan) kepada masyarakat umum (luas) lewat tulisan panjang saya di Flores Pos (1-10 Februari 2012) yang berjudul “Inilah Sastrawan-Sastrawan NTT.” Dari 64 nama sastrawan NTT yang saya orbitkan, 22 nama sastrawan telah saya perkenalkan secara lengkap satu per satu data biografi (riwayat hidup) dan data karya-karya sastranya, sedangkan 42 nama sastrawan NTT yang lain baru saya sebutkan namanya dahulu sambil terus melacak atau menelusuri data biografi (riwayat hidup) dan data karya-karya sastranya.

Ada tiga pokok yang saya kemukakan berikut ini untuk menjawab Charles. Pertama, menyoroti dasar pijakan pertama atau pangkal tolak Charles menanggapi kerja panjang saya dalam melacak sastra dan sastrawan NTT. Kedua,  menyoroti dasar penilaian Charles memvonis kerja panjang saya dalam melacak sastra NTT sebagai “jalan sesat. Ketiga, menyoroti dasar penilaian Charles memvonis kerja saya dalam melacak sastrawan NTT sebagai “jalan sesat.”

Dasar Pijakan Salah

Dasar pijakan pertama atau pangkal tolak Charles “memvonis” hasil kerja panjang saya dalam melacak sastra dan sastrawan NTT sebagai “jalan sesat,” bukan dari artikel-artikel opini saya di Flores Pos yang merupakan media pemuatan artikel opini Charles, tetapi dari sebuah draf buku saya yang berjudul “Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT” (draf buku, 2012).

Sekadar untuk diketahui, draf buku yang dimaksudkan itu terdiri atas 3 bagian, yakni (1) Mengenal Sastra NTT (4 tulisan); (2) Mengenal Sastrawan NTT (4 tulisan); dan (3) Menelisik Sastra NTT (7 tulisan). Dari 15 tulisan itu, hanya 3 tulisan yang dimuat Flores Pos yang menjadi konsumsi pembaca Flores Pos, yang kemudian memicu diskusi panjang selama 3 bulan terakhir ini di Flores Pos sejak 19 November 2011. Ketiga tulisan itu adalah (1) Melacak Sastra dan Sastrawan NTT (Flores Pos, 19 November 2011); (2) Menjawab Tanggapan: Melacak Sastra dan Sastrawan NTT (Flores Pos, 10-11 Januari 2012); dan (3) Inilah Sastrawan-Sastrawan NTT (Flores Pos, 1-10 Februari 2012). Dua belas tulisan yang lain dalam draf buku itu tidak menjadi dasar pijakan atau pangkal tolak sebagai bahan diskusi panjang di Flores Pos.

Jumlah halaman draf buku ini 105 halaman. Jumlah halamannya nanti akan bertambah apabila ditambah dengan (1) “Kata Sambutan” oleh Prof. Dr. Stephanus Djawanai, MA (Rektor Universitas Flores, Ende); (2) “Prolog” oleh Dr. Norbertus Jegalus, MA, (Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang), dan (3) “Epilog” oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum (Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, kandidat Doktor Sastra di  Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).

Mengapa draf buku ini sampai ke tangan Charles Beraf yang menjadi dasar pijakan pertama atau pangkal tolak dia memvonis kerja panjang saya sebagai “jalan sesat?”  Ceritanya begini. Setelah membaca tulisan-tulisan saya di internet lewat weblog saya www.yohanessehandi.blogspot.com tentang sastra dan sastrawan NTT, banyak tokoh sastra  yang menyarankan saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan itu dan diterbitkan menjadi buku, dan buku itu nanti akan menjadi buku pertama yang mengkaji perihal sastra dan sastrawan NTT.

Salah seorang tokoh sastra yang menyarankan itu adalah Yoseph Yapi Taum. Lewat SMS-nya pada 1 Februari 2012, pukul 10.38, beliau menulis: “Wah, luar biasa Pak Yan. Harap masuk ke Web juga dan terbitkan jadi buku. Saya siap memberi Epilog.”  SMS ini beliau kirim kepada saya sebagai jawaban atas info saya bahwa tulisan panjang saya 32 halaman memperkenalkan sastrawan-sastrawan NTT yang berjudul “Inilah Sastrawan-Sastrawan NTT” mulai dimuat berseri di Flores Pos sejak 1 Februari 2012.

Niat baik yang tulus Yoseph Yapi Taum (Pak Yos) sebagai teman baik saya dalam diskusi sastra, membangkitkan semangat saya. Keesokannya, pada 2 Februari 2012 saya mengirim draf buku itu lewat email beliau, sekaligus meminta bantuannya untuk menyempurnakan seluruh isi draf buku dan kalau bisa mulai menyusun Epilog yang beliau sanggupi, berdasarkan draf buku tersebut.

Pada waktu itu juga saya sempat mengeluh kepada Pak Yos tentang kesulitan saya mencari penerbit karena saya tidak mempunyai dana sebagai kontribusi awal penerbitan. Dengan tulus hati Pak Yos bersedia mencari beberapa penerbit buku di Yogyakarta yang kalau bisa tidak membebankan penulis dari segi biaya. Dalam rangka menawarkan kepada beberapa penerbit di Yogyakarta itulah Pak Yos mengirimkan salah satu draf buku saya ini ke email Penerbit Lamalera yang salah satu stafnya adalah Charles Beraf.  

Tidak hanya kepada Yoseph Yapi Taum yang saya kirimi draf buku. Ada 10 orang lain sahabat saya dalam sastra, saya kirimi juga lewat email mereka dan meminta bantuan mereka untuk menyempurnakannya, termasuk kepada sejumlah mantan mahasiswa saya di STFK Ledalero, Maumere, Flores sewaktu saya mengajar di sana (angkatan 1994-1998) yang kini menjadi misionaris di Afrika dan Amerika Latin. Sejumlah mantan mahasiswa Ledalero ini ternyata juga mengikuti tulisan-tulisan saya tentang sastra dan sastrawan NTT lewat weblog saya di internet, dan mereka menyarankan dengan tulus juga agar tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku.

Satu minggu kemudian saya berhasil merevisi secara total seluruh isi draf buku itu lalu saya kirim kali kedua ke Pak Yos di Yogyakarta. Charles Beraf membaca draf buku saya itu sepertinya dari versi pertama tanggal 2 Februari 2012 yang masih mentah, yang sudah berbeda sangat jauh dengan hasil revisi secara total yang saya kirim pada kali kedua kepada Pak Yos.

Yang saya gugat Charles Beraf adalah, mengapa dia membombardir isi draf buku saya yang merupakan dokumen (penawaran) rahasia antara penulis/pengirim (dalam hal ini Yoseph Yapi Taum) dengan Penerbit Lamalera? Atas dasar apa Charles mengobrak-abrik isi buku itu  lewat media publik Flores Pos? Yang menjadi konsumsi pembaca Flores Pos dari draf buku itu hanya tiga tulisan saya di Flores Pos yang telah saya sebutkan di atas, yang kemudian memicu diskusi panjang di Flores Pos, bukan keseluruhan isi draf buku saya itu.

Dasar pijakan “etika dan moral” apa yang dipakai oleh Charles mengobrak-abrik draf buku saya (yang masih sangat rahasia) ke media Flores Pos? Atas dasar apa dia langsung membantai “janin buku” saya di media Flores Pos sebelum lahir menjadi sebuah buku? Mengapa tidak sabar menunggu setelah  bukunya benar-benar terbit? Motif apa di balik itu?

Jalan Sesat Sastra NTT?

Lewat artikel opini di Flores Pos itu Charles menilai kerja panjang saya dalam melacak sastra dan sastrawan NTT sebagai “jalan sesat sastra NTT.” Sebuah penilaian sadis  yang bersifat vonis. Setelah saya mencermati argumentasinya, saya berkesimpulan, justru pikirannyalah yang tersesat dalam memahami (kemudian tersesat dalam mengutip) rumusan pengertian sastra NTT yang saya kemukakan.

Artikel opini saya sebagai pemicu awal diskusi panjang di Flores Pos adalah artikel opini berjudul “Melacak Sastra dan Sastrawan NTT” (Flores Pos, 19 November 2011). Dalam artikel awal ini, saya tawarkan (jadi bersifat tawaran) rumusan pengertian sastra NTT sebagai “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan  orang NTT.” Dalam rumusan awal ini, ada dua patokan dasar, yakni  pertama,  sastra tentang NTT, dan kedua, sastra yang dihasilkan oleh orang NTT.

Dalam perkembangan diskusi, rumusan pengertian sastra NTT disempurnakan. Pater Frans Mido (sastrawan NTT bertempat tinggal di Kisol, Manggarai Timur) mengajukan saran. Lewat SMS-nya kepada saya pada 19 Desember 2011, pukul 08.33 Pater Frans Mido menyarankan agar (kriteria) bahasa, dalam hal ini “bahasa Indonesia” perlu dimasukkan dalam rumusan pengertian sastra NTT.

Saran berharga ini diterima dengan senang hati sehingga dalam artikel opini berseri saya berikutnya di Flores Pos (10-11 Januari 2012) yang berjudul “Menjawab Tanggapan: Melacak Sastra dan Sastrawan NTT,” rumusan pengertian sastra NTT disempurnakan. Rumusannya, sastra NTT adalah “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia.” Inilah rumusan pengertian (definisi) final sastra NTT sampai dengan saat ini, dengan tiga patokan dasar, yakni:  pertama,  sastra tentang NTT;  kedua, sastra yang dihasilkan orang NTT; dan ketiga, sastra dengan menggunakan media bahasa Indonesia.

Dimasukkannya kriteria menggunakan bahasa Indonesia dalam rumusan pengertian sastra NTT memudahkan kita untuk membedakan dengan jelas pengertian sastra NTT (yang menggunakan bahasa Indonesia) dengan sastra daerah NTT atau sastra daerah di NTT (yang menggunakan bahasa-bahasa daerah di NTT). Rumusan yang final ini mendapat “peneguhan” dari Yoseph Yapi Taum (kandidat Doktor Sastra dari UGM, Yogyakarta) lewat artikel opininya yang berjudul “Menelusuri Jejak Sastra Indonesia di NTT” (Flores Pos, 17 Januari 2012).

Charles Beraf tersesat memahami (kemudian tersesat mengutip) rumusan final pengertian sastra NTT yang saya kemukakan lewat Flores Pos (10-11 Januari 2012). Frasa “dengan menggunakan media bahasa Indonesia” dia hilangkan, sehingga  pengertian sastra NTT yang dia kutip menjadi “tersesat,” karena jadinya mencampuradukkan pengertian sastra NTT dengan sastra daerah NTT atau sastra daerah di NTT.

Dalam artikelnya itu, Charles mengajukan rumusan sastra NTT menurut versi dia. Setelah saya cermati sungguh-sungguh rumusan dan penjelasannya, rumusan dan penjelasan  yang dia kemukakan dalam artikel opini itu adalah rumusan pengertian sastra kultur. Kalau rumusan sastra kultur ini ditarik ke NTT maka menjadi sastra kultur NTT, atau sastra NTT berdasarkan tinjauan kultural.

Penjelasan panjang-lebar Charles tentang sastra NTT versi dia pada bagian kedua (terakhir) opininya di Flores Pos, menurut saya, penjelasan itu tidak lain dan tidak bukan adalah penjelasan pengertian tentang sastra kultur yang telah dikemukakan dengan sangat bagus oleh seorang ilmuwan sastra bernama Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007).

Ini artinya apa? Artinya, pengertian sastra NTT yang saya kemukakan berbeda jauh pangkal tolaknya dengan pengertian sastra NTT versi Charles. Dia bertolak dari sudut pandang “sastra kultur NTT” sedangkan saya bertolak dari sudut pandang “warna lokal NTT” atau “warna daerah NTT” dalam bingkai sastra Indonesia. Pengertian sastra NTT versi Charles tidak dalam bingkai sastra Indonesia.

Dalam pengantar tulisan panjang saya “Inilah Sastrawan-Sastrawan NTT” (Flores Pos, 1-10 Februari 2012), saya “membingkai” sastra NTT ini sebagai “warga” sastra Indonesia. Dalam pengantar tulisan itu, sengaja saya membuat analogi dengan pandangan kritikus sastra legendaris Indonesia, H.B. Jassin, yang “membingkai” sastra Indonesia sebagai “warga” sastra dunia. Maksudnya, sastra NTT sebagai warga atau bagian dari sastra Indonesia. Atau, sastra Indonesia dengan “warna lokal NTT” atau “warna daerah NTT.” Tentang hal ini telah saya kemukakan juga dalam artikel opini saya di Pos Kupang (13 Desember 2011) sebelumnya yang berjudul “Sastra NTT yang Berpijak di Bumi.”

Pangkal tolak saya dalam merumuskan pengertian sastra NTT ini mengacu pada   pandangan sebagian besar pengamat dan kritikus sastra Indonesia modern, terutama Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Sastra Indonesia (Nur Cahaya, Yogyakarta, 1982, hlm. 49-52) dan dalam buku Pengantar Novel Indonesia (Karya Unipress, Jakarta, 1983, hlm. 199-223). Jakob Sumardjo menggunakan terminologi “sastra warna daerah” atau “sastra warna lokal” untuk menyebut karya-karya sastra Indonesia yang bercorak kedaerahan, sebagaimana halnya dengan sastra NTT dan sastra-sastra corak kedaerahan lain di Indonesia.

Yang saya sesalkan Charles Beraf adalah, di samping dia tersesat mengutip pengertian final sastra NTT yang saya kemukakan, dia “menuduh” rumusan pengertian sastra NTT yang saya kemukakan “tidak substansial” yang kemudian dengan seenaknya dia memvonis hasil kerja keras dan kerja panjang saya dalam melacak sastra NTT sebagai “jalan sesat sastra NTT.” Sebuah vonis yang bersifat destruktif (menghancurkan), jauh dari sifat konstruktif (membangun), sekaligus mencerminkan sikap tidak menghargai “nilai kerja” sebagai bagian eksistensi manusia dalam  pertanggungjawaban hidupnya di bawah kolong langit ini!

Sejauh pengamatan saya, Charles baru pertama (kali ini) mengemukakan rumusan pengertian sastra NTT versi dia, yang ternyata memang berbeda pangkal tolak dengan saya. Saya juga belum pernah membaca hasil publikasi dia di media cetak manapun di NTT yang isinya mengembangkan dan menindaklanjuti rumusan pengertian sastra NTT versi dia itu. Saya pun belum pernah sekalipun membaca hasil kerjanya dalam melakukan pelacakan, penelusuran, dan pengkajian terhadap karya-karya sastra NTT menurut versinya dia. 

Dia pun belum pernah, bahkan saya kira tidak mampu, mengidentifikasi siapa-siapa sastrawan NTT menurut versi dia dan menyebutkan secara rinci karya-karya sastra para sastrawan NTT versi dia itu. Tetapi, anehnya orang ini, dengan lancangnya “menihilkan” hasil kerja panjang orang yang tekun dan sabar membangun peradaban masyarakat di daerah ini lewat jalur sastra dan budaya. 

Dalam artikelnya di Flores Pos itu, dia mempromosikan diri sebagai “peneliti sastra laut Lamalera”  kemudian “peneliti sastra panggil hujan,” yang menurut saya sekaligus mengukuhkan  dirinya sendiri sebagai orang yang mencari popularitas atau “syahwat popularitas” istilahnya sendiri, karena tidak ada bukti hasil kerjanya sebagai peneliti sastra laut Lamalera dan peneliti sastra panggil hujan. Di media massa manakah di NTT ini hasil kerja sastra laut Lamalera dan sastra panggil hujan itu dipublikasikan?

Saya sama sekali tidak percaya bahwa 22 nama sastrawan NTT yang telah saya orbitkan secara lengkap di Flores Pos (1-10 Februari 2012) menciptakan karya dilandasi nafsu syahwat popularitas seperti yang “dituduhkan” Charles itu. Saya sendiri pun melacak sastra dan sastrawan NTT ini jauh dari niat mencari popularitas murahan seperti yang dituduhkan itu. Yang menjadi pangkal tolak saya adalah rasa terpanggil mengangkat citra sastra dan sastrawan NTT di tingkat yang lebih luas dan lebih tinggi di tengah “keterpurukan” citra NTT di hampir semua aspek kehidupan masyarakat kita pada saat ini.

Saya melihat, potensi sastra dan sastrawan NTT bisa menjadi semacam “oase” di tengah padang sabana dan ilalang kering keterpurukan yang mewarnai kehidupan masyakat kita akhir-akhir ini. Ada secercah kerinduan mendalam, mungkinkah suatu waktu Laskar Pelangi versi lain bisa muncul dari NTT? Sekali lagi, saya bersama sastrawan-sastrawan NTT, baik yang berjumlah 22 maupun yang 42 orang yang saya orbitkan di Flores Pos, jauh dari nafsu popularitas, apalagi masyarakat kita ini belum membuka matanya untuk menghargai sastra, apalagi membeli buku sastra. 

Modal yang ada dalam otaknya Charles itu sebetulnya baru “sebatas merumuskan pengertian” sastra NTT versi dia, yang menurut saya, tidak lain dan tidak bukan sudah diuraikan  panjang-lebar oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies (2007). Tetapi anehnya, orang ini dengan naïf  memvonis hasil kerja saya sebagai “jalan sesat sastra NTT.” Pada waktu saya membaca artikel opininya, batin saya berujar, wuih, orang ini otaknya hanya mau menghancurkan saja.

Jalan Sesat Sastrawan NTT?

Berkaitan dengan hasil kerja panjang saya mengorbitkan nama-nama sastrawan NTT di Flores Pos (1-10 Februari 2012) mendapat sindiran tajam Charles lewat opininya: “Tidaklah gampang, dan tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk tergesa-gesa atau secara serampangan dan “kampungan” mengatakan seseorang yang karena sudah menulis “novel,” “puisi,” “cerpen” dimasukkan dalam arena sastrawan. Amatlah naïf dan menyesatkan.”

Pada kesempatan ini saya mau menjelaskan bahwa dalam melacak dan menemukan  nama-nama sastrawan NTT sebagaimana dipublikasikan dalam Flores Pos itu tidaklah sekadar membalikkan telapak tangan, tidak tergesa-gesa, apalagi secara serampangan atau kampungan seperti yang dituduhkan Charles itu. Saya mempunyai mekanisme dan standar kerja yang dapat saya pertanggungjawabkan secara publik. Hasil akhir cara kerja itu saya berani mengorbitkan nama-nama sastrawan NTT di Flores Pos. Mekanisme dan standar  kerja itu dapat saya paparkan berikut ini.      

Pertama, saya mengumpulkan berbagai data dan informasi tentang sastra dan sastrawan NTT dari berbagai sumber, terutama media massa cetak dan elektronik. Informasi lain saya kumpulkan dari kalangan sastrawan, baik sastrawan kreatif (pencipta) maupun sastrawan ilmiah/telaah. Dari hasil kerja ini saya berhasil mengumpulkan banyak informasi dan data berupa “buku sastra” karya  sastrawan-sastrawan NTT.

Sampai dengan saat ini, jumlah buku sastra NTT yang dapat saya datakan sebanyak 107 judul. Perinciannya, sejumlah 97 judul buku satra karya dari 22 sastrawan NTT yang sudah mapan, sedangkan sejumlah 10 judul buku sastra karya dari 42 sastrawan NTT yang tengah saya telusuri data biografi dan data karya-karya sastranya. 

Sebagian buku sastra NTT itu telah saya miliki secara pribadi yang saya kumpulkan selama 31 tahun terakhir, sejak kuliah di Semarang (1981) sampai dengan saat ini (2012). Kepemilikan buku-buku sastra NTT ini tentu akan terus bertambah, apalagi pada saat ini sastrawan NTT Gerson Poyk, lewat anak Fanny J. Poyk, tengah mengumpulkan puluhan buku sastra karya sastrawan legendaris NTT ini untuk dikirimkan kepada saya bersama video rekaman perjalanan hidup beliau semasa kecilnya di NTT yang dikerjakan Yayasan Lontar, Jakarta.

Untuk cerita pendek (cerpen), saya memiliki data cukup lengkap dalam dokumen pribadi saya. Cerpen-cerpen yang saya maksudkan adalah cerpen-cerpen harian Pos Kupang edisi hari Minggu, selama 4 tahun terakhir (2008, 2009, 2010, dan 2011). Jumlah cerpen Pos Kupang yang saya miliki dan telah saya baca satu per satu selama 4 tahun terakhir ini berjumlah 180 judul cerpen (rata-rata satu tahun 45 judul cerpen) yang berasal dari 128 cerpenis NTT (rata-rata satu tahun 32 cerpenis)  yang diorbitkan Pos Kupang.

Untuk puisi, saya memiliki data cukup lengkap pula dalam dokumen pribadi saya, yakni puisi-puisi yang dipublikasikan Pos Kupang edisi hari Minggu, selama 4 tahun terakhir (2008, 2009, 2010, dan 2011). Jumlah puisi Pos Kupang yang saya miliki dan telah saya baca satu per satu selama 4 tahun terakhir ini berjumlah 360 judul puisi (rata-rata satu tahun 90 judul puisi) yang berasal dari 140 penyair NTT (rata-rata satu tahun 35 penyair).

Di samping bersumber dari Pos Kupang, puisi-puisi yang saya himpun dalam dokumen pribadi saya juga berasal dari Majalah Dian (terbitan Ende, Flores) selama 9 tahun, yakni dari edisi 24 Oktober 1974 sampai dengan edisi 10 Desember 1983. Lebih dari 200 judul puisi dari 50-an penyair NTT yang diorbitkan Majalah Dian selama 9 tahun tersebut. Himpunan 200-an judul puisi dari 50-an penyair NTT yang diorbitkan Majalah Dian ini saya peroleh dari Pater John Dami Mukese (seorang sastrawan NTT yang bertempat tinggal di Ende, Flores) yang pada masa itu menjabat sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Dian. Pater John Dami Mukese menghimpun puisi-puisi itu dalam sebuah dokumen berharga yang beliau beri judul Parade Puisi Nusa Tenggara Timur 1974-1983.

Kedua, setelah menghimpun buku-buku sastra, cerpen-cerpen, dan puisi-puisi, serta sejumlah naskah drama dan film, saya membaca satu per satu dan memberikan penilaian terhadap karya-karya itu, layak disebut sebagai karya sastra atau tidak. Kriteria penilaian terhadap karya-karya sastra itu difokuskan pada unsur-unsur intrinsik (unsur dalam) karya tersebut, sedangkan unsur-unsur ekstrinsik (unsur luar) karya hanya dijadikan sebagai pelengkap.

Dalam memutuskan hasil penilaian terhadap sebuah karya sastra, tentu saja bisa mengundang perdebatan, bahkan tak akan ada ujungnya. Hasil penilaian saya terhadap ratusan karya sastra NTT pun bisa saja mengundang tanggapan yang miring,  misalnya penilaian bersifat subjektif.

Pater Jimmy Meko Hayong (Ledalero) pada 7 Februari 2012, pukul 07.33 mengirim SMS kepada saya: “Selamat pagi. Apa dalam menilai karya-karya sastra itu, unsur subjeknya lebih banyak, ya?” Jawaban saya begini: “Pater, menilai karya sastra itu agak unik, tidak sama menilai objek studi yang lain, karena karya sastra adalah karya imajinatif.” Karena lewat SMS, tidak dapat dijelaskan lebih lanjut.

Sebagai karya imajinatif, karya sastra itu hasil kreativitas sastrawan yang lewat mata batinnya mampu mengubah realitas faktual menjadi realitas imajiner. Dalam menilai karya sastra, unsur objektif berhimpitan dengan unsur subjektif. Unsur objektif dalam penilaian adalah bobot literer unsur-unsur intrinsik karya sastra tersebut, sedangkan unsur subjektif adalah bobot kepekaan dan ketajaman mata batin pembaca (kritikus sastra) dalam mengangkat nilai-nilai yang tersembunyi di balik sebuah karya sastra.

Ketiga, setelah mendapatkan hasil penilaian terhadap karya-karya sastra itu, saya menelusuri dan mengidentifikasi para pengarang (sastrawan) karya sastra tersebut. Setiap sastrawan ditelusuri data biografi (riwayat hidupnya) dan data karya-karya sastra yang telah dipublikasikan lewat berbagai media massa, baik media masa cetak maupun elektronik. Semua jenis karya sastra yang saya baca dan identifikasi itu adalah karya-karya sastra yang sudah pernah dimuat di berbagai media penerbitan, baik penerbit buku maupun penerbit surat kabar dan majalah. Artinya, karya-karya sastra yang saya orbitkan di Flores Pos itu adalah karya-karya sastra yang telah melewati “seleksi” atau “penyaringan” tahap pertama yang dilakukan Editor (penerbit buku) atau Redaktur Sastra (surat kabar dan majalah).

Hasil kerja tahap ketiga ini  ditemukan 22 nama sastrawan NTT yang definitif. Artinya, 22 nama sastrawan NTT yang saya orbtikan di Flores Pos itu adalah benar-benar sastrawan NTT yang karya-karyanya berbobot, dapat dipertanggungjawabkan secara literer. Dari 22 nama sastrawan itu, ada sejumlah nama  yang sudah dikenal luas sebagai sastrawan Indonesia bahkan sastrawan dunia, ada yang belum dikenal luas, namun layak dan pantas untuk dipromosikan di tingkat nasional sebagai sastrawan Indonesia dan di tingkat internasional  sastrawan dunia.

Itulah mekanisme dan standar kerja yang saya lakukan selama ini. Hasil dari  mekanisme dan standar kerja di atas, menghasikan 22 nama sastrawan NTT (yang sudah lengkap data biografi dan data karya-karya sastranya) dan 42 nama sastrawan NTT (yang tengah saya kumpulkan data biografi dan data karya-karya sastranya). Nama-nama sastrawan NTT itu bukan berdasarkan kemauan mereka, tetapi berdasarkan hasil pengkajian saya dengan tiga mekanisme dan standar kerja di atas.

Dengan penjelasan yang panjang-lebar ini, kiranya Charles tidak mudah memvonis cara kerja saya sebagai cara kerja “tergesa-gesa atau secara serampangan dan kampungan” seperti yang dia tuduhkan dalam artikel opininya itu. Masyarakat pembaca Flores Pos pada saat ini, saya kira tengah menunggu hasil kerja Charles sebagai “peneliti sastra laut Lamalera” dan sebagai  “peneliti sastra panggil hujan.”

Terlepas dari terminologi jenis sastra yang sedang dia teliti, bagi saya itu sesuatu yang bagus, mencerminkan inisiatif dan kreativitas. Besok lusa bisa saja Charles menjadi peneliti sastra tolak hujan, atau peneliti sastra panggil ombak, atau peneliti sastra tolak angin malam, atau yang lain lagi. Itu haknya dia. Ilmu pengetahuan itu bertumbuh dan berkembang atas inisiatif dan kreativitas.

Tetapi ingat, kalau Charles tidak bisa menunjukkan hasil kerjanya sebagai “peneliti sastra panggil hujan,” misalnya, orang akan menilai kualitas pribadinya rendah, karena identitas sebagai “peneliti sastra panggil hujan” hanya omong kosong belaka. Hasil kerja itu,  misalnya  (1) Apa rumusan pengertian (definisi) sastra panggil hujan; (2) Bagaimana penjelasan atas pengertian sastra panggil hujan dalam kaitan dengan genre sastra yang lain; (3) Apa saja judul-judul karya sastra panggil hujan; (4) Siapa-siapa saja sastrawan panggil hujan di NTT atau di Flores. Kalau Charles tidak bisa menunjukkan hasil kerjanya seperti disebutkan di atas lewat publikasi media massa cetak di NTT, maka vonis publik terhadap Charles akan muncul, bahwa ternyata orang ini otaknya hanya untuk menghancurkan hasil kerja orang lain. *  

Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia, dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Selasa, Rabu, Kamis, 21, 22, 23 Februari 2012)

 



1 comment for "Yohanes Sehandi Menjawab Charles Beraf (3 Seri Tulisan)"

  1. Acungan jempol perlu diberikan kepada Bapak Yan Sehandi yang telah berjerihpayah mengumpulkan 'sastra NTT' yang bagaikan tulang belulang berserakan di mana-mana. Bagi saya inilah karya yang pantas dihargai. Jika ada seorang pastor yang mengatakan bahwa karyanya ini adalah 'jalan sesat', maka kata-kata itu sendirilah 'jalan sesat' itu. Selamat berkarya pak Yan, terimakasih untuk minat khusus terhadap sastra negeri kita NTT. AGUST G THURU/MANTAN WARTAWAN DIAN (1992-1998) 081337769252/agusthuru@gmail.com

    ReplyDelete