Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Burung Rajawali Rendra

Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende

SAJAK RAJAWALI

Sebuah sangkar besi
tidak bisa merubah seekor rajawali
menjadi seekor burung nuri  

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan
tanpa sukma

Tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi
memasuki sepi
memandang dunia

Rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat fatamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia 

Dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

(WS Rendra, Kompas, 5 Agustus 1979)

Pendahuluan

Penulis “Sajak Rajawali” adalah penyair Rendra atau WS Rendra. Penyair Rendra lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah. Meninggal dunia pada 6 Agustus 2009 di Jakarta. Rendra diikenal sebagai penyair dan dramawan besar Indonesia pada era 1970-2000. Pendiri Bengkel Teater di Yogyakarta, kemudian Bengkel Teater ini pindah ke Jakarta. Rendra pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta. Memperdalam pengetahuannya di American Academy of Dramarical Arts, di Amerika Serikat (1964-1967). Puisi “Sajak Rajawali” ini pertama kali dimuat harian Kompas edisi 5 Agustus 1979, kemudian dimasukkan dalam antologi puisi Rendra berjudul Perjalanan Aminah (1997).

Penulis tertarik menganalisis puisi ini, bukan saja puisi ini karya seorang penyair kenamaan, tetapi juga karena puisi ini mengusung tema besar, yakni tema protes sosial. Tema besar ini bisa ditafsirkan sebagai pesan politis, bisa pula sebagai pesan puitis. Dikatakan mengemban pesan politis karena mengandung protes sosial dan gugatan politik represif kekuasaan Orde Baru pada era 1970-an. Dikatakan sebagai pesan puitis karena nilai puisi ini dapat dikembalikan ke dalam puisi itu sendiri sebagai karya sastra yang mempunyai ciri-ciri tersendiri sebagai  karya imajinatif yang otonom, yang mesti dilihat dari sudut imajinasi pula.

Pesan yang diemban “Sajak Rajawali” ini sanggup membawa imajinasi kita sebagai pembaca ke dalam suasana batin fundamental murni-manusiawi, karena mengandumg nilai kebenaran dan kemanusiaan. Pesan murni-manusiawi itu sanggup menggedor hati sanubari kita tentang kedirian kita sebagai manusia yang sering terbelenggu karena terjepit oleh berbagai keadaan buruk dan tidak manusiawi. Selain itu, pesan puitis puisi ini sanggup menyadarkan kita akan eksistensi kita sebagai makhluk Tuhan yang dikaruniai kebebasan dan kemerdekaan.

Puisi Protes Sosial

Diakui oleh sebagian besar pengamat dan kritikus sastra Indonesia modern yang mempunyai minat husus terhadap pertumbuhan dan perkembangan tema puisi-puisi penyair Rendra, seperti kritikus Dami N. Toda, A. Teeuw, Harry Aveling, dan Rainer Carle, bahwa  puisi-puisi Rendra mengalami “pergeseran” tema yang sangat drastis dan mendasar, dari tema yang lembut, melankolis, dan ramah-manis ke tema yang keras, getir, berontak, dan agresif! Hal tersebut dapat dilihat pada buku-buku kumpulan puisi awal Rendra, seperti buku Ballada Orang-Orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), ke buku-buku kumpulan puisi mutakhir Rendra setelah tahun 1970-an, seperti Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-Orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Aminah (1997), dan Mencari Bapak (1997).

Puisi-puisi mutakhir Rendra setelah tahun 1970-an, sangat jelas menunjukkan tema yang keras, getir, berontak, dan agresif itu, yang oleh kebanyakan pembaca dinilai sebagai “puisi protes sosial.” Puisi protes sosial Rendra semakin jelas disadari pembaca (awam) dari istilah yang diberikan Rendra sendiri, yaitu “puisi pamplet.”

Namun demikian, dalam menghadapi puisi-puisi mutakhir Rendra, perlu disadari bahwa betapapun keras, getir, berontak, dan agresifnya suasana dan tema ditampilkan Rendra lewat puisi-puisinya mutakhir itu, puisi Rendra tidak bisa ditafsirkan sebagai orasi politik belaka. Puisi Rendra tetap memiliki dunia yang otonom. Segala makna dan nilai puisi tersebut tetap dapat dikembalikan ke dalam makna dan nilai puisi itu sendiri sebagai karya sastra yang bersifat imajinatif. Karena itu pula, dalam menafsir dan memahami puisi Rendra, sebagai pembaca kita menggunakan “peralatan ilmu sastra,” dan bukan “peralatan ilmu sosial atau ilmu politik.

Struktur Sajak Rajawali

Sebelum kita menelusuri pesan puitis yang disampaikan “Sajak Rajawali” ini, terlebih dahulu kita mengamati keseluruhan struktur puisi tersebut. Hal ini dilakukan karena bagaimana pun suatu pesan puitis tidak muncul dengan sendirinya tanpa diselubungi satu-kesatuan struktur puisi yang utuh dan sempurna.

Puisi ini terdiri atas tujuh bait, yang kalau dicermati, makna sintaksisnya sama dengan tujuh kalimat. Setiap bait terdiri atas 3-4 baris, berjumlah 25 baris. Ke-25 baris puisi itu bila dipecahkan akan membentuk potongan-potongan kalimat berdiri sendiri. Pemecahan bait puisi ke dalam potongan-potongan kalimat terasa sangat jelas bila puisi ini dibaca dari awal sampai akhir, apalagi penyair secara sadar memasang huruf kapital (huruf besar) dalam mengawali setiap kalimat puisi. Setiap kalimat mempunyai satu-kesatuan makna sintaksis sempurna.

Bila baris-baris puisi ini diperhatikan, maka akan terlihat ada baris yang pendek dan sebaliknya ada juga baris panjang. Larik puisi yang terpendek terdiri dari 2 buah kata seperti: /memasuki sepi/, /memandang dunia/, /duduk bertapa/, dan /mengolah hidupnya/. Adapun larik puisi terpanjang terdiri atas 6 buah kata, yakni: /wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka/.

Dalam “Sajak Rajawali” ada beberapa kalimat yang sengaja dipecahkan penyair menjadi beberapa larik. Dengan membagi kalimat menjadi beberapa larik maka akan terasa adanya penekanan makna yang dipentingkan penyair. Misalnya saja, kalimat: //Rajawali terbang tinggi/, memasuki sepi/, memandang dunia//. Penyair membagi kalimat tersebut menjadi 3 larik, sehingga penekanan makna pada: /Rajawali terbang tinggi/, /memasuki sepi/, dan /memandang dunia/ terasa sangat intens. Demikian pula pada kalimat yang ke-7, yang dipecah penyair menjadi 3 larik, yakni: //Rajawali di sangkar besi/, /duduk bertapa/, dan /mengolah hidupnya//.

Kalimat terakhir termasuk kalimat panjang (terdiri atas 12 kata); namun, penyair tidak memecahkannya menjadi 3 larik, tetapi menjadi 2 larik, dan untuk memberi penekanan makna pada kalimat panjang tersebut penyair memasang 2 buah tanda koma. Pemecahan kalimat yang terakhir itu oleh penyair menjadi 2 larik (tambah 2 tanda koma) dan bukan 3 larik, terasa cukup beralasan karena kalimat yang terakhir itu merupakan “suasana klimaks” puisi. Kalau puisi itu dibaca, “suasana klimaks” itu akan terasa dan sangat mendukung pesan puitis yang ditampilkan penyair secara tegar dan agresif.

Kalau diamati secara sepintas puisi ini, penyair lebih banyak mencurahkan perhatian pada segi “pesan puitis” daripada rima dan irama puisi. Namun, ternyata penyair tidak sepenuhnya mengabaikan rima dan irama puisi. Rima dan irama puisi yang ditampilkan memperkuat pesan puisi secara keseluruhan. Bunyi bahasa yang digunakan penyair mengemban nilai rasa yang tegar, agresif, dan memberontak. Bila diperhatikan bunyi-bunyi bahasa yang dipilih Rendra dalam puisinya pada tahun-tahun terakhir ini, menurut A. Teeuw (1983: 127)  banyak yang bersifat “retoris.” dan bukan lagi bersifat “liris.”

Bunyi-bunyi bahasa yang diperhitungkan Rendra dalam “Sajak Rajawali” ini dapat dilihat pada: gkar besi – seekor burung nuri; rajawali – pacar langit; rajawali merasa pasti – langit akan selalu menanti; tujuh langit – tujuh rajawali; dan lain-lain. Selain itu, kita pun merasakan juga persamaan bunyi kata-kata berikut ini, seperti: besi – sepi – pasti –menanti – rajawali; dunia – setia – kedua; merasa – merubah – membela – menanti – mematuki.

Kata-Kata Simbol

Pada dasarnya puisi “Sajak Rajawali” ini termasuk puisi yang mudah dipahami maknanya, dan dapat digolongkan ke dalam jenis puisi diafan. Hal ini terlihat karena kebanyakan kata, dan juga kalimat, yang dipergunakan penyair seringkali kita pergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Mungkin hanya beberapa buah saja kata yang mengandung makna konotatif berupa simbol atau perlambang, seperti kata: rajawali, burung nuri, sangkar besi, dan langit. Berikut akan dijelaskan makna kata-kata simbol itu secara singkat.

Burung “rajawali” melambangkan keperkasaan seseorang, orang yang perkasa dan berani, memiliki sifat keras hati, berani, berontak, dan penuh perjuangan tanpa kenal menyerah. Atau dengan kata lain, rajawali  merupakan lambang bagi orang-orang yang keras hati, agresif,  pemberani, sekaligus memiliki sifat keberanian untuk membela dan berjuang, demi mewujudkan maksud yang dicita-citakannya. Kalau burung rajawali merupakan lambang atau simbol bagi orang yang keras hati, tegar, dan pemberang, sebaliknya “burung nuri” merupakan lambang bagi orang-orang yang berhati lunak, pasrah, jujur, dan hanya tahu menerima apa adanya.

Selain kata “rajawali” dan “burung nuri,” kata yang termasuk kata lambang dalam puisi ini adalah “sangkar besi” dan “langit.” Sangkar besi merupakan lambang dari suatu keadaan dan suasana yang terjepit, terbelenggu, dan tidak mempunyai kebebasan. Keadaan dan suasana terjepit itu, sengaja atau tidak diciptakan oleh para pemegang hak dan kekuasaan. Sangkar besi merupakan lambang yang tepat bagi keadaan yang tertekan, keadaan yang sangat dibatasi oleh berbagai macam penindasan dan kesewenangan pihak yang merasa mempunyai hak dan kekuasaan. Kalau kita hubungkan dengan konteks waktu terciptanya puisi ini, yakni tahun 1970-an, maka secara sisiologis puisi ini terlahir pada era rezim Orde Baru yang sangat represif.

Kalau sangkar besi melambangkan keadaan dan suasana yang terjepit dan tertekan, tertindas dan terbelenggu, sebaliknya kata “langit” melambangkan suatu keadaan atau suasana  penuh dengan kebebasan, kemerdekaan, dan harapan. Suasana bebas dan merdeka, tidak terikat, memang sering dilambangkan dengan memakai kata “langit” seperti pada: langit lepas atau langit luas. Kira-kira empat kata simbol itu agak sukar dipahami dalam “Sajak Rajawali” ini.

Pesan Puitis Sajak Rajawal

Pesan puitis “Sajak Rajawali” ini adalah: mencari dan membela kebenaran dan kemanusiaan sejati! Dalam usaha mencari dan membela kebenaran dan kemanusiaan sejati tersebut, penyair yang dalam puisi ini  diwakili  burung rajawali, memekik dengan lantang dan terus terang, tanpa ragu-ragu. Penyair sangat sadar akan tugas kepenyairannya, yakni membela kebenaran dan kemanusiaan. Dengan suara keras dan tegar penyair melawan dan membongkar “perlakuan-perlakuan” yang tidak adil, tidak benar, dan tidak manusiawi. Keterusterangan suara penyair lewat rajawali ini karena di mata penyair “kebenaran” dan “kemanusiaan” kini sudah tercemar oleh tangan-tangan jahil, oleh kekuasaan yang korup, para pencemar yang durhaka.

Usaha burung rajawali dalam mencari dan membela kebenaran dan kemanusiaan sejati ini merupakan usaha dan tugas kemanusiaan yang fundamental. Di mata rajawali, sudah  tak terhitung korban keadaan terbelenggu dan terjepit serta tertindas oleh penguasa yang korup. Yang menjadi korban  itu tidak lain dan tidak bukan adalah rakyat kecil yang lemah, bodoh, terkebelakang, dan tak berilmu. Manusia-manusia seperti inilah yang dengan mudah digiring ke dalam “sangkar besi” yang terjepit dan tertindas. Sangkar besi itu pulalah yang membuat rakyat kecil yang lemah, miskin, dan tak berdaya itu tidak mempunyai ruang gerak yang bebas, tidak mempunyai “langit” yang melambangkan kebebasan yang merupakan dambaan setiap insan.

Kondisi terjepit dan terbelenggu itu biasanya disengaja atau tidak, diciptakan oknum-oknum manusia sesama, manusia-manusia yang mempunyai hak atau diberi hak atau merasa memiliki hak dalam suatu tatanan sosial kemasyarakatan. Oknum-oknum manusia yang mempunyai hak atau merasa mempunyai hak inilah, yang menurut penglihatan sang rajawali menjadi sumber keadaan terjepit dan tertindas: merekalah “pencemar-pencemar” kebenaran dan kemanusiaan! Merekalah pencemar langit yang durhaka.

Keadaan yang terjepit dan terbelenggu oleh keserakahan antara sesama itu, mau tidak mau menguakkan suatu pertanyaan: tiadakah kebebasan dan kemerdekaan bagi yang tertindas itu untuk memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan mereka demi langit baru mereka? Akan hilangkah hakikat, harkat, dan martabat mereka karena terbelenggu “sangkar besi?” Adakah harapan baru buat kaum tertindas dan terjepit itu untuk “menggapai” kebebasan yang manusiawi, untuk menggapai “langit baru” yang didambakan?

Menyadari tugas kemanusiaan yang luhur, murni-manusiawi, menyebabkan rajawali dalam “Sajak Rajawaliu” terpanggil untuk menjadi pahlawan sejati bagi sesama hidupnya dalam  mencari dan membela kebenaran dan kemanusiaan sejati. Rajawali dengan semangat pemberontakannya menerobos “sangkar besi” dan terbang menggapai “langit kebebasan,” karena sang rajawali menyadari sepenuhnya bahwa ia benar-benar adalah “pacar langit.” Rajawali dengan penuh yakin memastikan bahwa:

Sebuah sangkar besi
tidak bisa merubah seekor rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Keyakinan dan kepastian untuk meretas dan membongkar sangkar besi yang kemudian terbang menggapai “langit” kebebasan, adalah watak dasar burung rajawali dalam membela dan menegakkan kebenaran dan kemanusiaan. Bagi rajawali, sifat keberanian dan ketegaran harus dimiliki dan diperjuangkan, sebab tanpa keberanian dan ketegaran ibarat keluasan dan kebebasan tanpa sukma.        

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma

Untuk mempertegas keberanian dan ketegaran membela kebenaran dan kemanusiaan, rajawali tidak tinggal diam. Rajawali “terbang tinggi” mengembara melewati: tujuh langit, tujuh cakrawala, tujuh pengembara! Rajawali yang menyadari akan tugas panggilan kepahlawanannya “memasuki sepi” dan dari sana ia memandang “penderitaan dunia” akibat penindasan, pembelengguan, dan keserakahan sesama. Penyair Rendra melukiskannya dengan sangat bagus.

Tujuh langit, tujuh cakrawala
tujuh rajawali, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi
memasuki sepi memandang dunia

Walaupun rajawali terkadang merasa diri dikejar-kejar oleh rantai “sangkar besi” ia tidak mau menerima kenyataan yang getir itu dengan pasrah dan menyerah kalah. Rajawali sebagai pahlawan kebenaran dan kemanusiaan sejati merasa tidak tega melihat penderitaan kaum tertindas. Keadaan itu membuat rajawali prihatin, keprihatinan itu diolah dalam  renungannya  dalam perjuangan  “membela langit.”
 
Rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
 
Semangat pahlawan kebenaran dan kemanusiaan sejati terus berkobar bahkan dengan gemuruh yang menggelegar penyair lewat burung rajawali, pada bagian akhir puisi dengan lantang “memvonis” dan memastikan bahwa rajawali akan mematuk kepala para pencemar langit, kaum yang durhaka. Dua larik penutup inilah menjadi klimaks kemarahan Sang Rajawali:

Dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka!

Penutup

Setelah kita menelusuri “pesan puitis” puisi Rendra ini, maka kita ketahui bahwa “Sajak Rajawali” karya penyair besar Indonesia, W.S. Rendra, telah berhasil mengemban misi mencari kebenaran dan kemanusiaan sejati. Semangat pemberontakan Rendra tercermin dengan sangat bagus dalam “Sajak Rajawali” ini.

Daftar Pustaka
Junus, Umar. 1981. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern. Jakarta: Bhratara.
Teeuw, A. 1967. Modern Indonesia Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1983. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

(Artikel "Burung Rajawali Rendra" ini pertama kali dimuat dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia (Terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdibud, Jakarta), Nomor 3, Tahun 7, September 1986, halaman 138-145. Setelah diperbaiki seperlunya, artikel ini judulnya diubah menjadi "Protes Sosial dalam 'Sajak Rajawali' Karya WS Rendra," dan dimuat dalam Jurnal Literasi (Terbitan Universitas Flores, Ende), Nomor 2, Tahun IV, September 2019, halaman 67-73

 

2 comments for "Burung Rajawali Rendra"

  1. helo sir, may i tag it ur writting regarding rajawli into my blog,thanks

    ReplyDelete
  2. Sukses dan sehat selalu Bapak. Karya-karyamu menginspirasi kami.

    ReplyDelete