Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memperingati Bulan Bahasa 2010 (4 Seri Tulisan)

 Tanpa kita sadari, pada 28 Oktober 2010, bahasa Indonesia berusia 82 tahun. Sebagai salah satu unsur/produk kebudayaan bangsa Indonesia, usia 82 tahun ini dinilai belum apa-apa dibandingkan dengan usia bahasa-bahasa dunia yang lain yang sudah mapan, seperti bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, dan Portugis yang telah berusia beratus-ratus tahun.

Usia bahasa Indonesia dihitung sejak kelahirannya pada 28 Oktober 1928, pada waktu para pemuda utusan dari seluruh wilayah kepulauan Nusantara yang bergabung dalam Perhimpunan Indonesia Muda mengikrarkan  Sumpah Pemuda yang menggemparkan itu, di mana butir sumpah yang ketiga menyatakan  Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Dengan diikrarkannya butir sumpah yang ketiga itu, maka “secara resmi” lahirlah bahasa Indonesia yang sebelumnya bernama bahasa Melayu. Memang, di antara para ahli bahasa masih terjadi perbedaan pendapat tentang hari kelahiran bahasa Indonesia. Ada sebagian kecil yang menyatakan bahwa 28 Oktober 1928 itu hanyalah hari  “permandian” sebuah bahasa daerah yang bernama bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, sedangkan hari kelahirannya dihitung jauh sebelumnya sejak kelahiran bahasa Melayu (Melayu Kuno) itu sendiri yang sulit dirunut ke belakang.

Dalam perkembangan diskusi tentang hari lahir bahasa Indonesia, para ahli bahasa akhirnya sepakat bahwa hari lahir bahasa Indonesia pada  28 Oktober 1928, dengan alasan:  (1) nama atau istilah  “bahasa Indonesia”  untuk pertama kali dipakai  “secara resmi” pada 28 Oktober 1928;  dan (2) perkembangan bahasa Indonesia setelah 28 Oktober 1928  sangat pesat dan sudah jauh meninggalkan sejumlah ciri khas bahasa Melayu yang merupakan  “ibu kandungnya.”

Dalam rangka memperingati hari kelahirannya 28 Oktober, Pemerintah RI  menetapkan bulan Oktober setiap tahun sebagai Bulan Bahasa, yang dalam pelaksanaannya  seringkali  dirangkaikan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Tulisan berseri ini disusun dalam rangka memperingati Bulan Bahasa 2010 tahun ini.

Dalam usianya yang ke-82 tahun ini, perkembangan bahasa Indonesia sungguh membanggakan. Mungkin saja banyak di antara kita yang tidak/belum  tahu bahwa bahasa Indonesia kini menduduki  “peringkat lima” bahasa dunia dilihat dari jumlah penutur atau pemakainya di seantero jagat. Peringkat pertama diduduki bahasa Mandarin (Cina) dipakai oleh lebih dari satu miliar penutur. Peringkat dua bahasa Hindi (bahasa nasional India), peringkat tiga bahasa Inggris, peringkat empat bahasa Perancis, dan peringkat lima bahasa Indonesia. Berita tentang peringkat bahasa Indonesia di antara bahasa-bahasa dunia ini dikemukakan Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional  (Kompas, 14/5/2009).

Dalam harian yang sama, Dendy Sugono menyatakan bahwa peluang bahasa Indonesia untuk menjadi salah satu bahasa global/dunia  terbuka lebar. Di samping potensi penutur yang banyak, pusat-pusat pembelajaran bahasa Indonesia yang tersebar di seluruh dunia berkembang dengan sangat pesat. Sampai dengan tahun lalu (2009) terdapat 203 pusat pembelajaran bahasa Indonesia di sejumlah negara di dunia dengan jutaan jumlah peserta didik dan alumninya. Dalam lima tahun ke depan (sejak 2009) akan dibuka lagi 35 pusat pembelajaran bahasa Indonesia di sejumlah negara di dunia. Ini sebuah berita yang membanggakan.

Kebanggaan lain bangsa Indonesia di bidang kebahasaan, yang  perlu kita  sadari pula pada waktu memperingati Bulan Bahasa 2010 tahun ini  adalah tentang jumlah bahasa daerah di Indonesia. Dari sekitar 6.700 bahasa (termasuk bahasa-bahasa daerah) di seantero dunia, sebanyak 2.185 bahasa daerah terdapat di Indonesia (Pos Kupang, 10/6/2008).  Indonesia menduduki  “peringkat pertama”  negara di dunia yang memiliki bahasa daerah paling banyak.

Dari jumlah 2.185 itu, 746 bahasa daerah sudah diidentifikasi dan sudah dimasukkan dalam Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kompas, 27/5/2009). Dari 746 bahasa daerah yang telah diidentifikasi itu, 54 di antaranya terdapat di Provinsi NTT dan Kepulauan Alor menduduki peringkat pertama untuk NTT (lihat Jermy Balukh, “Merevitalisasi Bahasa yang Terancam Punah di NTT” dalam Pos Kupang, 21/2/2008).

Pada usianya yang ke-82 ini, bahasa Indonesia telah memantapkan jatidirinya dengan dibakukan sejumlah unsur/perangkat kebahasaan. Ada empat unsur/perangkat kebahasaan yang telah dibakukan  pemerintah  dan merupakan kewajiban bangsa Indonesia (pemakai bahasa Indonesia) untuk mematuhinya.   

Pertama, pembakuan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Kedua pedoman baku/standar ini diresmikan pemakaiannya oleh Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1972 pada waktu menyampaikan pidato kenegaraan menjelang 17 Agustus 1972. Kedua pedoman ini terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai dengan tuntutan perkembangan bahasa Indonesia. Penyempurnaan mutakhir untuk pedoman ejaan berdasarkan Peraturan Mendiknas Nomor 46 Tahun 2009 tanggal 31 Juli 2009, sedangkan penyempurnaan mutakhir untuk pedoman pembentukan istilah berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 146/U/2004 tanggal  12 November 2004.

Kedua, pembakuan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI). Kedua perangkat kebahasaan ini disahkan penggunaannya pada waktu Kongres Bahasa Indonesia V di  Jakarta pada 28 Oktober – 3 November 1988. Pada waktu diluncurkan, KBBI memuat 62.000 entri/lema kosakata bahasa Indonesia. Setelah 20 tahun kemudian (2008), KBBI (Edisi IV, 2008) telah memuat 90.000 entri/lema. Itu artinya, dalam kurun waktu 20 tahun ada tambahan 28.000 kosakata baru. Setiap tahun tambahan kosakata baru rata-rata 1.400 kata. Di bidang tata bahasa, TBBI menjadi  sumber acuan untuk pembelajaran dan penulisan buku tata bahasa yang lebih populer untuk kepentingan dunia pendidikan.

Flores, Sumber Ilmuwan Bahasa

Apakah kita pernah menyadari bahwa Flores adalah lahan subur penyumbang ilmuwan bahasa di tingkat nasional?  Siapa di antara kita yang tidak mengenal nama Gorys Keraf, tokoh legendaris bahasa Indonesia? Selain Gorys Keraf, masih sederet lagi ilmuwan bahasa kelahiran Flores yang berkibar dan mengharumkan nama Flores di tingkat nasional, yakni Jos Daniel Parera, Stephanus Djawanai, dan Inyo Yos Fernandez – untuk sekedar menyebut beberapa nama.

Tentu masih banyak lagi ilmuwan bahasa kelahiran Flores yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, seperti Aron Meko Mbete, Mans Mandaru, Agus Semiun, dan Feliks Tans, namun karena keterbatasan saya untuk menemukan karya-karya tulis ilmiah mereka, baik berupa buku maupun artikel dalam berbagai majalah dan jurnal ilmiah, sehingga untuk kali ini  baru  empat nama ilmuwan bahasa dari Flores yang bisa saya  perkenalkan.

Pertama, Gorys Keraf. Lahir pada 17 November 1936 di Lamalera, Lembata. Meninggal dunia pada 30 Agustus 1997 di Jakarta dalam usia 61 tahun. Setelah menyelesaikan SD di Lamalera, SMP di Seminari Hokeng (1954), SMAK Syuradikara Ende (1958), melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan meraih gelar Sarjana Sastra (1964). Gelar Doktor dalam bidang linguistik (ilmu bahasa) diraih tahun 1978 dengan promotor Prof. Dr. Amran Halim, Prof. Dr. J.W.M. Verhaar, dan Dr. E.K.M. Masinambouw. Judul disertasi Morfologi Dialek Lamalera (1978). Gelar profesor atau guru besar disandangnya pada tahun 1991. Tentang riwayat pekerjaan dan karya-karya  ilmiah Gorys Keraf akan dipaparkan secara khusus dalam edisi yang akan datang.

Kedua, Jos Daniel Parera. Dalam berbagai biodatanya, Jos Daniel Parera tidak pernah menyebut tanggal lahir dan tempat (kampung) kelahirannya di Flores. Biodatanya dimulai dengan keterangan sebagai Sarjana Sastra dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1964). Aktif sebagai dosen tetap pada IKIP Negeri Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada jurusan (program studi) bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Pernah mengajar bahasa Indonesia dan bahasa Jerman di SMAK Syuradikara Ende (1957), SMA Santa Ursula Jakarta, SMA Santa Theresia, SMA Regina Pacis, dan SMAK Budhaya  Jakarta (1960-1968).

Karya-karya tulis Jos Daniel Parera yang sempat ditelusuri, antara lain  (1) Pengantar Linguistik Umum: Bidang Umum (1977); (2) Pengantar Linguistik Umum: Bidang Morfologi (1977); (3) Pengantar Linguistik Umum: Bidang Sintaksis (1977); (4) Pengantar Linguistik Umum: Bidang Fonetik dan Fonemik (1983); (5) Belajar Mengemukakan Pendapat (1982); (6) Riset Pola Klausa Bahasa Indonesia Buku-Buku Sekolah Dasar (1977); (6) Riset Kemampuan Membaca dan Menulis Siswa SMP Se-Jakarta Raya (1978); (7) Metode Penulisan Ilmiah (1981); (8) Metode Penelitian Pengajaran Bahasa (1981); (9) Linguistik Bandingan Nusantara (1981); (10) Linguistik Terapan (1982); (11) Menulis Tertib dan Sistematis (1983); (12) Keterampilan Bertanya dan Menjelaskan (1983); (13) Psikolinguistik (1982); dan (14) Linguistik Edukasional (1987).

Ketiga, Stephanus Djawanai. Lahir pada 10 Oktober 1943 di Bajawa, Ngada. Menyelesaikan Sekolah Rakyat di Bajawa (1955), SMP Seminari Mataloko (1958), SMAK Syuradikara Ende (1962), Sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan (kini Fakultas Ilmu Budaya)  UGM, Yogyakarta (1970), Master of Arts (MA) linguistik  (1976),  dan Doktor (PhD) linguistik dari University of Michigan, USA (1980). Dikukuhkan sebagai profesor di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM pada 4 November 2009 dengan judul pidato ilmiah  Telaah Bahasa, Telaah Manusia (2009).

Aktif sebagai dosen tetap pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (S1, S2, S3)  sejak 1973, Koordinator Program S2 Kajian Amerika UGM, Pembantu Dekan I, Sekretaris Jurusan, Koordinator mata kuliah bahasa Inggris untuk  non-jurusan Inggris (21 Fakultas di UGM),   Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA, Yogyakarta,  dan sejumlah jabatan penting lain.

Disertasi doktornya yang berjudul Ngadha Text Tradition: A Linguistic Investigation Into The Collective Mind of The Ngadha People, Flores (1980) telah diterbitkan oleh Pacific Linguistics, ANU, Canbera, Australia (1983).

Karya tulis ilmiah  dari tangan Djawanai, antara lain  (1) Teori Tagmemik, dalam Teori dan Metode Linguistik (1985); (2) Teori Fungsi, Kategori, dan Peran (2001); (3) Bahasa dan Kesadaran: Kajian Humaniora dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan (2002).  Artikel-artikel ilmiahnya  tersebar di berbagai majalah dan jurnal ilmiah, tentang bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun  dalam bahasa Inggris. Pada saat ini Profesor Djawanai berkantor di Universitas Flores, Ende, dalam rangka membantu program peningkatan mutu  Universitas Flores.

Keempat, Inyo Yos Fernandez. Lahir pada 21 September 1946 di Larantuka, Flores Timur. Setelah  menamatkan SD dan SMP di Larantuka melanjutkan studi ke SMA Seminari dan Seminari Tinggi di Ledalero (1968). Meraih gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta (1977). Aktif sebagai dosen tetap pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM sejak 1980, Pascasarjana UGM, Universitas Sam Ratulangi Manado, dan Universitas Padjadjaran Bandung. Pernah mengajar di SMAK Giovani dan Undana Kupang (1972-1975).

Gelar doktor linguistik diperoleh di UGM (1988) dengan judul disertasi Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Linguistik Historis Komparatif Terhadap Sembilan Bahasa di Flores dengan promotor Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Prof. Dr. Bernd Nothofer, dan Prof. Drs. M. Ramlan. Disertasi yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Nusa Indah, Ende  (1996) ini menelaah kekerabatan sembilan bahasa di Flores, yakni bahasa Manggarai, Rembong, Komodo, Ngadha, Palu’e, Lio, Sikka, Lamaholot, dan Kedang. Penelitian kebahasaan Inyo Yos Fernandez sebagian besar dilakukan terhadap bahasa-bahasa (daerah) di Flores, Timor, dan Timor Timur (kini Timor Leste).

Gorys Keraf, Tokoh Legendaris Bahasa Indonesia

Tahun 1970-an dan 1980-an, nama Gorys Keraf  adalah nama ilmuwan bahasa Indonesia yang paling banyak dikenal para pelajar dan mahasiswa Indonesia. Buku karyanya  yang pertama dan monumental, Tatabahasa Indonesia (1970), membuat namanya meroket cakrawala ilmu bahasa dan tata bahasa Indonesia. Gorys Keraf adalah tokoh legendaris bahasa Indonesia.

Namanya terus melambung menyusul terbit bukunya  yang kedua dan juga monumental,  Komposisi (1971), yang berisi pedoman penulisan karangan ilmiah bagi pelajar dan mahasiswa. Di kalangan pelajar dan mahasiswa tahun 1970-an dan 1980-an, kedua buku itu dianggap seperti kitab suci saja.

Gorys Keraf adalah ilmuwan bahasa dan dosen sejati. Sejak meraih gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1964, Gorys Keraf memilih jadi dosen di almamaternya sampai akhir hayatnya tahun 1997. Selain dosen  pada Fakultas Sastra UI (program S1, S2, S3), juga dosen di FISIP UI, Pascasarjana Hukum UI, Universitas Trisakti, dan Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Beliau juga pernah mengajar bahasa Indonesia di SMAK Syuradikara Ende, SMA Seminari Hokeng, SMA Budhaya II Jakarta, SMA Santa Ursula, SMA Santa Theresia, Unika Atma Jaya Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta, dan Jakarta Academy of Languages Jakarta. Pernah menjadi pengasuh tetap rubrik “Pembinaan Bahasa Indonesia” pada harian Surya, Surabaya, dan sesekali tampil di layar TVRI membawakan acara “Pembinaan Bahasa Indonesia.”

Gorys Keraf dikenal luas sebagai ilmuwan bahasa yang berbobot dan penulis buku serius. Buku Tatabahasa Indonesia yang diterbitkan Penerbit Nusa Indah, Ende, pada 1970 adalah buku yang menurut Bambang Kaswanti Purwo (1987), “pengaruhnya begitu mendalam merasuki relung-relung pengajaran bahasa Indonesia.”  Buku yang beredar luas dan merata di seluruh wilayah Indonesia ini pai dengan penulisnya meninggal dunia pada 30 Agustus 1997 telah mengalami cetak ulang yang ke-15.

Bambang Kaswanti Purwo, seorang ilmuwan bahasa yang sangat cerdas dari Unika Atma Jaya, Jakarta, melakukan penelitian terhadap ratusan buku tata bahasa yang terbit tahun 1900-1982 (selama 82 tahun), baik buku yang (masih) ditulis dalam bahasa Melayu (1900-1928) maupun yang ditulis dalam bahasa Indonesia (1928-1982). Tujuan penelitian untuk mengetahui, mana buku tata bahasa Indonesia yang paling banyak dibaca dan berpengaruh luas di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia.

Sebanyak 174 buku tata bahasa yang diteliti Bambang. Dari 174 buku itu, yang ditulis dalam bahasa Indonesia/Melayu sebanyak 105, dalam bahasa Belanda 24, bahasa Inggris 29, dan bahasa-bahasa yang lain 16. Hasil penelitiannya dituangkan dalam artikel yang menarik berjudul  “Menguak Alisjahbana dan Keraf: Pengajaran Bahasa Indonesia,” dimuat dalam majalah  Basis (Nomor 12, Tahun XXXVI, 1987, hlm. 457-477).

Hasil penelitian Bambang menunjukkan, dari 174 buku tata bahasa Indonesia yang diteliti, ada dua buku yang paling banyak dibaca dan berpengaruh luas di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia selama lebih dari 25 tahun.  Kedua buku itu adalah  (1) Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (jilid 1 dan 2) karangan Sutan Takdir Alisjahbana (diterbitkan Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1949), dan  (2) Tatabahasa Indonesia  karangan Gorys Keraf  (diterbitkan Penerbit Nusa Indah, Ende, 1970).

Buku tata bahasa Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang terbit pertama kali 1949, sampai dengan tahun 1981 (selama 32 tahun) telah mengalami cetak ulang ke-43 (jilid 1) dan cetak ulang ke-30 (jilid 2). Sementara itu, buku tata bahasa Gorys Keraf yang terbit pertama kali 1970, sampai dengan tahun 1984 (selama 14 tahun) telah mengalami cetak ulang ke-10, dan sampai beliau meninggal tahun 1997 (selama 27 tahun) telah mengalami cetak ulang ke-15.

Jumlah buku tata bahasa Gorys Keraf yang beredar di masyarakat tentu jauh melampaui jumlah cetakannya, karena sebagian besar buku ini dijual secara ilegal di pasaran bebas.  Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 1989  pernah mensinyalir bahwa  buku yang paling banyak dibajak dan dijual secara ilegal di pasaran bebas  pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an adalah buku Tatabahasa Indonesia karangan Gorys Keraf. Keperkasaan buku tata bahasa Gorys Keraf ini mulai berkurang setelah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen P dan K,  pada tahun 1988 (waktu Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta)  meluncurkan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesi (1988).

Karya tulis Gorys Keraf yang lain setelah buku Tatabahasa Indonesia  adalah  (1) Komposisi  (1971); (2) Eksposisi dan Deskripsi (1981); (3) Argumentasi dan Narasi (1982); (4) Diksi dan Gaya Bahasa (1984); (5) Linguistik Bandingan Historis (1984); (6) Linguistik Bandingan Tipologis (1990); (7) Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia (1991); (8) Cakap Berbahasa Indonesia (1995); (9) dan Fasih Berbahasa Indonesia (1996).

Hasil penelitiannya yang mendalam atas bahasa-bahasa Nusantara sebagaimana dipaparkannya dalam buku Linguistik Bandingan Historis (1984) membuahkan  “teori baru” yang mengejutkan banyak ahli antropologi, tentang asal-usul bahasa dan bangsa Indonesia. Teori Keraf  menyebutkan, nenek moyang bangsa Indonesia “berasal dari wilayah Indonesia sendiri,” bukan dari mana-mana, bukan pula dari Asia Tenggara Daratan atau dari Semenanjung Malaka sebagaimana dipahami masyarakat umum selama ini. Teorinya ini didasarkan pada tiga landasan tinjauan, yakni (1) situasi geografis masa lampau,  (2) pertumbuhan dan penyebaran umat manusia, dan (3) teori migrasi bahasa dan leksikostatistik.

Politik Bahasa Indonesia Paling Sukses di Asia

Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang paling sukses menjadikan “bahasa” sebagai alat perjuangan politik  untuk kepentingan bangsa dan negara. Sejak awal pergerakan bangsa Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo yang kelak menjadi tonggak “kebangkitan nasional Indonesia,” sudah dirasakan pentingnya “bahasa” sebagai alat perjuangan politik.

Diinspirasi oleh Budi Utomo, bermunculan perhimpunan atau pergerakan pemuda yang lain, seperti Serikat Dagang Islam (1909), Serikat Islam (1912), Muhammadyah (1912), dan Indische Party (1912). Di sejumlah daerah bermunculan pergerakan pemuda yang bertujuan menuntut kemerdekaan, antara lain Yong Java (1915), Yong Sumatera (1917), Yong Ambon (1920), dan Yong  Celebes/Sulawesi  (1920).

Semua pergerakan pemuda di atas merasakan adanya “kendala bahasa” dalam berkomunikasi. Bahasa menjadi salah satu penentu, sukses atau gagalnya perjuangan. Bayangkan saja, Budi Utomo atau Muhammadyah, misalnya, yang pengurus dan anggotanya berasal dari  suku/etnis dan bahasa yang berbeda-beda, betapa sulitnya komunikasi guna mempersatukan visi, misi, dan program perjuangan.

Untung bahasa Melayu pada waktu itu  “relatif” sudah dikenal  oleh para pengurus dan anggota pergerakan, maka bahasa Melayu secara diam-diam disepakati sebagai sarana komunikasi politik. Jadi, sejak awal perjuangan, “bahasa” (dalam hal ini bahasa Melayu) sudah menjadi alat perjuangan politik bangsa.

Perjuangan bangsa terus berlanjut. Bahasa sebagai alat perjuangan politik semakin mendesak untuk dikukuhkan. Momen Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dipakai untuk “mengukukuhkan” bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan politik. Lahirlah bahasa Indonesia sebagai “bahasa nasional” dengan fungsi sebagai bahasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada waktu Jepang  menduduki Indonesia (1942-1945), Jepang melarang bahasa Belanda dipakai di Indonesia, sebaliknya bahasa Indonesia digalakkan penggunaannya. Jepang memanfaatkan bahasa sebagai alat politiknya: mengusir Belanda dan bahasanya dari  Indonesia  dan  menaklukkan Indonesia dengan bahasa Indonesia, karena Jepang  tidak punyai waktu  untuk mengajarkan bahasa Jepang.      

Pada waktu proklamasikan kemerdekaan RI, politik bahasa Indonesia mencapai puncak perjuangannya. Bahasa Indonesia masuk dalam konstitusi negara (UUD 1945) tanpa ada gejolak sedikitpun. Pasal 36 UUD 1945 menyatakan:  “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.” Dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, maka secara “yuridis formal”  kedudukan bahasa Indonesia  menjadi “sangat kuat.” Inilah pencapaian tertinggi bahasa Indonesia dari segi perjuangan politik dan hukum.

Dalam “politik bahasa nasional” (Amran Halim, Ed, Politik Bahasa Nasional, jilid 1 dan 2, 1984), bahasa Indonesia diberi dua kedudukan yang strategis oleh negara, yakni (1) sebagai “bahasa nasional” yang diperolehnya sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan (2) sebagai “bahasa negara” yang diperolehnya sejak ditetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Selanjutnya, sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi pemerintahan dan pendidikan, alat  perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang,  serta alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Cerita kesuksesan Indonesia dalam menggunakan “bahasa” sebagai alat perjuangan politik sebagaimana dipaparkan di atas, berbeda jauh dibandingkan dengan bangsa/negara tetangga Indonesia di kawasan Asia, misalnya Filipina, Malaysia, dan India.  

Di Filipina, meskipun bahasa Tagalog (salah satu bahasa daerah) telah dijadikan sebagai bahasa nasional untuk menyatukan perjuangan bangsa Filipina pada 1897, yakni pada saat pejuang Emilio Aguinaldo dan teman-temannya membuat  Konstitusi Sementara yang kemudian dikukuhkan lagi oleh Dewan Konstitusional  pada 1936, bahasa Tagalog ternyata tidak serta-merta menjadi “bahasa resmi negara” pada waktu kemerdekaan Filipina tahun 1946.

Perjuangan terus dilakukan, tetapi sampai kini bahasa Tagalog terus bersaing dengan bahasa Inggris untuk manjadi bahasa resmi negara. Karena lelah dan sering gagal memperjuangkan bahasa Tagalog menjadi bahasa resmi negara, seorang cendekiawan Filipina, Lonardo Mercado (1972), mengusulkan jalan keluar yang mengejutkan: “angkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara Filipina.” Alasan Mercado, bahasa Indonesia secara kultural sangat dekat dengan alam pikiran orang Filipina (lihat Soenjono Dardjowidjojo, Ed, Bahasa Nasional Kita, 1996, hlm. 20).

Di Malaysia, meskipun Kongres Persatuan Melayu, Desember 1940, menyepakati bahasa Malaysia (semula bahasa Melayu) sebagai bahasa nasional, pada waktu proklamasi kemerdekaan Malaysia pada 1948 tidak menjadikan bahasa Malaysia sebagai bahasa resmi negara. Bahasa Malaysia harus bersaing dengan bahasa Inggris, dan persaingan terus berlangsung sampai  kini.

Demikianpun di India. Meskipun Kongres Bahasa Hindi dilaksanakan pada 1893  yang mengusulkan bahasa Hindi sebagai bahasa negara, namun pada waktu kemerdekaan India tahun 1950, bahasa Hindi tidak bisa menjadi bahasa resmi negara. Padahal pada waktu merdeka tahun 1950, 33 % penduduk India (86 juta dari 285 juta) menguasai bahasa Hindi, sementara bahasa Inggris hanya dikuasi 1 % saja. Kemauan politik India tidak bisa menjadikan bahasa Hindi sebagai bahasa resmi negara. Sampai kini bahasa Hindi dan bahasa Inggris terus bersaing bahkan sering bertikai dalam penggunaannya  dalam masyarakat.

Pengalaman Filipina, Malaysia, dan India menunjukkan betapa kuatnya kepetingan politik bangsa dan negara dalam menentukan status sebuah bahasa.  Mulusnya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, kemudian bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional (1928) dan bahasa negara (1945) karena kuatnya kepentingan politik (semangat nasionalisme) para pejuang kita. Indonesia adalah contoh negara di Asia yang paling sukses politik berbahasanya. *

 
Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Flores, Ende   

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, 27, 28, 29, 30 Oktober 2010).

 

 

 

 

Post a Comment for "Memperingati Bulan Bahasa 2010 (4 Seri Tulisan)"