Sastra NTT Memperkaya Warna Daerah Sastra Indonesia
Dalam artikel yang berjudul “Sastra Indonesia Menatap Masa Depan,” Maman S. Mahayana (2012: 306) menyatakan, selepas otonomi daerah digulirkan tahun 2000 dan kegiatan pemerintahan tidak lagi sentralistik, kehidupan sosio-kultural di pelosok Tanah Air niscaya lebih membumi dan kembali pada kultur kedaerahan. Problem lokalitas daerah akan menjadi salah satu tema sentral karya-karya sastra Indonesia dan menjadi lahan subur kreativitas bagi sastrawan Indonesia yang berasal dari daerah atau tinggal di daerah.
Oleh karena itu, lanjut Mahayana, wacana lokalitas akan menjadi penting sebagai sebuah konsep kesusastraan yang akan mewujud dalam tiga skenario, yakni (1) mengeksploitasi kekayaan tradisi dan kultur lokal, (2) mengusung problem kemasyarakatan lokal yang khas terjadi dan menjadi milik para sastrawan dalam lingkup lokalitas daerahnya, dan (3) memproklamasikan semangat lokalitas daerah menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri, dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat Jakarta.
Sastra Indonesia yang kembali ke kultur kedaerahan inilah yang disebut Jakob Sumardjo (1982: 49-52) sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal. Menurutnya, semua karya sastra warna daerah adalah karya sastra Indonesia, dan para pengarangnya adalah sastrawan Indonesia. Sedangkan menurut Mursal Esten (1988: 11-23), sastra Indonesia yang berorientasi kultur kedaerahan adalah sastra Indonesia jalur kedua. Menurutnya, sastra Indonesia jalur kedua ini mulai terlihat sejak 1970 dan tersebar di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Salah satu sastra Indonesia warna daerah atau sastra jalur kedua adalah sastra NTT. Sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). Sastra NTT juga bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal NTT (Sehandi, 2015: 33-36). Sastra NTT adalah bagian dari sastra nasional Indonesia yang memberi warna khas budaya NTT dalam sastra Indonesia.
Kalau ada sastra NTT, tentu ada sastrawan NTT. Sastrawan NTT adalah penulis karya sastra dalam bahasa Indonesia yang berasal dari NTT atau keturunan orang NTT. Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan tinggal di NTT, misalnya Felix K. Nesi, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT, misalnya Yoseph Yapi Taum. Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu meskipun lahir di luar NTT, tetapi dari orang tua keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) dari orang tua (berdarah) NTT, Gerson Poyk.
Gerson Poyk (1931-2017) adalah perintis sastra NTT yang menulis karya sastra di berbagai media cetak nasional sejak 1955. Karya pertamanya berupa puisi berjudul “Anak Karang” dimuat majalah Mimbar Indonesia Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19.
Sastra NTT bertumbuh dan berkembang semenjak Provinsi NTT terbentuk pada 1958. Dengan terbentuknya Provinsi NTT maka adat-istiadat, kebiasaan, dan kultur dari puluhan etnis yang ada di wilayah kepulauan NTT dipertemukan karena interaksi dan interelasi pemerintahan dan masyarakatnya. Puluhan etnis yang mendiami tiga wilayah pulau besar di NTT yang dikenal dengan nama Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor) makin lama makin mendekat, mencair, dan saling mempengaruhi, kemudian membentuk karakter khas sebagai karakter dan kultur masyarakat NTT.
Sejumlah faktor yang memudahkan bersatunya karakter dan kultur etnik di NTT, antara lain karena kesamaan watak sebagai masyarakat kepulauan, geografi dan topografi yang kering dan tandus, kesamaan adat-istiadat dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Juga sebagian besar penganut Kristen (Katolik dan Protestan). Karakter dan kultur kedaerahan NTT yang khas inilah yang tercermin dalam karya-karya para sastrawan NTT.
Sumbangan penting sastra NTT bagi perkembangan sastra Indonesia adalah memperkaya warna daerah dalam konstelasi sastra nasional Indonesia. Warna daerah NTT ini tercermin dalam latar atau seting daerah/masyarakat NTT dalam cerita, tema khas masyarakat dan daerah NTT yang agraris dengan adat-istiadat yang beragam di puluhan pulau yang tersebar dalam wilayah kepulauan NTT. Kalau sebelumnya, warna daerah khas NTT ini hanya diusung Gerson Poyk dalam novel-novel dan cerpennya, kini diangkat oleh sebagian besar sastrawan NTT. Sekali lagi, ini merupakan sumbangan besar sastra NTT untuk memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir (2010-2020) pertumbuhan dan perkembangan sastra dan sastrawan NTT sangat pesat (Sehandi, 2017: 17). Berdasarkan data yang saya miliki, karya para sastrawan NTT yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, sejak awal mula sastra NTT tahun 1955 sampai dengan 2020 ini, (selama 65 tahun) sebanyak 210 judul buku, karya 108 sastrawan NTT. Adapun perinciannya, buku puisi sebanyak 81 judul, karya 48 penyair, buku cerpen 55 judul, karya 27 cerpenis, buku novel 74 judul, karya 33 novelis. Ada sejumlah sastrawan yang menulis lebih dari satu judul buku sastra.
Era tahun 2010-2020 adalah era emas kebangkitan sastra dan sastrawan NTT. Ada sejumlah indikatornya. Pertama, banyaknya jumlah penerbitan buku sastra NTT dalam dekade ini. Pada era ini terbit sebanyak 144 buku sastra, karya 83 sastrawan NTT, sementara dalam kurun waktu yang sama sebelumnya (2000-2010) hanya terbit 31 judul, karya 18 sastrawan NTT. Kedua, maraknya pemuatan puisi dan cerpen serta opini/esai/kritik sastra dalam surat kabar yang terbit di NTT, yakni Pos Kupang, Victrory News, Timor Express, dan Flores Pos. Era sebelumnya tidak semarak seperti sekarang. Ketiga, terselenggaranya pertemuan sastrawan NTT, yakni Temu 1 Sastrawan NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Kupang dan Temu 2 Sastrawan NTT pada 8-10 Oktober 2015 di Universitas Flores, Ende, yang antara lain menyepakati Hari Sastra NTT 16 Juni, bertepatan dengan HUT perintis sastra NTT, Gerson Poyk. Keempat, maraknya kehidupan komunitas sastra di NTT, antara lain Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang yang menerbitkan Jurnal Sastra Santarang, Komunitas Kahe di Maumere yang menerbitkan Jurnal Sastra Dala ‘Ela, Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang yang menerbitkan Jurnal Filokalia, dan Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK) NTT yang menerbitkan beberapa buku antologi puisi dan antologi cerpen karya para sastrawan NTT. *
Daftar Rujukan
Esten, Mursal. 1988. Sastra Jalur Kedua, Sebuah Pengantar.
Padang: Angkasa Raya.
Mahayana, Maman S.
2012. “Sastra Indonesia Menatap Masa Depan” dalam Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia. Bandung: Nuansa.
Majalah Mimbar Indonesia, Nomor 24, Tahun IX, 11
Juni 1955.
Sehandi, Yohanes. 2015.
“Sastra Indonesia Warna Daerah NTT,” dalam majalah Horison Nomor 4, Tahun XLIX, April 2015.
Sehandi, Yohanes. 2017.
Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan
Esai. Yogyakarta: Ombak.
Sumardjo, Jakob. 1983. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta:
Karya Unipress.
Oleh Yohanes Sehandi
Peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3) pada 2-5 November 2020
(Tulisan ini sebagai esai untuk Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3) pada 2-5 November 2020 di Jakarta, diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimuat kembali dalam buku Memajankan Sastra Indonesia: Kumpulan Esai Munsi III, Editor E. Rokajat Asura (Siliwangi Berkah Abadi, Bandung, 2021).
Post a Comment for "Sastra NTT Memperkaya Warna Daerah Sastra Indonesia"