Esai ini coba membahas jejak novel dalam sastra
NTT. Pertanyaannya,
sejak kapan orang NTT menulis
karya sastra novel? Siapa perintisnya? Berapa jumlah novel yang telah diterbitkan? Siapa
saja para novelis NTT yang kini tampil di panggung sastra Indonesia?
Berbeda dengan puisi dan cerpen, di mana
sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, lebih dahulu dimuat dalam surat kabar
atau majalah. Penerbitan novel dalam sastra NTT langsung berupa buku, tidak
diawali sebagai cerita bersambung dalam surat kabar atau majalah.
Orang NTT pertama yang menerbitkan buku novel adalah
Gerson Poyk (1931-2017). Dialah perintis penulisan novel dalam sastra NTT. Novel
pertama Gerson berjudul Hari-Hari Pertamaditerbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964. Novel kedua Gerson berjudul Sang
Guru diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta, 1971. Novel ketiga berjudul Cumbuan
Sabana diterbitkan Nusa Indah, Ende, 1979. Sampai
dengan meninggalnya
pada 24 Februari 2017, Gerson Poyk
telah menerbitkan buku novel minimal 18 judul. Menurut anak kandungnya, Fanny J. Poyk, masih ada lagi novel Gerson yang belum ditemukan untuk didatakan. Pada waktu Gerson Poyk mengikuti
Temu 2 Sastrawan NTT pada 8-10 Oktober 2015 di Universitas Flores, Ende, saya
tanyakan langsung kepada beliau berapa jumlah novel (juga puisi dan ceren) yang
telah diterbitkan jadi buku. Beliau sendiri tidak ingat lagi. “Pokoknya, masih
ada beberapa karung,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Tidak
jauh berbeda dengan cerpen-cerpennya, konteks atau latar cerita pada novel-novel
Gerson Poyk terjadi daerah-daerah, bahkan daerah-daerah terpencil. Kalaupun ada
novel yang konteksnya di kota, tetapi karakter para tokoh yang terlibat di dalamnya
mempunyai masa lalu di daerah, yang muncul di kota karena terhanyut urbanisasi.
Tema
cerita Gerson dalam novel-novelnya tentang kampung, hutan, kebun, sawah,
pegunungan, padang ilalang, sabana, tentang orang desa, pengalaman iris tuak,
pikul kayu, masak air nira, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun
lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta
rakyat, buka kebun baru, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang dengan
gampang dihubungkan dengan masyarakat dan budaya NTT.
Bagaimana perkembangan penerbitan
novel setelah Gerson Poyk merintisnya 1964? Berdasarkan data yang saya miliki,
sejak tahun 1964 sampai dengan akhir 2020 (selama 56 tahun), jumlah buku novel
karya para sastrawan NTT yang diterbitkan jadi buku sebanyak 82 judul. Pasang
surut penerbitan novel dalam sastra NTT selama 56 tahun ini menarik untuk
dicermati.
Dalam kurun waktu 1964-1985 (21 tahun), hanya
dua orang novelis NTT yang menerbitkan buku novel, yakni Gerson Poyk dan Julius
Sijaranmual. Selama 21 tahun itu, ada 13 judul buku novel diterbitkan, 8 judul
karya Gerson Poyk, 5 judul karya Julius
Sijaranamual.
Dalam kurun waktu 1986-2005 (14 tahun), hanya
dua orang pula novelis NTT yang menerbitkan buku novel, yakni Maria Matildis
Banda dan Fanny J. Poyk. Selama 14 tahun itu, ada 11 judul novel diterbitkan, 7
judul karya Maria Matildis Banda, 4 judul karya Fanny J. Poyk.
Dalam kurun waktu 2006-2020 (14 tahun), bermunculan belasan
novelis NTT yang menerbitkan buku novel. Selama 14 tahun terakhir ini, hanya
Julius Sijaranamual saja yang tidak berkarya lagi. Gerson Poyk, Maria Matildis
Banda, dan Fannya J. Poyk ikut berkarya bersama belasan novelis baru NTT.
Jumlah buku novel yang terbit selama 14 tahun terakhir sebanyak 58 judul.
Inilah masa emas pertumbuhan dan perkembangan penerbitan novel dalam sastra
NTT.
Sejumlah novel menarik yang
digemari pembaca, antara lain Sang Guru (Gerson Poyk), Tuhan Jatuh Hati (Julius Sijaranamual), Cumbuan Sabana (Gerson Poyk), Surat-Surat dari Dili (Maria Matildis
Banda), Petra Southern Meteor (Yoss
Gerard Lema), Meredam Dendam (Gerson
Poyk), Perempuan Itu Bermata Saga
(Agust Dapa Loka), Loe Betawi Aku
Manggarai (Vincentius Jeskiel Boekan), Perempuan
dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou), Dua
Malam Bersama Lucifer (Buang Sine), Enu
Molas di Lembah Lingko (Gerson Poyk), Polisi
Sampah (Buang Sine), Wijaya Kusuma
dari Kamar Nomor Tiga (Maria Matildis Banda), Suara Samudra (Maria Matildis Banda), Lamafa (Fince Bataona), dan Orang-Orang
Oetimu (Felix K. Nesi). *
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra
dari Universitas Flores, Ende(Telah
dimuat majalah Warta Flobamora, Terbitan Surabaya, Edisi 84, Tahun ke-9, 2021)
Mantap
ReplyDelete