Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perihal Kritik Sastra

Kritik sastra merupakan salah satu jenis tulisan telaah sastra, di samping esai sastra. Sebetulnya, masih ada jenis tulisan telaah sastra yang lain, yakni opini sastra, namun jenis opini sastra jarang digunakan para pengamat dan kritikus sastra Indonesia. Dilihat dari sudut subjektif dan objektif sebuah karya telaah sastra, posisi opini sastra berada di antara esai sastra dan kritik sastra, Di samping sebagai salah satu jenis telaah sastra, kritik sastra juga merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang bersifat monodisiplin, di samping teori sastra dan sejarah sastra.

Secara etimologis, kata kritik (sastra) berasal dari  krites (Yunani) yang berarti hakim. Kata krites (kata benda) berasal dari kata krinein (kata kerja) yang berarti menghakimi, membanding atau menimbang. Sedangkan kata kritikus berasal dari kata Latin klasik criticus  artinya ahli kritik. Kata criticus mengandung nilai lebih tinggi daripada grammaticus (ahli tata bahasa) karena criticus juga berarti penafsir naskah dan penafsir kata-kata (ahli bahasa).

Apa itu kritik sastra? Rene Wellek dan Austin Warren dalam buku Teori Kesusastraan (1993) menyatakan, kritik sastra adalah pembicaraan tentang karya sastra tertentu. M.H. Abrams dalam Glossary of Literary Terms (1981) menyatakan, kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra. H.B. Jassin (1917-2000) dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1983) menyatakan, kritik sastra adalah penilaian baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya. Andre Hardjana dalam Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1981) merumuskan pengertian kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.

Kritik sastra tentu berlandaskan akal sehat dan rumusan konseptual sesuai dengan perkembangan ilmu kritik sastra. Untuk dapat menghasilkan kritik sastra yang baik, seorang kritikus perlu memiliki kemampuan mengapresiasi karya sastra, sering mengulas dan menganalisis karya-karya sastra, syukur-syukur kalau menguasai juga teori kritik sastra. Di samping itu, seorang kritikus sastra perlu pula memiliki bekal pengetahuan dan wawasan yang memadai, baik yang bersifat literer (berkaitan dengan sastra) maupun yang non-literer (berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan pada umumnya).        


H.B Jassin (1917-2000)

Apa yang dilakukan seorang kritikus dalam menulis kritik sastra? Menurut kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, dalam bukunya Kitab Kritik Sastra (2015, halaman xliii), ada empat tahapan yang dilakukan seorang kritikus dalam menulis kritik sastra. Keempat tahapan itu adalah tahapan deskripsi (menggambarkan), interpretasi (menafsirkan), analisis (menguraikan),  dan evaluasi (menilai). Berikut penjelasan singkat keempat tahapan tersebut.

Pada tahapan deskripsi, kritikus memperkenalkan karya sastra yang diulasnya secara garis besar, misalnya tentang data publikasi karya itu, posisi pengarang, gambaran tentang bentuk dan isi karya tersebut secara garis besar. Pada tahapan interpretasi, kritikus memberi penafsiran unsur-unsur, bentuk dan isi karya sastra tersebut. Pada tahapan analisis, kritikus melakukan analisis atau penguraian atas unsur-unsur, bentuk dan isi karya sastra yang diulas. Dalam praktiknya, tahapan interpretasi dan analisis bisa saling melengkapi. Kadangkala penafsiran mendahului analisis, kadangkala pula analisis mendahului penafsiran. Tahapan penafsiran dan analisis merupakan bagian penting dalam sebuah tulisan kritik sastra. Pada tahapan evaluasi, kritikus memberi penilaian atas keunggulan dan kelemahan karya sastra yang diulasnya. Penilaian adalah tahapan penting yang harus diberikan seorang kritikus. Tahapan penilaian inilah yang membedakan kritik sastra dari esai sastra. Esai sastra bergerak dalam tiga tahapan, yakni tahapan deskripsi, interpretasi, dan analisis, tanpa tahapan penilaian. Kritik sastra,  di samping mengikuti ketiga tahapan itu, harus berujung dan berpuncak pada penilaian.

Penilaian terhadap sebuah karya sastra tentu harus proporsional. Jangan sampai berat sebelah hanya karena faktor subjektif semata. Seorang kritikus tidak perlu memaksakan diri untuk menilai unggul sebuah karya kalau karyanya tidak unggul. Demikianpun sebaliknya, menilai serba kurang atas sebuah karya padahal karya sastra itu ada keunggulannya juga.

Menurut kritikus Maman S. Mahayana dalam bukunya yang telah diebutkan di atas, karya-karya agung tanpa penilaian sekalipun akan tetap tampak keagungannya berdasarkan penafsiran dan analisis yang dilakukan sang kritikusnya. Oleh karena itu, ada sebagian kritikus yang beranggapan bahwa penilaian tidak diperlukan lagi dalam praktik kritik sastra, sebab dari kedalaman penafsiran dan analisis kritikus itu saja sudah akan tanpak keunggulan atau kelebihan karya sastra tersebut.

Namun demikian, lanjut Mahayana, ada juga sebagian kritikus yang memandang bahwa hakikat kritik sastra tidak lain adalah penilaian. Oleh karen itu, praktik kritik sastra mesti memuat secara eksplisit perkara penilaian. Pandangan itu juga didasarkan pada anggapan bahwa praktik kritik sastra dimulai dan diakhiri dengan penilaian. Jadi, apa gunanya praktik kritik sastra jika tidak ada penilaian. Begitulah kritikus yang berpegang pada anggapan tersebut, menempatkan penilaian sebagai hal penting dalam praktik kritik sastra.

Dalam melakukan deskripsi, interpretasi, analisis, dan evaluasi atas sebuah karya sastra, seorang kritikus tidak bisa bertindak semaunya. Dalam mengemukakan kritiknya, seorang kritikus melewati suatu proses penghayatan keindahan yang hampir serupa dengan proses penghayatan seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra. Perbedaan dari dua penghayatan itu terletak pada pangkal tolak dan titik akhirnya. Pangkal tolak seorang pengarang adalah penghayatan dan persepsinya terhadap realitas fakta ke dalam realitas fiksi yang menghasilkan karya sastra sebagai titik akhirnya. Sedangkan pangkal tolak seorang kritikus adalah penghayatan dan persepsinya terhadap karya sastra yang dihadapinya yang kemudian menghasilkan sebuah karya kritik sastra sebagai titik akhirnya.

Penghayatan keindahan seorang kritikus sastra bermula dari pengamatan dan pencernaan jiwanya atas suatu karya sastra. Setelah mengalami proses penghayatan keindahan itu, seorang kritikus merasa menemukan makna dan nilai, namun tidak menciptakan makna dan nilai. Proses penghayatan makna dan nilai itu tidak lain adalah proses penghayatan atau pengalaman estetik. Hasil dari penghayatan estetik atas sebuah karya sastra itulah yang disebut kritik sastra.

Penghayatan estetik ini tidak selalu mudah karena suatu karya sastra yang diciptakan untuk semua orang seringkali tidak dapat diresapi oleh setiap orang. Apabila hal tersebut terjadi, menurut Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1981, halaman 16), ada dua kemungkinan, yakni pembacanya tertutup untuk menyerap sastra yang halus dan tinggi, atau karya sastra itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan hati dan minat penikmat atau pembaca sastra.   

Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, penilaian relatif, dan penilaian perspektif. Penilaian absolut dipengaruhi paham positivisme yang menghasilkan penilaian benar atau salah serta baik atau buruk terhadap sebuah karya sastra. Penilaian relatif didasarkan pada impresi (kesan) kritikus terhadap karya sastra, sepuluh kritikus bisa jadi akan menghasilkan sepuluh penilaian. Adapun penilaian perspektif menekankan pada berbagai kemungkinan lain ketika satu pendekatan dengan teori tertentu tidak sesuai dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra tersebut. Melalui penilaian perspektif inilah kekayaan teks digali dan diungkapkan. Dari situlah pendekatan baru ditawarkan, teori baru dapat dirumuskan.


Dami N. Toda (1942-2006)

Dalam sejarah panjang kritik sastra tingkat dunia, buku tentang kritik sastra yang pertama yang kemudian dipandang sebagai sumber pengertian kritik sastra modern berjudul Criticus karya Julius Caesar Scalinger (1484-1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian buku Julius yang berjudul Poetica. Dalam buku tersebut Julius melakukan penilaian dan perbandingan antara kualitas karya sastra pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat pada usaha penilaian dan penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergillius. Berkat penialiannya atas kedua pujangga itu, Julius mendapatkan julukan sebagai kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis (Hardjana, 1981, halaman 3).

Menyangkut tradisi kritik sastra di Indonesia, Maman S. Mahayana dalam Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam (2017, halaman xv) menyatakan, sastra Indonesia sejak awal mempunyai tradisi kritik sastra. Kritik sastra Indonesia tidak mengadopsi kritik sastra dari Barat. Lebih lanjut Mahayana menyatakan bahwa istilah kritik sastra (criticism) itu sendiri awalnya diperkenalkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam artikelnya berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang dimuat dalam rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Posetaka, Mei 1932). Di sini STA menjelaskan ciri-ciri puisi baru, syair, kiasan, dan ibarat, berikut ulasannya. Sejak itulah istilah kritik sastra banyak digunakan untuk menunjuk sebuah tulisan (esai atau artikel di media massa) yang membicarakan (karya) sastra sebagai kritik sastra.

Selanjutnya, pada tahun 1930-an lewat majalah Pujangga Baru yang dipimpin Sutan Takdir Alisjabana (STA), tradisi kritik sastra mulai bertumbuh dan terus berkembang. Kritikus sastra pun mulai bermunculan. Dan kritikus sastra Indonesia yang paling menonjol dalam kurun waktu itu adalah H.B. Jassin (1917-2000).

Kedudukan kritik sastra Indonesia menjadi kokoh setelah H.B. Jassin menerbitkan seri bukunya yang sangat terkenal dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1945) yang kemudian dikembangkan dan diperluas wilayahnya hingga mencapai empat jilid buku. Buku-buku kritik sastra H.B. Jassin inilah yang kemudian menjadi model kritik sastra Indonesia selanjutnya. Kritikus sastra Indonesia yang lain selain H.B. Jassin, adalah A. Teeuw, M.S. Hutagalung, Umar Junus, Dami N. Toda, Jakob Sumardjo, Ignas Kleden, Rachmat Djoko Pradopo, Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Narudin, dan lain-lain. *
 
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat  majalah  Kabar  NTT, terbitan Kupang,  pada  Nomor  35, September 2017)

 

3 comments for "Perihal Kritik Sastra"