Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memilih Perguruan Tinggi yang Legal

Pada saat ini dan dalam beberapa minggu ke depan, para lulusan SMA/SMK/MA beramai-ramai mendaftarkan diri masuk perguruan tinggi (PT), baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS), baik yang ada di Flores maupun di luar Flores, seperti di Kupang, Denpasar, Makasar, Malang, Jakarta, dan lain-lain.

Adapun jenis PT yang dapat dipilih adalah universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas. Tiga jenis PT yang pertama menyelenggarakan pendidikan akademik dan vokasi, sedangkan tiga jenis PT berikutnya menyelenggarakan pendidikan vokasi.

Sebelum memilih sebuah PT, usahakan selidiki lebih dahulu PT tersebut, termasuk PT  legal (sehat) atau PT ilegal (tidak sehat). Kalau salah memilih PT, misalnya memilih PT ilegal, maka resiko ditanggung sendiri, baik resiko material maupun non-material. Karena itu, pilihlah PT yang legal.

Ciri-ciri PT yang legal cukup banyak sesuai ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan sejumlah peraturan turunannya. Berikut ini dikemukakan sejumlah ciri PT legal agar para calon mahasiswa tidak salah memilih PT.

Pertama, PT itu harus mendapatkan izin pendirian dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti, selanjutnya disebut Dikti) Kementerian Ristek dan Dikti. PT yang mendapatkan izin pendirian, tercatat di Dikti dan di Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta). Untuk semua PTS di NTT, di samping tercatat di Dikti, juga tercatat di Kopertis Wilayah VIII Bali Nusra di Denpasar. Kalau tidak tercatat, PTS itu tidak sah (ilegal).

Langkah tepat dan terpuji telah dilakukan DPRD Ende beberapa waktu lalu dengan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Kopertis Wilayah VIII di Denpasar menyangkut keabsahan sejumlah PTS di Kabupaten Ende. Seperti telah diberitakan harian ini, DPRD Ende telah menyebutkan nama-nama PTS yang legal di Kabupaten Ende. DPRD Ende juga telah meminta PTS yang tidak sah agar tidak lagi menerima mahasiswa baru tahun kuliah 2015 ini.

Kalau kuliah di PTS yang tidak sah (ilegal) akan merugikan mahasiswa sendiri. Pertama, mahasiswa tidak akan diwisuda dan tidak akan diberi ijazah. Kalaupun diberi ijazah, status ijazah itu ilegal (palsu), tidak bisa digunakan untuk melamar pekerjaan, dan termasuk pelanggaran pidana. Kedua, mahasiswa tidak bisa pindah ke PT lain untuk meneruskan perkuliahannya. Keberadaan sebuah PT, termasuk nama para dosen dan para mahasiswanya, tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang dikelola secara terpusat oleh Dikti. Kalau identitas mahasiswa itu tidak ada dalam PDPT, resikonya, kalau mau meneruskan kuliah di PT lain harus mulai dari semester satu.

Kedua, PT itu harus terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2012, sebuah PT yang mendapat izin pendirian dari Dikti langsung diberi akreditasi C termasuk semua program studi (prodi) yang dimilikinya. Selanjutnya PT yang bersangkutan beserta semua prodi-nya berjuang untuk mendapatkan status akreditasi B dan A, baik untuk PT (akreditasi institusi) maupun untuk prodi (akreditasi prodi). Hanya PT yang memiliki status akrediatasi (A, B, C) yang berhak memberi ijazah kepada lulusannya untuk digunakan melamar pekerjaan. Status akreditasi A, B, dan C, mencerminkan kualitas sebuah PT dan sebuah prodi. Ke depan, status akreditasi ini menentukan “nilai jual” sebuah ijazah. Setiap PT dan prodi berjuang untuk meraih akreditasi B atau A.

Ketiga, PT itu harus memiliki nisbah (rasio) jumlah dosen dan mahasiswa sesuai dengan ketentuan. Sesuai dengan ketentuan Dikti terbaru, untuk prodi ilmu alam (eksakta) nisbah dosen dan mahasiswa 1:20-30, sedangkan untuk ilmu sosial 1:30-45. Setiap prodi harus memiliki minimal enam dosen tetap yang bergelar Magister (S-2). Kalau tidak memenuhi ketentuan ini, prodi itu terancam “dinon-aktifkan” oleh Dikti.

Dosen yang dihitung adalah dosen yang minimal bergelar Magister (S-2) dan mempunyai Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Mulai tahun 2015 ini, dosen yang bergelar Sarjana (S-1) secara otomatis nama dan NIDN-nya dicabut dan hilang dari sistem online yang dikelola Dikti. Kasus timpangnya nisbah dosen dan mahasiswa serta masih banyak dosen yang bergelar Sarjana (S-1) seperti ini, kini menimpa IKIP Budi Utomo Malang, yang berakibat IKIP tersebut beserta semua prodi-nya “dinon-aktifkan” oleh Dikti (Kompas, 9 Juni 2015).

Keempat, PT itu harus memiliki hubungan harmonis atau tidak bermasalah dengan Yayasan penyelenggara PT tersebut. Syarat ini khusus untuk PTS. Kualitas pendidikan sebuah PTS antara lain tercermin pada harmonisnya hubungan antara PT dan Yayasan penyelenggara. Juga sebaliknya, Yayasan penyelenggara harus harmonis hubungannya dengan PT yang didirikannya. Kasus tidak harmonisnya hubungan antara PT dan Yayasan penyelenggara,  ditambah sejumlah kasus yang lain, kini dialami Universitas PGRI NTT di Kupang.  Akibatnya, Universitas PGRI NTT “dinon-aktifkan” oleh Dikti dan dilarang menerima mahasiswa baru tahun kuliah 2015 ini (Pos Kupang, 3 Juni 2015). *

Oleh Yohanes Sehandi
Kepala UPT Publikasi dan Humas Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Sabtu, 13 Juni 2015)



Post a Comment for "Memilih Perguruan Tinggi yang Legal"