Sastra Indonesia Warna Daerah NTT
YOHANES SEHANDI
Istilah sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal digunakan sebagian besar pengamat dan kritikus sastra untuk menyebut karya-karya sastra Indonesia yang bercorak kedaerahan atau berciri khas kedaerahan di Indonesia. Jakob Sumardjo (1982: 49-52) menyatakan, semua karya sastra di Indonesia yang mengandung warna daerah atau warna lokal adalah karya sastra Indonesia dan para pengarang karya sastra itu adalah sastrawan Indonesia.
Dalam buku Pengantar Novel Indonesia (1983) Jakob
Sumardjo membahas dalam bab khusus (Bab Empat, halaman 197-225) novel-novel
Indonesia warna daerah yang terbit tahun 1970-1980. Sejumlah novelis Indonesia
warna daerah, disebutkan Sumardjo, seperti Aspar dan Sinansari Ecip dari
Sulawesi Selatan, Charirul Harun dan Darman Moenir dari Sumatera Barat, Korrie
Layun Rampan dari Kalimantan Timur, Umar Kayam dari Jawa Timur, dan Gerson Poyk dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mursal Esten menyebut sastra
Indonesia warna daerah ini sebagai “sastra Indonesia jalur kedua.” Dalam bukunya
Sastra Jalur Kedua, Sebuah Pengantar (1988:
11-23), Esten membagi dua jenis sastra yang hidup di Indonesia, yakni sastra
Indonesia jalur pertama dan sastra Indonesia jalur kedua. Sastra Indonesia
jalur pertama yang dikenal umum sekarang sebagai sastra nasional Indonesia,
yang menguasai sastra nasional Indonesia, bahkan cenderung sebagai sastra warna kota.
Sedangkan sastra Indonesia jalur kedua adalah sastra yang dipengaruhi oleh budaya-budaya daerah (etnis atau suku) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Nilai dan sistem budaya yang hidup dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat tertentu itulah yang disebut budaya daerah. Uniknya, nilai dan sistem budaya daerah tidak pernah putus di dalam dirinya, meskipun ia telah berada di dalam masyarakat yang baru yang disebut masyarakat Indonesia (Esten, 1988: 11-12).
Sementara itu, pengamat
sastra Budi Darma (2007), menyebut sastra Indonesia warna daerah sebagai
“sastra sub-kebudayaan.” Dalam artikelnya “Sastra Mutakhir Kita” dalam Bahasa, Sastra, dan Budi Darma (Editor
Djoko Pitono, 2007: 223), Budi Darma menjelaskan, pada dasarnya sastra
sub-kebudayaan muncul sebagai perwujudan dari kerinduan pengarang untuk lepas
dari aspirasi global mondial. Di satu pihak, kita menjadi manusia nasional dan
internasional, namun di lain pihak kita menuntut untuk kembali ke masa
kanak-kanak sastrawan sendiri, ke
kebudayaan kita sendiri
Budi Darma membedakan antara sastra sub-kebudayaan dalam sastra Indonesia dengan sastra daerah. Sastra daerah pengarangnya menggunakan bahasa daerah dalam pengungkapannya, sedangkan sastra Indonesia sub-kebudayaan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Budi Darma (Pitono, 2007: 224), sastra sub-kebudayaan dalam sastra Indoesia mirip dengan sastra regional di Amerika, hanya sastra sub-kebudayaan Indonesia membawa muatan kebudayaan lokal yang lebih berat dibandingkan dengan sastra regional di Amerika. Nanti di Indonesia, menurut Budi Darma, akan ada sastrawan nasional Indonesia saja, ada pula sastrawan nasional Indonesia yang regional.
***
Setelah penjelasan dan
gambaran tentang sastra Indonesia warna daerah di atas, maka kita dapat
memberikan gambaran tentang sastra Indonesia warna daerah Nusa Tenggara Timur
(NTT). Sastra Indonesia warna daerah NTT adalah sastra Indonesia yang
mengandung kultur lokal dan karakter kedaerahan khas NTT dan ditulis dalam
bahasa Indonesia,
Kultur lokal dan karakter
kedaerahan khas NTT itu, antara lain tercermin pada tema, aspirasi, amanat, latar,
ketokohan, dan karakter kedaerahan NTT lainnya yang terdapat dalam karya
sastra. Sastra Indonesia warna daerah NTT tentu berbeda dengan sastra Indonesia
warna daerah lain, seperti sastra Indonesia Yogyakarta, sastra Indonesia Bali,
sastra Indonesia Aceh, sastra Indonesia Riau, sastra Indonesia Sumatera Barat,
dan sastra Indonesia Kalimantan, dan lain-lain.
Sastra Indonesia warna daerah
NTT (disebut juga sebagai sastra NTT) bertumbuh dan berkembang setelah Provinsi
NTT terbentuk pada 1958 sebagai hasil pemekaran Provinsi Sunda Kecil, yang
kemudian menjadi Provinsi Bali, Provinsi NTB, dan Provinsi NTT. Dengan
terbentuknya Provinsi NTT ini maka adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan
kultur dari puluhan etnis yang ada di wilayah Provinsi NTT ini secara perlahan-lahan
dipertemukan karena keharusan interaksi dan interelasi pemerintahan dan
masyarakat dalam Provinsi NTT.
Puluhan etnis yang mendiami
tiga wilayah pulau besar di Provinsi NTT yang dikenal dengan nama Flobamora
(Flores, Sumba, Timor, dan Alor) semakin lama semakin mendekat, mencair, dan
saling mempengaruhi, yang lama-kelamaan membentuk karakternya yang khas sebagai karakter masyarakat dan kultur
(budaya) masyarakat NTT. Sejumlah faktor yang memudahkan bersatunya budaya
etnik di NTT, antara lain karena kesamaan karakter masyarakat kepulauan,
geografi dan topografi sama yang kering/tandus, kesamaan adat-istiadat, upacara
kematian, perkawinan, dan terakhir mayoritas masyarakatnya beragama Kristen
(Protestan dan Katolik).
Dalam bidang kebudayaan, di
samping bertumbuh dan berkembangnya sastra Indonesia warna daerah NTT (sastra
NTT), yakni karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai media
ekspresinya, bertumbuh dan berkembang pula “sastra-sastra daerah di NTT,” yakni
karya sastra yang menggunakan bahasa daerah (bahasa etnik) di NTT. Sastra NTT
ini mengandung unsur lokal kedaerahan NTT, seperti tema, aspirasi, amanat,
latar, ketokohan, dan karakter kedaerahan NTT lainnya yang khas.
Karya-karya sastra Indonesia
warna daerah NTT dihasilkan oleh pengarang-pengarang NTT, baik yang tinggal di
NTT maupun di luar NTT. Pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT ini tidak jauh
berbeda dengan sastra Indonesia di daerah lain di Indonesia. Yang berbeda
mungkin segi publikasi sastra NTT yang sangat minim karena hanya mengandalkan
sejumlah media cetak yang terbit di Provinsi NTT, itupun baru bertumbuh di NTT
sejak tahun 2000-an. Penerbit Nusa Indah di Ende, Flores yang pada tahun
1970-1990 yang cukup gencar menerbitkan buku-buku sastra, sejak tahun 2000
sampai sekarang pengaruhnya mulai meredup.
Dalam
penelusuran saya terhadap sejarah sastra NTT, ditemukan sastra NTT lahir pada
tahun 1961, tiga tahun setelah Provinsi NTT terbentuk tahun 1958. Sastra NTT
lahir terhitung sejak orang NTT yang pertama kali menulis karya sastra dalam
bahasa Indonesia dan dipublikasikan untuk masyarakat umum. Lewat penelusuran
atas berbagai data dan informasi yang
ada, saya temukan orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastra
untuk masyarakat umum adalah Gerson Poyk.
Data otentik karya sastra Gerson Poyk yang saya temukan sebagai karya sastra awal beliau adalah cerita pendek, berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” dimuat dalam majalah Sastra (edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961) dan mendapat hadiah dari majalah Sastra sebagai cerpen terbaik pada tahun 1961 itu. Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang khusus menerbitkan karya-karya sastra, terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin H.B. Jassin dan M. Balfas.
Setelah Gerson Poyk merintisnya tahun 1961, muncul kemudian nama-nama sastrawan NTT lain, seperti Julius Sijaranamual, Dami N. Toda, A.G. Hadzarmawit Netti, Umbu Landu Paranggi, John Dami Mukese, Usman D. Ganggang, Maria Matildis Banda, dan sejumlah nama baru lain. Hasil penelusuran saya terhadap perkembangan sastra dan sastrawan NTT telah terhimpun dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT yang diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012.Saya bersyukur, pada tahun 2014, buku ini menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif bagi dosen perguruan tinggi yang diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI melalui SK Nomor 1982/E5.4/HP/2014, tertanggal 23 Juni 2014.
***
Dalam penelusuran
saya, sejak tahun 1961 sampai tahun 2010 pertumbuhan dan perkembangan sastra
NTT biasa-biasa saja, nama-nama sastrawan yang disebut adalah nama-nama lama.
Saya mencatat, awal kebangkitan sastra dan sastrawan NTT terhitung sejak tahun
2011.
Ada
sejumlah indikator yang menunjukkan tahun 2011 sebagai tahun kebangkitan sastra
dan sastrawan NTT. Pertama, jumlah
penerbitan buku sastra NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah buku sastra
tahun-tahun sebelumnya, bahkan setelah tahun 1961. Kedua, jumlah artikel opini sastra (esai dan kritik sastra) di
media cetak NTT tahun 2011 jauh melampaui jumlah artikel opini sastra
tahun-tahun sebelumnya. Ketiga,
jumlah cerpen dan puisi yang dimuat dalam sejumlah media cetak (harian) yang
terbit di NTT terutama edisi hari Minggu jauh lebih banyak dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Adapun sejumlah media cetak di NTT yang berjasa
membangkitkan sastra NTT sejak tahun 2000 dan menguat pada tahun 2011 adalah Pos Kupang (Kelompok Kompas-Gramedia), Timor Express (Grup Jawa Pos), Victory
News (Media Grup), danFlores Pos
(milik SVD) terbit di Ende, Flores.
Kebangkitan sastra
NTT terus berlanjut pada tahun 2012 dan 2013 dengan tiga indikator di atas. Pada tahun
2013 jatidiri sastra NTT dan sastrawan NTT
terbentuk dan terkonsolidasi. Terkonsolidasinya sastra dan sastrawan NTT
ini berkat terobosan besar Kantor Bahasa Provinsi NTT (instansi vertikal Pusat Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) pimpinan M. Luthfi Baihaqi.
Pada
30-31 Oktober 2013 Kantor Bahasa NTT menyelenggarakan hajatan besar yang
bermartabat dengan namaTemu 1 Sastrawan NTT. Lebih dari 40 sastrawan NTT
mengikuti pertemuanini. Inilah pertama kalinya sebagian sastrawan NTT bertemu,
berdiskusi, membagi pengalaman, saling meneguhkan,
dan menyatukan tekad bersama membangun sastra NTT kedepan yang lebih baik.
Empat judul buku antologi sastra karya para sastrawan NTT peserta pertemuan diluncurkan.
Ada kesepakatan dan rekomendasi yang dihasilkan,
termasuk kesepakatan untuk menyelenggarakan temu sastrawan NTT
secara berkala sekali dalam dua tahun, dan tahun 2015 berlangsung di Kota
Ende untuk Temu 2 Sastrawan NTT, dengan penyelenggara Kantor Bahasa NTT
bersama Universitas Flores.
Kehidupansastra
NTT yang terus semarak dapat juga terlihat dalam kegiatan sejumlah komunitas sastra di
NTT. Dapat disebutkan, di antaranya komunitas sastra Dusun Flobamora, Rumah Poetika,
komunitas Filokalia SantuMikhael, Laskar Sastra, Uma Kreatif Inspirasi Mezra,
Amsal Putih, Teater Engkel Universitas PGRI, komunitas Sandal Jepit di Ledalero,
komunitas Timur Matahari di Adonara, Komunitas Saredan Komunitas Puisi Jelata,
keduanya di Ende. Komunitas intelektual, seperti Forum Academia NTT (FAN)
dan Komunitas Blogger Flobamora juga memberikan kontribusi besar dalam memajukan sastra
NTT. Dalam beberapa tahun terakhir ini sastra NTT memasuki berbagai kampus PT di NTT.
Dalam buku Mengenal
Sastra dan Sastrawan NTT (2012) saya membuat semacam periodisasi sederhana
sejarah sastra NTT. Saya membuatnya berdasarkan usia para sastrawan yang dapat dilihat dari tanggal dan tahun kelahiran
sastrawan tersebut. Dalam menyusun periodisasi sastra NTT, saya berpangkal
tolak pada tanggal dan tahun kelahiran sastrawan Gerson Poyk, sang perintis
sastra NTT, yakni tahun 1931. Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931. Memilih
tahun 1931 sebagai pangkal tolak periodisasi sejarah sastra NTT sebagai bentuk rasa
hormat dan penghargaan kepada Gerson Poyk yang berjasa mengangkat citra NTT
dalam panggung sastra Indonesia.
Dalam melakukan pengelompokan terhadap para
sastrawan, tinggal diurutkan nama-nama sastrawan NTT itu berdasarkan usia atau
umur sastrawan. Dimulai dari yang berusia tua sekali (sangat senior), yang
sudah tua (senior), sampai dengan yang masih muda (yunior). Dalam
pengelompokan sastrawan atau periodisasi sastra secara sederhana ini, saya
memilih istilah “lapis,” sehingga menjadiSastrawan
NTT Lapis Pertama (lahir tahun 1931-1950), Sastrawan NTT Lapis Kedua (lahir tahun 1951-1970), Sastrawan NTT Lapis Ketiga (lahir tahun
1971-1990), Sastrawan NTT Lapis Keempat
(lahir tahun 1991-2010), dan seterusnya.
Dalam
usia sastra NTT yang ke-53 tahun pada akhir tahun 2014, sastrawan-sastrawan NTT
telah mempersembahkan 122 judul buku sastra untuk masyarakat Indonesia dan
masyarakat dunia. Adapun perinciannya, 51 judul buku novel, 34 judul buku
kumpulan cerpen, dan 37 judul buku kumpulan puisi.Sastrawan NTT yang paling
poduktif dan berkarya sastra selama 53 tahun sampai dengan akhir 2014 adalah
Gerson Poyk. Yang sedikit mengikuti jejak produktivitas Gerson Poyk adalah
Maria Matildis Banda, John Dami Mukese, dan Mezra E. Pellondou.
Dilihat
dari segi kreativitas dan produktivitas sebagai produk budaya intelektual
masyarakat NTT yang beragam dan multikultural dengan jumlah penduduk lebih dari
4 juta orang pada akhir tahun 2014, dalam rentang jangka waktu selama 53 tahun,
angka 122 judul buku sastra yang dihasilkan para sastrawan NTT ini, belum
berarti apa-apa. Apalagi, sebagian buku
sastra NTT ini pada saat ini sulit ditemukan di pasaran buku, karena tidak
dicetak ulang oleh penerbit maupun pengarangnya. *
Daftar Pustaka
Esten, Mursal. 1988. Sastra
Jalur Kedua, Sebuah Pengantar. Padang: Angkasa Raya.
Pitono, Djoko (Editor). 2007. Bahasa,
Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.
Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal
Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat
dan Sastra Indonesia. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. 1983. Pengantar
Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress.
YOHANES SEHANDI
Lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Manggarai, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dosen tetap di Universitas Flores (Uniflor) Ende. Menulis buku, antara lain (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012); (2) Mengenal 25 Teori Sastra (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014); (3); dan (3) Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Penerbit Widya Sasri, Salatiga, 2013, Cetekan ke-2, 2014).
(Telah dimuat majalah sastra Horison, terbitan Jakarta, Edisi Tahun XLIX, No. 4/2015, April 2015)
Post a Comment for "Sastra Indonesia Warna Daerah NTT"