Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi-Puisi Jelata John Dami Mukese

Takhta raja adalah rakyat
Mahkota rakyat adalah raja
Tapi waktu raja jadi takhta
Rakyat pun kehilangan mahkota
Oh, rakyat jelata
Betulkah ditakdir tanpa mahkota?
 
(John Dami Mukese)
 
Niat untuk ”berhenti sebagai rakyat,” tentu saja bukanlah niat semua orang. Anda sebagai pembaca judul dan isi karangan ini, tentu saja bisa mengambil posisi sebagai apa, termasuk orang yang ingin berhenti sebagai rakyat atau tetap sebagai rakyat.

Keinginan yang aneh dan nyentrik ini bisa dipastikan hanya keinginan segelintir orang. Keinginan ini tentu bukan tanpa berdasar. Karena jabatannya sebagai ”rakyat” membuat ia merasa dirinya bukan lagi sebagai manusia yang wajar. Mengapa? Karena beban hidup yang dideritanya: kemiskinan, kemelaratan, kesengsaraan, keresahan, kebodohan, ketidakpastian, dan sejumlah ”ke-an” yang lain yang semuanya tidak menyenangkan.

Kelompok rakyat yang hidupnya diwarnai oleh penderitaan dan kemelaratan ini dalam pergaulan masyarakat umum dinamakan sebagai ”rakyat jelata.” Selain rakyat jelata, sebutan lain untuk kelompok ini adalah rakyat kecil, wong cilik, kaum pinggiran, kaum melarat, atau kaum tertindas.

Tema ”kejelataan” beserta hal-hal yang mewarnai hidup kaum melarat inilah yang diangkat oleh penyair John Dami Mukese lewat karyanya Puisi-Puisi Jelata (1991). Tema ”kejelataan” ini adalah salah satu tema dalam kumpulan puisi Puisi-Puisi Jelata (tebal buku 111 halaman). Karya ini merupakan kumpulan puisi John Dami Mkese yang kedua setelah Doa-Doa Semesta (cetatak I, 1983, cetakan II, 1989). Kedua kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores, NTT.

Tema Kejelataan

Ditinjau dari sudut tema, kumpulan pusisi Puisi-Puisi Jelata ini tidak terlalu jauh berbeda dengan Doa-Doa Semesta. Tema yang dimaksudkan adalah tema kemelaratan dan penderitaan, lahir dan batin, dari rakyat jelata.

Para pembaca budiman, tidak sulit merumuskan kriteria masyarakat miskin ini.  Untuk lingkup Provinsi NTT khususnya, bangsa Indonesia umumnya, sebagian besar masyarakat kita termasuk masyarakat miskin, bahkan sebagian  di bawah garis kemiskinan. Di mana-mana, kelompok ini mendominasi masyarakat.

Selanjutnya, teknik penyajian tema kejelataan pun antara Puisi-Puisi Jelata dan Doa-Doa Semesta, tidak jauh berbeda: disajikan dalam bentuk doa, keluhan, rintihan, dan sesekali mengumpat! Nada berontak, hampir tidak ditemukan dalam kedua karya penyair yang sehari-harinya bekerja sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi SKM Dian, sebuah surat kabar mingguan yang terbit di Ende, Flores, NTT. Penyair ini  juga adalah seorang pastor (imam) dalam Serikat Sabda Allah (SVD).

Salah satu perbedaan kedua kumpulan puisi ini, menurut hemat saya, adalah: kumpulan Puisi-Puisi Jelata lebih secara eksplisit menggambarkan perilaku dan sejumlah ”mimpi” kaum jelata untuk ”berhenti sebagai rakyat.” Dalam Doa-Doa Semesta tidak secara eksplisit perilaku kejelataan dan mimpi aneh kaum ini. Tentu ini adalah mimpi-mimpi yang aneh dan nyentrik, tetapi sungguh manusiawi!

Ada sejumlah tokoh dalam kumpulan puisi Puisi-Puisi Jelata ini yang dijadikan penyair John Dami Mukese sebagai orang yang mewakili orang-orang jelata yang melarat dan tertindas. Suara dan denyut jantung mereka terekam lewat tokoh-tokoh yang ditampilkan.

Doa Sesama Jelata

Tokoh jelata pertama yang ditampilkan penyair adalah tokoh ”aku.” Tokoh ”aku” tentu tidak harus penyairnya sendiri. Tokoh ”aku” ini adalah seorang rakyat jelata tulen, tetapi ia mempunyai ”kepedulian” yang sangat tinggi terhadap sesama jelatanya. Apa yang dibuat tokoh si ”aku” ini? Ia berdoa, berdoa, dan terus berdoa, untuk sesamanya yang menderita dan melarat.

Lewat puisi ”Doa Kaum Jelata” (hlm.10-12), tokoh ”aku” ini tampil ke permukaan: /Saudaraku, kuharap kau dengar doaku malam tadi/Bukan lewat toa gempita menara mesjid/Atau lantang genta katedral berdentangan/Tapi lewat suara nafasku jelata/Ditingkah angin malam diam resah/Meredam deritamu membahana di langit gulita/.

Apa yang diharapkan tokoh ”aku” lewat doanya? Ia menyadarkan sesama kaum jelatanya bahwa: derita kita, bukanlah kerabat karya seni, derita kita bukan pula sahabat para pertapa, tangis kita rakyat jelata bukan sebuah lagu seriosa, bencana kita bukan sebuah balada, dan kejelataan kita bukan sejenis mode mutakhir. Lantas, seperti apa?

Saudaraku, kata si ”aku”: /Derita kita adalah luka zaman dahulu/Setiap masa infeksi dengan tetesan darah terharu/. Atau: /Bencana dan tangis kita adalah dosa masa silam/Setiap kali terulang dengan citra kian kelam/. Atau pula: /Miskin dan jelata adalah dua bersaudara kembar/Satu rahimnya, satu pula dunianya/. Itulah tokoh si ”aku” yang ditampilkan penyair, tokoh yang terus prihatin dalam doa, akan nasib kaumnya yang kian  merana dan kelam.

Berhenti sebagai Rakyat

Tokoh jelata kedua yang mewakili kaum pinggiran ini adalah tokoh ”bapa.” Tokoh ini ditampilkan penyair John Dami Mukese dalam puisi yang berjudul ”Puisi-Puisi Jelata” (hlm. 19-20). Tokoh ”bapa” yang kehilangan raja/mahkota ini, suatu ketika, entah karena apa, ia mau ”berhenti sebagai rakyat!”

Apa kata orang tua yang melarat ini? Penyair melukiskannya seperti ini. /Aku pernah bermimpi/minta berhenti sebagai rakyat/Tapi waktu aku hendak bersuara/putra-putriku minta bicara:/”Sebelum bapa berhenti menjelata/izinkanlah kami dahulu permisi/dari jabatan kami sebagai manusia”/Tiba-tiba jago berkokok/hari baru sudah mulai/Meterai jelataku kian terpatri/.

Mengapa si jelata tua ini minta berhenti sebagai rakyat? Karena: /Nasib petani serba tak pasti/Dari dahulu ditakdir untuk diperintah/Untung-untungan kalau tidak diinjak/Nasib jelata sukar berubah/.

Dari mulut tokoh ”bapa” ini pula kita dikejutkan oleh sindirannya yang menusuk hati. Penyair John Dami Mukese melukiskannya dengan sangat bagus. /Rakyat adalah tulang punggung negara/Sungguh sedap di gendang telinga/Tapi perihnya jabatan ini, saudaraku!/Hanya kekerasan yang kau pikul/Hanya derita yang kau sandang/ Kenikmatan siapa yang kecap?/Bukan kau tentunya!/Lantas apa yang kau banggakan?/.

Ingin Jadi Manusia

Tokoh jelata yang ketiga adalah ”Jahur.” Jahur adalah nama orang. Tentu orang ini ”belum tentu” orang Manggarai, sebuah suku di wilayah Flores Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), meskipun di Manggarai banyak sekali orang yang bernama Jahur. Ada apa lagi dengan si Jahur ini?

Para pembaca budiman, jangan kaget! Tokoh Jahir ini pernah bermimpi. (Orang melarat rupanya suka tidur, sehingga sering bermimpi). Mimpi tokoh yang satu ini tidak tanggung-tanggung: ingin menjadi seorang manusia! Memangnya Jahur bukan manusia? Ikuti pelukisan penyair kelahiran Manggarai, Flores, NTT (24 Maret 1950) tentang si Jahur ini lewat puisi ”Menjadi Manusia” (hlm. 21). /Di pantai ini Jahur bermimpi/Mimpi menjadi seorang manusia/Tapi Jahur sesungguhnya manusia/Lahir dari seorang wanita/Berasal dari seorang pria/Hanya ia merasa bukan manusia/Lantaran hidupnya terlampau kejam/Rakyat jelata, ia. Ya, rakyat jelata!/Memang ditakdirkan untuk diperintah/.  

Kata Akhir

Demikianlah ulasan singkat saya atas kumpulan Puisi-Puisi Jelata karya penyair John Dami Mukese. Ulasan ini mungkin saja dinilai ”timpang” oleh penyairnya sendiri atau oleh para pembaca budiman, karena seakan-akan tema ”kejelataan” saja yang ditampilkan dalam kumpulan puisi ini.

Memang tema kumpulan puisi ini cukup beragam, namun saya hanya mengulas tema tersebut. Paling kurang ada dua alasan. Pertama, saya belum bisa atau tidak mampu atau tidak tertarik menguak atau menyelami tema-tema yang lain dalam kumpulan puisi ini. Kedua, menurut hemat saya, sampai dengan saat ini (1992) penyair ini jauh lebih berhasil menggarap tema kemiskinan atau kemelaratan daripada tema-tema yang lain, entah untuk masa-masa yang akan datang. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia

(Telah dimuat dalam Surat Kabar Mingguan Dian, terbitan Ende, pada edisi 10 April 1992)         

 

 

 



Post a Comment for "Puisi-Puisi Jelata John Dami Mukese"