Mengenang Ir. Vitalis Djuang, Guruku di SPP/SPMA Boawae, Flores
Flores Pos edisi Rabu (11/8/2010) membawa berita duka untuk masyarakat NTT/Flores: Ir. Vitalis Djuang Tutup Usia. Almarhum adalah seorang tokoh pendidikan, pertanian, sosial-politik, dan agama. Meninggal dunia hari Senin (9/8) di RSUD Bajawa, dalam usia 75 tahun. Kolom berita Flores Pos tentu terlalu sedikit/kecil untuk membeberkan semua jasa beliau di bidang keahlian/keunggulannya, yakni bidang pendidikan dan pertanian. Jasa almarhum terlalu banyak.
Banyak sekali orang yang berduka dengan “kepergian” tokoh pendiri dan peletak dasar pendidikan pertanian di SPP/SPMA Sint Isidorus, Boawae, Kabupaten Nagekeo ini. Yang berduka mendalam tidak hanya Mama Since Idjo (istri almarhum) dan dua orang anak, beserta keluarga besar, sanak familih, dan sahabat kenalan, juga pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi. Yang juga tidak kalah sedih atas berpulangnya beliau ini adalah ribuan (bahkan bisa belasan ribu) mantan anak didiknya di SPP/SPMA, sejak angkatan pertama tahun 1968 sampai dengan saat ini. Almarhum sendiri menjadi kepala sekolah selama 19 tahun (1968-1987).
Pada waktu membaca berita duka di Flores Pos, sebagai salah seorang anak didik/anak murid beliau (alumnus SPP/SPMA Boawae tamat tahun 1980), pikiran saya menerawang jauh ke belakang lebih dari 30 tahun yang lalu, mengingat kembali masa sekolah dulu bersama Bapak Vitalis Djuang, sang kepala sekolah yang gaya kepemimpinannya membekas. Sejak tamat tahun 1980, saya menyesal tidak pernah ketemu beliau, meski beberapa kali singgah di kompleks SPP/SPMA Boawae.
Pikiran menerawang membayangkan kembali Bapak Vitalis Djuang, menghadirkan kembali sosok ini sebagai tokoh yang cerdas, cekatan, kemauan yang keras, dan teguh. Saya bersama ratusan siswa lain yang berasal dari seluruh pelosok wilayah NTT masuk ke sekolah pertanian ini pada tahun 1977 (angkatan 1977), setelah 9 tahun sekolah ini berdiri oleh para pendiri: Ir. Vitalis Djuang, Pater Dr. Ir. Bernard J. Baack, Pater Dr. Ir. Van Doormal, dan Willy Paul Doy.
Pada waktu kami masuk, pembangunan kompleks sekolah yang berbentuk segi empat ini hampir rampung, tinggal penyempurnaan di beberapa bagian tertentu. Kakak-kakak kelas kami, antara lain Edu Sareng, Anton Tangkur, Yosef Pedo, untuk sekedar sebut beberapa nama, bercerita bahwa mereka kebagian juga ikut membangun kompleks yang cukup megah (pada waktu itu) dengan mengangkut batu, pasir, campur semen, dan lain-lain.
Bertemu pertama kali Bapak Vitalis Djuang, sang kepala sekolah, kami yang baru tamat SMP dan berasal dari pelosok-pelosok desa NTT, rata-rata gugup. Meskipun perawakan beliau kecil tapi tatapan matanya yang tajam, bersih dan bening, sudah cukup membuat kami untuk “menyerah,” dan berpikir berkali-kali untuk berbuat onar, bolos, atau jenis kenakalan yang lain. Beliau memang sosok yang tegas, prinsip, argumentatif, tipikal seorang pendidik dan ilmuwan yang patut ditiru dan diteladani.
Pak Vitalis, demikian beliau biasa disapa, mengajar mata pelajaran Ilmu Tanah, Ilmu Kimia Anorganik, dan Klimatologi (ilmu tentang iklim). Mengajar tidak pernah bawa buku, juga hampir tidak pernah duduk di kursi. Beliau memberi pelajaran sambil berdiri, menatap satu per satu anak murid sekaligus menghafal nama mereka. Langsung menegur kalau ada yang ngantuk atau buat onar. Yang tidak masuk kelas langsung dicek di tempat tidur, karena hampir semua siswa tinggal di asrama yang satu kompleks dengan gedung sekolah.
Selain Pak Vitalis, guru kami yang lain adalah Ir. Thomas Turuk, alumnus IPB Bogor, sosok pendiam, pekerja keras, dan beliaulah wakil kepala sekolah. Hubungan kedua beliau cukup harmonis, hanya kadang terganggu kalau ada soal kecil tengek bengek yang tidak berkaitan dengan masalah pendidikan di sekolah. Seorang guru simpatik yang sangat dekat dengan kami para siswa adalah Pak Yere atau Pak Mias (begitu biasa kami panggil), yang nama lengkapnya Yeremias Misi, B.Sc. (pada waktu itu belum insinyur). Pak Yere alumnus Akademi Farming Semarang, punyai kemampuan luar biasa, mengajar hampir semua mata pelajaran yang berhubungan dengan pertanian, peternakan, dan perikanan. Guru kami yang lain adalah Pak Peter Lamalouk, dan belakangan adalah Ir. Isidorus Due, alumnus Stiper Yogyakarta. Pendamping rohani yang juga total mengabdikan diri untuk para siswa SPP/SPMA adalah Pater Scholte, SVD.
Sekolah di gedung yang mewah dengan ruangan kelas yang representatif tahun 1970-an, laboratorium lengkap, sarana olahraga yang memadai, listrik siang malam, membuat siswa-siswi SPP/SPMA merasa diri bangga dan lebih bergengsi dibandingkan dengan siswa-siswa sekolah setingkat, apalagi berasal dari seluruh kabupaten di NTT. Jadi, ada kelebihan dibanding sekolah yang lain. Satu-satunya sekolah pertanian di NTT pada waktu itu hanya SPP/SPMA Boawae. Sekolah pertanian yang lain hanya ada di Mataram (NTB) dan di Singaraja (Bali). Ujian Tingkat I (ujian naik kelas III) dan Tingkat II (ujian akhir) SPP/SPMA Boawae berasal dari SPP/SPMA Negeri Mataram. Jadi, kami mempunyai dua ijasah, tingkat I dan tingkat II. Rasanya pada waktu itu, SPP/SPMA Boawae seperti NTT Mini saja, hampir semua suku, agama, kebiasaan, logat bahasa bertemu dan bercampur baur di sekolah ini. Keberagaman yang indah itu sangat terasa pada waktu tinggal di asrama, dan ini suatu kenangan yang tak terlupakan.
Nasihat Pak Vitalis yang sampai saat ini sulit untuk kami lupakan adalah: “semua tamatan dari sekolag ini harus membangun pertanian dan jadi petani.” Almarhum tidak bosan-bosan memotivasi anak didiknya untuk jadikan “pertanian” sebagai ladang pengabdian cari hidup sekaligus harga diri seorang tamatan SPP/SPMA. Di mana pun tempat bekerja kelak, apakah sebagai petani, PPL (penyuluh pertanian lapangan), atau pejabat di kantor pertanian, tetaplah “berperilaku” sebagai petani dan “membangun” pertanian sebagai tanggung jawab keilmuan para alumnus.
Almarhum sepertinya memang merasa puas dan bangga kalau para alumnus memilih jadi petani atau PPL, sedangkan yang memilih kuliah di perguruan tinggi adalah kekecualian, kalau merasa punya kemampuan lebih. Maka, pada waktu lulus tahun 1980, beliau tanya kepada saya, “Kau mau jadi petani atau PPL?” “Saya mau kuliah, Bapak, rencananya ke Akademi Farming Semarang” jawab saya sekaligus minta restu. Beliau melihat kesungguhan saya untuk kuliah, dan merestuinya. “Yang penting,” kata beliau sambil menatap mata saya, “habis kuliah, pulang Boawae ya, untuk mengajar di sini,” dan saya menyanggupinya.
Memang pada waktu itu ada beberapa di antara kami yang mau kuliah, antara lain Dismas Bapa dan Morit Meze. Harapan yang tulus dari guruku ini ternyata tidak dapat saya penuhi. Saya kuliah hanya satu bulan di Akademi Farming Semarang, terus tergoda kuliah di perguruan tinggi negeri. Awalnya hanya coba-coba ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (Ujian Perintis) ternyata lulus, ditambah dengan uang kuliah murah, hanya Rp 35.000 per semester, jadilah saya banting stir, dan tidak ada kaitan sedikit pun dengan bidang pertanian. Pindahlah saya kuliah di IKIP Negeri Semarang (kini menjadi Universitas Negeri Semarang), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedikitnya saya merasa bersalah kepada guruku ini, karena tidak sepenuhnya mengikuti saran yang tulus dari beliau.
Seandainya dalam kurung waktu 30 tahun yang berlalu ini saya bertemu beliau, saya tidak tahu lagi, apakah beliau masih ingat janji tahun 1980 itu? Namun, sekitar 3 tahun yang lalu, teman kelas saya di SPP/SPMA dulu bercerita bahwa pada suatu waktu dia bertemu Bapak Vitalis, beliau tahu bahwa salah seorang anak muridnya, Yohanes Sehandi, tidak jadi lanjut kuliah di Akademi Farming, membelok kuliah di bidang ilmu yang lain dan malah kini terjun di dunia politik jadi anggota DPRD NTT. Kata teman saya itu, Pak Vitalis bangga, karena katanya, “Kemana pun Saudara Sehandi bekerja, dia tetap orang pertanian.” Dan beliau benar, pada beberapa tahun lalu, sebagai anggota Dewan NTT saya terlibat dalam kegiatan sosialisasi Rancangan UU tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Kelautan, dan Kehutanan, di Labuan Bajo, yang diikuti oleh para PPL dan utusan dari Dinas Pertanian/Peternakan/Perikanan/Kehutanan. Ternyata sebagian besar peserta (lebih dari 70 %) adalah alumnus SPP/SPMA Boawae. Jadilah pertemuan sosialisasi itu berubah menjadi “reuni kecil” para alumnus SPP/SPMA Boawae. Teman-teman yang sudah bekerja di bidang pertanian itu tetap menganggap saya sebagai “orang perrtanian,” dan saya sungguh menikmatinya dengan penuh kebanggaan sebagai orang pertanian. Bangga sebagai orang pertanian dan bangga sebagai tamatan SPP/SPMA Boawae.
Kini, tokoh besar bidang pertanian, Ir. Vitalis Djuang, yang menanamkan kepada anak-anak muridnya “rasa bangga” sebagai orang pertanian dan bangga sebagai alumnus SPP/SPMA Boawae, kini telah tiada. Kiranya rasa bangga sebagai petani yang Bapak Vitalis tanamkan kepada para muridnya, terus digelorakan oleh para anak muridnya kepada “para petani” di mana pun di seluruh wilayah NTT ini agar banggalah menjadi “petani.” Terima kasih guruku, Ir. Vitalis Djuang. *
Oleh Yohanes Sehandi
Mantan Anggota DPRD NTT 1999-2009, Alumnus SPP/SPMA Boawae
(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada 12 Agustus 2010).
Post a Comment for "Mengenang Ir. Vitalis Djuang, Guruku di SPP/SPMA Boawae, Flores"