Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Lepas Kacamata Setelah 45 Tahun

Saya menggunakan kaca mata selama 45 tahun, karena kedua mata minus, penglihatan kabur. Saya pakai kaca mata sejak awal tahun 1980 pada waktu mulai kuliah di Semarang. Dan mulai lepas kacamata pada hari ini 17 Februari 2025 ini.

Mengapa lama sekali pakai kaca mata? Karena kedua mata saya minus. Makin lama makin bertambah minusnya. Penglihatan kabur. Karena itu harus dibantu dengan kaca mata.

 

Awal tahun 1980 kedua mata saya sudah minus 2. Penglihatan kabur. Setelah pakai kaca mata penglihatan bisa menjadi terang.



 

Karena penggunaan kedua mata saya sangat tinggi karena gemar membaca, minus kedua mata saya terus bertambah dari tahun ke tahun.

 

Sekitar 20 tahun (1980-2000) intensitas penggunaan mata saya sangat tinggi untuk membaca dan menulis. Selama kurun waktu itu adalah masa-masa sangat produktif saya di bidang tulis-menulis.

 

Era tahun 1980-2000 adalah era keemasan media massa cetak di Indonesia, seperti surat kabar harian, mingguan, dua mingguan, dan bulanan. Honor menulis di media massa cetak pada era itu sangat menggiurkan.

 

Berkat menulis di media massa, semua kebutuhan uang kuliah, sewa kos, dan makan minum setiap hari waktu itu dari hasil menulis di media massa cetak. Bahkan kedua orang tua saya di kampung sempat khawatir. Jangan sampai saya gagal kuliah karena selama kuliah saya tidak pernah minta uang. Mereka tidak tahu karena saya cari uang sendiri untuk biaya kuliah dengan menulis.

 

Setelah selesai kuliah, honorarium tulisan di media massa pun terus berdatangan. Honor-honor itu saya gunakan untuk membeli buku baru. Lebih dari seribu judul buku baru saya beli dari hasil menulis di koran.

 

Resiko besar dari gemar membaca dan menulis ada pada mata. Minus kedua mata saya terus bertambah dari tahun ke tahun. Hampir setiap tahun ganti kaca mata.

 

Meskipun pakai kaca mata, tetapi karena minus tinggi, penglihatan kedua mata terus menurun dan semakin kabur. Saya sudah merasa terganggu dengan kegemaran saya membaca dan menulis. Apa lagi saya masuk kampus tahun 2010 sebagai dosen di Universitas Flores. Di kampus tuntutan kegiatan membaca dan menulis tinggi karena sebagai keharusan akademik. Yang tanggung resiko dari semuanya itu tidak lain dan tidak bukan adalah mata saya. Itulah resiko yang harus diterima.

 

Puncak kekaburan kedua mata saya terasa pada awal tahun 2023, dua tahun lalu. Kalau lepas kaca mata saya tidak bisa lihat orang. Saya beri kuliah setiap hari tanpa melihat dengan jelas muka para mahasiswa. Pada waktu itu saya sudah merasa bahwa kedua mata saya sudah menjadi beban hidup saya untuk selanjutnya. Sebuah kecemasan tersendiri.

 

Pada awal 2023 itu, Dokter Spesialis Mata, yakni dr. Baltasar Bimo Bisara, Sp.M, dari Klinik Mata dr. Johanes Don Bosco Do, Ende, yang memeriksa mata saya, menemukan, minus kedua mata saya sangat tinggi. Mata kiri minus 10, mata kanan minus 7,5. Dokter Bimo juga menemukan ada indikasi keretakan-keretakan retina pada mata saya.

 

Bagaimana solusinya, Dok? Tanya saya. Bapak harus kurangi aktivitas membaca. Tidak ada solusi lain, kata dr. Bimo. Sejak awal 2023 itulah kinerja saya di bidang tulis-menulis menurun drastis. Saya sudah jarang menulis artikel untuk jurnal. Juga jarang menulis di media sosial. Sekitar 30-an judul buku baru yang saya beli dan dikirim oleh teman-teman penulis, belum bisa saya baca.

 

Pada bulan Oktober 2024 saya periksa lagi ke dr. Bimo di Klinik Mata dr. Johanes Don Bosco Do, di Jln. Banteng, Ende. Siapa tahu minus kedua mata menurun.

 

Dokter Bimo menemukan, di samping kedua mata saya minusnya tidak berkurang, kedua mata saya terkena dan tertutup katarak. Ini temuan baru.

 

Mata kiri Bapak sudah tertutup katarak 100 %, kata dr. Bimo. Sedangkan mata kanan, sudah tertutup katarak 35 %, sisanya 65 % yang bisa Bapak gunakan untuk melihat. Saya merasa hidup saya selanjut bakal tidak menentu. Saya merasa sedih sekali sekaligus beban.

 

Satu-satunya solusi adalah operasi mata, kata dr. Bimo yang adalah anak kedua dr. Don Bosco Do. Karena Oktober dan November waktu itu masih padat kuliah semester ganjil di Uniflor, maka operasi mata kiri dilakukan pada waktu liburan, yakni pada 17 Desember 2024. Pada waktu perban mata dilepas awal Januari 2025, mata kiri saya terang benderang. Wou, senangnya luar biasa.

 

Pada 23 Januari 2025 dilanjutkan operasi mata kanan. Pada awal Februari 2025 perban mata dilepas. Mata kanan saya juga terang benderang. Duh, Tuhan, syukur kepada-Mu. Terasa seperti kelahiran baru, setelah 45 tahun menanggung beban karena mata minus.

 

Pada tanggal 15 Februari 2025, dua hari lalu, saya mengikuti pemeriksaan final kedua mata saya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, mata kiri dari minus 10 turun menjadi 0,75. Mata kanan, dari minus 7,5 menjadi plus 2. Ada beda antara kedua mata. Meskipun beda, kedua mata saya tetang benderang. Luar biasa. Untuk pertama kali saya merasa mata saya terang benderang sebelum 45 tahun yang lalu.

 

Menurut dr. Bimo, kedua mata saya sudah aman. Penglihatan sudah stabil. Tidak perlu pakai kaca mata, tidak apa-apa. Tidak masalah, kata dr. Bimo dengan ramah dan tidak banyak orang. Beda dengan Bapanya, dr. Don Bosco Do yang banyak omong dan omongannya menarik. Maklum, di samping sebagai dokter, dr. Don Bosco juga sebagai politisi.

 

Saya merasa sungguh besar berkat Tuhan lewat penglihatan saya yang sudah normal ini. Inilah hadiah besar Tuhan untuk saya pada usia 65 tahun pada 2025 ini. Lewat tangan dr. Baltasar Bimo Bisara, Sp.M. Terima kasih banyak dr. Bimo. Semoga Tuhan memberkatimu.

 

Siapakah dr. Bimo yang operasi mata saya? Dia adalah anak kedua dari dr. Johanes Don Bosco Do, M.Kes., Bupati Nagekeo periode 2019-2024 yang punyai klinik mata ini.

 

Keluarga dr. Johanes Don Bosco Do ini boleh dikatakan Keluarga Dinasti Kedokteran. Dr. Don Bosco Do adalah Dokter Umum. Istrinya Dokter Spesialis Mata, yakni dr. Yayik Pawitra Gati, Sp. M. Anak kedua adalah dr. Baltasar Bimo Bisara, Sp.M. yang bekerja di klinik mata ini. Anak ketiga adalah Dokter Hewan, yakni drh. Donata Asta Netunisa, M.Si. bekerja di Surabaya. Anak pertama Dionisius Laksmana Bisara adalah seorang jurnalis media besar di Jakarta. Menurut saya, keluarga dr. Don Bosco ini termasuk keluarga terberkati.

 

Keluarga dr. Don Bosco Do inilah yang mendirikan Klinik Johanes Don Bosco Do di Jln. Banteng, Ende. Ini satu-satunya klinik mata swasta di daratan Flores dan Lembata.

 

Klinik ini sangat besar dan megah. Bersih. Pelayanan bagus dan profesional. Pasien banyak. Buka pagi dan sore. Sudah kerja sama dengan BPJS. Jadi, aman bagi pasien dari kalangan manapun. *

 

Ende, 17 Februari 2025

(Yohanes Sehandi)

 

Catatan:

Tulisan ini di samping sudah dimuat dalam Facebook Yohanes Sehandi pada 17 Februari 2025, juga dimuat dalam media online OKEBAJO.com pada 18 Februari 2025 (https://okebajo.com/2025/02/18/lepas-kaca-mata-setelah-45-tahun/

Post a Comment for "Lepas Kacamata Setelah 45 Tahun"