Suanggi dan Ilmu Hitam Versi Orang NTT
Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende
Catatan:
Tulisan
pendek ini merupakan bagian dari artikel panjang saya yang berjudul “Fenomena
Suanggi dan Ilmu Hitam di Nusa Tenggara Timur, Antara Aset Budaya dan Sumber
Malapetaka.” Artikel hasil penelitian kualitatif ini sudah dimuat dalam buku Sastra
Horor (2024) yang tebalnya 1.044 halaman.
Terdapat pada buku halaman 557-575.
Editor buku Novi Anoegrajekti, dkk. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, kerja sama
dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) Pusat.
Karena keberadaannya antara ada dan tiada, jadilah suanggi dan ilmu hitam itu jadi bahan gosipan, dari mulut ke mulut, dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Karena menjadi bahan gosipan yang momok dan menakutkan, jadilah suanggi dan ilmu hitam menjadi sebuah fenomena, yakni fenomena sosial dan budaya yang terus diperguncingkan. Sampai kapan berakhir? Entahlah.
Dalam masyarakat pedesaan di NTT, seseorang bisa saja dituduh atau dituding sebagai suanggi, meskipun susah untuk dibuktikan. Saling menuduh dan menuding dalam masyarakat bisa berakibat pada percekcokan, perkelahian, fitnah, dan pencemaran nama baik.
Ada tiga sumber informasi tentang fenomena suanggi dan ilmu hitam di NTT sebagai objek penelitian. Pertama, lewat tuturan atau cerita masyarakat di daerah-daerah, terutama masyarakat pedesaan yang terpencil. Cerita-cerita itu tersebar dalam bentuk gosip dari mulut ke mulut dan sedikit rahasia, karena takut diketahui oleh si suanggi yang diperguncingkan. Kalau sampai diketahui, maka penyebar cerita akan menjadi sasaran empuk perburuan suanggi. Akibatnya bisa fatal bagi penyebar.
Kedua, lewat berita di berbagai media massa, baik media cetak maupun media online. Berita tengang suanggi dan ilmu hitam sering muncul ke permukaan di NTT karena sering terjadi kasus tindak pidana penghilangan nyawa orang atau kasus pencemaran nama baik. Sering terjadi di NTT seseorang bisa dikeroyok bahkan dibunuh karena dituduh suanggi.
Ketiga, lewat karya sastra, baik karya sastra lama (lisan) maupun karya sastra modern (tulis). Karya sastra lama berupa cerita rakyat (folklore), seperti dongeng, mite, sage, legenda, dan sejumlah genre cerita rakyat yang lain. Karya sastra modern berupa cerita pendek (cerpen). Sampai sejauh ini, baru cerpen yang banyak mengangkat tema suanggi dan ilmu hitam. Karya sastra novel belum ditemukan.
Apa Itu Suanggi dan Ilmu Hitam?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, Edisi V, 2016), kata suanggi (magician) sinonim dengan kata swanggi atau suangi, yakni hantu jahat atau dukun yang bekerja dengan pertolongan orang halus. Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, suanggi merupakan nama atau sebutan yang sangat terkenal sekaligus menakutkan bagi masyarakat di Indonesia Timur.
Dalam masyarakat NTT, sebutan untuk suanggi dalam bahasa daerah bermacam-macam. Misalnya, orang Manggarai di Flores Barat menyebut suanggi dengan nama mbeko daat (dukun jahat) atau ata rasung (tukang santet). Orang Ende di Flores Tengah menyebutnya dengan nama ata polo (orang jahat). Orang Belu di Timor (perbatasan dengan Timor Leste) menyebutnya alaut (dukun santet).
Sedangkan ilmu hitam menurut orang NTT adalah kekuatan gaib atau supranatural berupa mantra yang dimiliki suanggi yang diyakini bisa mencelakakan bahkan membunuh orang yang tidak disukai.
Nama lain untuk ilmu hitam (black magic) adalah santet, sihir, tenung atau teluh. Sebutan ilmu hitam dalam bahasa-bahasa daerah di NTT bermacam-macam. Orang Manggarai menyebutnya rasung atau janto. Orang Ende menyebutnya leu-leu. Orang Flores Timur menyebutnya panta mera. Orang Sumba dan Timor menyebutnya jampi-jampi atau guna-guna.
Penampakan suanggi yang bermata merah. Sumber: Kompasiana.com
Dalam opininya berjudul “Suanggi, Magic Ala Pulau Rote,” yang dimuat dalam media Dakwatuna.com, pada 2 Maret 2015, Darso Arief Bakuama, menyatakan bahwa secara kasat mata ciri seseorang yang patut diduga suanggi terlihat pada bola matanya yang merah, badannya kurus, pakaiannya kotor dan kumuh karena jarang mandi, bermuka kusam pekat, dan tidak suka bergaul. Sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi.
Dalam
keadaan normal terkadang suanggi tidak bisa dilihat dengan mata normal orang
awam. Pada waktu melaksanakan aksinya, suanggi terkadang hanya bisa dilihat
oleh orang yang berilmu yang disebut orang bermata terang. Dalam penglihatan
orang mata terang itu, ciri-ciri seorang suanggi matanya merah, telinga besar dan
bercabang, badannya seperti manusia, tetapi berkepala binatang.
Pada waktu mencari korbannya, si suanggi
menari-nari tanpa busana alias telanjang di tengah malam saat bulan purnama. Mereka
bisa lakukan sendiri-sendiri bisa pula bersama-sama. Mereka juga bisa menari di
jalan raya atau di tanah lapang. Orang awam tidak bisa melihat suanggi yang
sedang menari telanjang, kecuali orang awam itu ikut telanjang.
Orang awam yang telanjang dapat memergoki
suanggi telanjang yang sedang menari. Namun karena rasa takut yang besar, orang
awam itu akan lari menghindar karena kalau ketahuan akan dikejar suanggi sampai
dapat. Kalau sampai dapat, maka bisa menjadi fatal, misalnya bisa sakit atau
mati mendadak. Gejalah sakit karena suanggi aneh-aneh, tidak seperti sakit
medis pada umumnya.
Kekuatan
Magis Ilmu Hitam
Senjata pamungkas seorang suanggi adalah ilmu hitam berupa mantra yang mempunyai kekuatan gaib (magic). Mantra adalah sejenis puisi purba/kuno yang penuh dengan permainan bunyi, rima dan irama. Sejumlah puisi penyair Sutarji Calzoum Bakhri disusun seperti mantra. Perhatikan puisi-puisi Sutarji dalam buku O Amuk Kapak (1981).
Pada waktu menjalankan aksinya, roh atau jiwa si suanggi bisa masuk ke dalam tubuh binatang sehingga kemunculannya bisa dalam bentuk kucing, anjing, ular, kupu-kupu, kalajengking, dan burung hantu. Terkadang pula roh atau jiwa suanggi masuk dalam tubuh manusia lain sehingga orang tersebut bisa kesurupan yang kalau ditanya suaranya mirip suara si suanggi.
Dengan kekuatan magis ilmu hitamnya, suanggi juga bisa berubah bentuk menjadi bola lampu pijar sebesar biji kelereng. Bola lampu pijar itu dapat melayang-layang pada waktu mencari korbannya. Begitu menjadi bola lampu pijar, suanggi bisa terbang dengan jarak yang cukup jauh mencari korbannya, bahkan bisa terbang antara desa, bahkan antara pulau.
Menurut berita beberapa surat kabar di NTT, pada tahun 2003 dan 2017, puluhan suanggi dari Pulau Alor terbang ke China dan Vietnam mengikuti Kongres Internasional Suanggi. Mereka berangkat dari Alor dengan mengubah bentuk menjadi bola lampu pijar sebesar biji kelereng. Diberitakan, ada beberapa suanggi Alor yang sepulang Kongres Internasional di China dan Vietnam dan kembali ke Alor jatuh terjerembab di tanah karena tersangkut tower Telkomsel dan gedung bertingkat di Alor.
Dalam menjalankan aksinya, suanggi mengirimkan ke calon korbannya lewat binatang yang sudah diberi mantra (ilmu hitam) ke rumah korban, antara lain tanah kuburan yang masih basah, telur ayam yang kalau dipegang masih panas. Bisa juga dalam bentuk jarum dan silet yang dililiti benang merah dan hitam. Kalau terkena barang-barang kiriman ini, korbannya bisa secara mendadak sakit pada bagian perut, dada, kepala disertai jeritan yang aneh.
Penyakit yang diakibatkan oleh kekuatan
magis ilmu hitam tidak bisa dideteksi secara medis oleh dokter, tetapi sakitnya
dirasakan oleh pasien. Gejalah sakitnya juga aneh-aneh. Kalau ada gejalah sakit
yang aneh-aneh, biasanya masyarakat setempat langsung memvonis itu terkena ilmu
hitam. Kalau terkena ilmu hitam, menurut mereka, tidak perlu dibawa ke dokter, tetapi dibawa
ke dukun atau ke suanggi senior yang ilmunya lebih tinggi. *
Post a Comment for "Suanggi dan Ilmu Hitam Versi Orang NTT"