Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kritik Sastra Trikotomi Analisis Semiotik Narudin

 
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

Salah satu kritikus sastra Indonesia mutakhir yang cukup produktif dan menonjol di panggung sastra nasional Indonesia adalah Narudin. Karya kritiknya tersebar di berbagai media cetak dan media online. Narudin juga sudah menerbitkan beberapa judul buku kumpulan esai dan kritik sastra.

Tulisan ini adalah resensi atau telaah kritis atas buku kumpulan esai dan kritik sastra Narudin yang terbaru berjudul Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023). Diterbitkan oleh Penerbit Mahara Publising, Tangerang. Tebal ebal 418 halaman.         

Gaya kritik Narudin khas. Dia berusaha untuk tidak meniru atau mengikuti gaya kritik sastra pada era-era sebelumnya. Gaya kritik Narudin berbeda jauh dari gaya kritik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada era tahun 1930-an. STA adalah perintis penulisan esai dan kritik sastra di Indonesia lewat majalah Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe.

Gaya kritik Narudin berbeda dengan gaya kritik H.B. Jassin pada era tahun 1940-an sampai 1960-an. Gaya kritik Narudin berbeda pula dengan gaya kritik Aliran Rawamangun pada era tahun 1970-an sampai 1980-an yang dimotori sejumlah dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI), antara lain M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Saleh Saad, Boen Sri Oemarjati, Dami N. Toda, dan kawan-kawan.

Gaya kritik Narudin berbeda pula dengan gaya kritik para kritikus sastra pada era tahun 1990-an sampai 2000-an, baik berasal dari FS-UI, maupun dari berbagai kampus di Indonesia, antara lain Mursal Esten, Ajib Rosidi, Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono, Rachmat Djoko Pradopo, Budi Darma, Jakob Sumardjo, Ignas Kleden, Maman S. Mahayana, dan lain-lain.

Narudin membangun gaya kritik sastranya dengan berpegang teguh pada konsep dan prinsip teori kritik sastra dari Barat yang diyakininya sebagai kritik sastra yang rasional dan proporsional. Dengan sadar Narudin menggunakan teori-teori sastra kontemporer dari Barat itu yang mengandalkan rasionalitas berdasarkan teori-teori sastra itu.

Kekhasan gaya kritik Narudin ini akhirnya menjelma menjadi “gaya kritik Narudin.” Narudin secara konsisten mengkritik karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi, dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dari Charles Sanders Peirce yang unsurnya terdiri atas ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas.           

Ikonisitas adalah kemiripan tanda. Ikonisitas terdiri atas (1) ikonisitas bentuk atau gambar berupa lukisan atau sketsa (topologis); (2) ikonisitas struktural (kata-kata); dan (3) ikonisitas metaforis (kiasan). Indeksikalitas adalah sebab-akibat atau isyarat tanda. Sedangkan simbolisitas adalah lambang tanda.

Kritik Sastra Gaya Khas Narudin

Buku Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023) ini menunjukkan gaya kritik sastra khas Narudin. Dia berusaha untuk tidak meniru gaya kritik sastra pada era-era tempo dahulu. 


Narudin membangun gaya kritik sastranya sendiri dengan berpegang teguh pada sejumlah konsep dan prinsip kritik sastra yang diyakininya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Narudin dengan sadar menggunakan teori-teori kritik sastra kontemporer untuk menjaga rasionalitas guna pembuktian dengan benar atas hasil kritik sastra yang dilakukannya.

Narudin secara konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkaji karya-karya sastra yang dikritiknya, sebagaimana disarankan ilmuwan sastra A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra (1984).

Penggunaan bahasa yang baik dan benar menjadi syarat mutlak untuk menulis karya sastra bermutu.

Narudin mengingatkan bahwa penciptaan karya sastra harus dimulai dari konvensi bahasa sebagai medium ekspresinya. Bahasa atau kata-kata adalah simbol pertama dan utama yang dikenal manusia yang senang menulis dan gemar berbicara.

Ejaan sebagai perangkat bahasa tulis yang pertama dan utama harus menjadi standar penulisan karya sastra yang baik dan benar, yang meliputi penggunaan huruf (huruf besar, miring, dan tebal), penulisan kata, penulisan singkatan, akronim, pemilihan kata (diksi), dan penyusunan kalimat. Menjadi keharusan bagi seorang penulis sastra untuk berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Di samping konvensi bahasa, konvensi sastra juga menjadi standar mutlak yang dipegang teguh Narudin dalam praktik kritik sastranya. Misalnya, tentang puisi. Narudin berpegang teguh pada konvensi sastra, bahwa puisi terdiri atas tubuh dan jiwa, atau secara ilmiah dikenal sebagi “metode” (bentuk) danhakikat” (isi).

Narudin sependapat dengan Alton C. Morris, dan kawan-kawan (1964), di mana tubuh puisi terdiri dari diksi, imaji, ritme,  rima, majas, serta kata konkret, sedangkan jiwa puisi terdiri dari makna, rasa, nada, dan tujuan.    

Puisi yang bagus adalah puisi yang lengkap secara metodis dan hakiki, yakni tubuh dan jiwa puisi padu. Hubungan keduanya laksana relasi organis, bukan relasi mekanis. Jika ada penyair yang tidak mementingkan tubuh (rusak bentuk, termasuk bahasa puisinya kacau), tentu jiwa saja yang ada. Dan jika hanya jiwa saja yang ada, tentu bagaikan siluman, jiwa tanpa tubuh. Jika sekadar  tubuh saja tanpa jiwa, tubuh itu akan mati.

Di samping konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkritisi karya sastra, Narudin juga secara konsisten menggunakan teori-teori kritik sastra kontemporer (postrukturalisme) dalam praktik kritik sastranya. Pendekatan yang sering digunakannya adalah pendekatan yang menitikberatkan kajian terhadap karya sastra itu sendiri, seperti pendekatan intrinsik dari Rene Wellek dan Austin Warren (1962) dan pendekatan objektif dari M. H. Abrams (1971).

Sedangkan teori kritik sastra yang dominan digunakan Narudin adalah Teori Semiotika dari Charles Sander Peirce (1839-1914). Teori lain yang dignakan Narudin adalah Terori Strukturalisme dari Ferdinand de Saussure (1857-1913), Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida (1930-2004), dan Teori Hermeneutika dari Paul Ricoeur (1913-2005).

Trikotomi Analisis Semiotik Narudin

Khusus tentang Teori Semiotika, Narudin sangat menguasai dan menjiwainya, bahkan telah mengembangkan teori ini dalam bukunya Semiotika Dialektis (2020) yang diterbitkan UPI Press, Bandung. Dalam buku tipis ini Narudin menguraikan dengan bagus Teori Semiotika dan Trikotomi Analisis Semiotik.

Pada Bagian 2 Kritik Sastra buku Sastra Indonesia dalam Sastra Duniak Kumpulan Esai dan Kritik Sastra  ini, Narudin dengan percaya diri menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dalam mengkritik karya-karya sastra yang dibedahnya. Hampir semua ulasan Narudin pada Bagian 2 buku ini, menggunakan Teori Semiotika dan beberapa teori-teori kritik sastra kontemporer yang lain.  

Narudin secara konsisten mengkritik karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dari Charles Sanders Peirce. Trikotomi Analisis Semiotik terdiri atas ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas.

Ikonisitas adalah kemiripan tanda. Ikonisitas terdiri atas (1) ikonisitas bentuk atau gambar berupa lukisan atau sketsa (topologis), (2) ikonisitas struktural (kata-kata), dan (3) ikonisitas metaforis (kiasan). Indeksikalitas adalah sebab-akibat atau isyarat tanda. Sedangkan simbolisitas adalah lambang tanda. Trikotomi Analisis Semiotik sering pula disebut sebagai Triadik Peircean, yang terdiri atas icon (gambar), index (isyarat), dan symbol (lambang).

Karya sastra Indonesia, terutama puisi, yang dikaji Narudin dalam buku ini menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik atau Triadik Peircean dari Charles Sander Peirce, antara lain (1) Buku Gajah Mina (2021) yang merupakan gabungan lukisan, sketsa, dan puisi, karya bersama Made Gunawan (pelukis) dan Dewa Putu Sahadewa (penyair); (2) Puisi “Kekasihku” karya penyair asal Malaysia, Norawi HJ Kata; (3) Puisi “Rayulah Aku” karya penyair asal Maluku Utara, Syahrian Khamary; (4) Puisi “Misal” karya penyair mapan Joko Pinurbo; (5) Puisi “Aku Ingin” karya penyair maestro Indonesia, Sapardi Djoko Damono; (6) Puisi “Calonarang” dan “Rejang Renteng” karya penyair asal Bali, I Wayan Dibia; (7) Buku puisi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2019 yang berjudul Anjing Gunung (2018) karya penyair asal NTB, Irma Agryanti; (8) Buku puisi pemenang Hari Puisi Indonesia (HPI) 2020 berjudul Jangan Lupa Bercinta! (2020) karya penyair mapan Yudhistira ANM Massardi; (9) Buku puisi Testimoni di Kandang Sapi (2021) karya penyair asal Sulawesi Selatan, Andi Mahrus; (10) Buku puisi Nyanyian Hujan (2021) karya penyair asal Sumatera Utara, Shafwan Hadi Umry; (11) Puisi “Wahai Pemuda Mana Telurmu?” karya penyair maestro Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri; dan (12) Buku novel Gadis Kecil Kidul Kretek (2020) karya Septriana Murdiani.

Di samping menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik atau Triadik Peircean dalam mengkritik karya-karya sastra Indonesia, Narudin juga menggunakan Teori Dekonstruksi, antara lain dalam mengkritik buku puisi Nausea: Kota Dalam Telepon Genggam (2021) karya penyair Irawan Sandhya Wiraatmaja, dan Teori Hermeneutika dalam mengkritik buku prosa 100 Cerita Inspiratif (2021) karya Ni Made Sri Andani.

Dengan bermodalkan Trikotomi Analisis Semiotik dan beberapa teori sastra kontemporer, Narudin membongkar sejumlah buku puisi yang menjadi pemenang terbaik atau mendapat penghargaan sastra bergengsi di Indonesia belakangan ini.           

Praktik Kritik Sastra Narudi

Sejumlah buku puisi yang dibongkar Narudin yang menunjukkan kekhasan gaya kritiknya, antara lain (1) Buku puisi pemenang HPI 2019 (Hari Puisi Indonesia) yang berjudul Mencatat Demam karya Willy Fahmy Agiska; (2) Buku puisi penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud 2019 yang berjudul Jalan Lain Ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono; dan (3) Buku puisi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2019 yang berjudul Anjing Gunung karya Irma Agryanti.

Menurut Narudin, buku puisi Mencatat Demam karya Willy Fahmy Agiska bermasalah dalam hal konvensi bahasa (poros sintagmatis dan poros paradigmatis) sehingga koherensi makna (semantik) menjadi kacau-balau dan puisi-puisinya tidak tersampaikan dengan baik kepada pihak pembaca (pragmatik).

Buku puisi Jalan Lain Ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono, menurut Narudin, judulnya tidak kreatif, mengingatkan kita kepada judul cerpen Idrus tempo dahulu yang berjudul “Jalan Lain ke Roma,” dan deotomatisasi atavisme Dadang Ari Murtono tak didukung kompetensi linguistik dan kompetensi literer yang baik sehingga deotomatisasi warna lokalnya menyimpang secara tak fungsional atau melanggar fungsi puitis Jakobsonan.

Sedangkan buku puisi Anjing Gunung karya Irma Agryanti, menurut Narudin, penyairnya belum mengerti perbedaan antara arti (meaning) dan makna (meaning of meaning) dalam tradisi semiotika sehingga buku puisinya mengandung simbol pribadi (private symbol) yang melimpah dan sukar dimaknai, baik ditinjau dari segi sinkronis-linguistik maupun ditinjau dari segi  diakronis-linguistik.

Salah satu kajian Narudin cukup menarik dengan menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik adalah kajian atas buku Gajah Mina (2021) karya pelukis Made Gunawan dan penyair Dewa Putu Sahadewa. Buku ini berisi gabungan antara lukisan, sketsa, dan puisi. Lukisan dan sketsa ditulis pelukis Made Gunawan, sedangkan puisi ditulis penyair Dewa Putu Sahadewa.

Secara Semiotik, lukisan, sketsa, dan puisi adalah tanda. Narudin berhasil membongkar rahasia lukisan, rahasia sketsa, dan rahasia puisi dalam Gajah Mina ini dengan menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik dengan perangkatnya ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas.

Membaca kajian Narudin atas buku Gajah Mina di atas, mengingatkan kita pada ulasan menarik kritikus Dami N. Toda tahun 1980-an tentang puisi konkret karya sejumlah penyair dunia dan penyair Indonesia dalam bukunya Hamba-Hamba Kebudayaan (1984, halaman 94-109).

Sumber ulasan Dami N. Toda berasal dari arena Pameran Puisi Konkrit di Jakarta, yang diikuti para penyair Indonesia, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Adri Darmadji Woko, dan lain-lain.

Waktu menulis esai itu pada tahun 1980-an, Dami N. Toda tidak menggunakan jenis teori sastra apapun, kini Narudin menganalisis puisi konkret serupa berupa lukisan dan sketsa karya Made Gunawan dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik yang lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. *  

 

 

 

 

Post a Comment for "Kritik Sastra Trikotomi Analisis Semiotik Narudin"