Kritik Sastra Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores,
Ende
Kritik Sastra Indonesia Sebelum Reformasi
Menurut kritikus sastra Indonesia modern, Maman S. Mahayana dalam buku tebalnya Kitab Kritik Sastra (2015), perintis penulisan esai dan kritik sastra di Indonesia adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Tulisan-tulisan STA yang kemudian dinilai sebagai tulisan kritik sastra dapat dibaca dalam majalah Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe. Kritik sastra Indonesia yang dirintis STA pada era tahun 1930-an lebih sebagai pembicaraan tentang sastra dan karya sastra.
Gaya kritik sastra STA terlihat pada majalah Pandji Poestaka dan majalah Poedjangga Baroe yang terbit tahun 1930-an. Tidak ada perbedaan antara kritik sastra dan esai sastra. Tidak pula disinggung teori sastra dalam melakukan pembicaraan terhadap sastra dan karya sastra. Pada era itu memang dunia sastra di Indonesia belum dimasuki apa yang disebut teori sastra yang berasal dari Barat, apalagi teori kritik sastra.
Kritik sastra pada era berikutnya setelah era STA adalah kritik sastra era H. B. Jassin tahun 1940-an sampai tahun 1960-an sudah selangkah lebih maju. Jassin sudah mulai membedakan antara kritik sastra dengan esai sastra, meskipun dalam praktiknya belum jelas benar perbedaannya.
Dalam buku Jassin Tifa Penyair dan Daerahnya (1983, halaman 95) Jassin mendefinisikan kritik sastra sebagai “penilaian baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.”
Namun, dalam buku kumpulan kritik dan esainya yang berjumlah sampai empat jilid, berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1954, 1955, 1962, 1967) Jassin tidak membedakan mana tulisan yang masuk dalam jenis kritik sastra, mana tulisan jenis esai sastra. Yang menonjol pada Jassin adalah gaya kritiknya yang bersifat impresionistik dan bertujuan utama memberi apresiasi. Tidak disebutkan jenis pendekatan dan teori kritik sastra yang digunakan Jassin.
Kritik sastra Aliran Rawamangun pada era tahun 1970-an sampai 1980-an, sudah mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu sastra dan kritik sastra dari Barat. Para pengikut aliran kritik sastra ini yang sebagian besar adalah dosen FS-UI sudah mengenal teori sastra.
Kritik sastra Indonesia pada masa ini sudah dimasuki teori sastra dari Barat, terutama yang dibawakan ilmuwan sastra A. Teeuw (1921-2012). Adapun pendekatan sastra yang dikenal luas pada era ini adalah pendekatan intrinsik dan ekstrinsik dari Rene Wellek dan Austin Warren lewat bukunya Theory of Literature (1962) dan pendekatan universe dari M. H. Abrams (1912-2015) lewat bukunya The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (1971).
Teori sastra dan teori kritik sastra yang digandrungi para kritikus akademik dari FS-UI itu adalah teori strukturalisme yang dikembangkan linguis Ferdinand de Saussure (1857-1913). Memang ada sejumlah teori kritik sastra lain, namun jarang digunakan dalam praktiknya.
Dominasi kritik sastra strukturalisme Aliran Rawamangun inilah yang memicu munculnya gugatan dari Arief Budiman dan Goenawan Mohammad dengan mengajukan jenis kritik Metode Ganzheit sebagai metode kritik sastra tandingan.
Kalau Aliran Rawamangun membedah karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yang disebut unsur-unsur intrinsik, Metode Ganzeit bertolak dari psikologi Gestalt, yang memandang karya sastra sebagai satu-kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Gaya kritik sastra pada era tahun 1990-an sampai tahun 2000-an sudah beragam. Para kritikus era ini ada yang berasal dari FS-UI, ada pula yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Pada era ini, ada kritikus yang meneruskan gaya kritik impresionistik H. B. Jassin, ada pula yang mengikuti gaya kritik strukturalisme Aliran Rawamangun.
Mereka antara lain Umar Junus, Mursal Esten, Subagio Sastrowardoyo, Dami N. Toda, dan lain-lain. Ada pula kritikus yang menggunakan disiplin ilmu lain (multidisiplin) guna memperkuat bobot kritiknya, seperti yang dilakukan Jakob Sumardjo (sosiologi), Ignas Kleden (filsafat), Korrie Layun Rampan (sosial budaya), dan lain-lain.
Kritik Sastra Indonesia Sesudah Reformasi
Pada era Sesudah Reformasi (Pascareformasi) tahun 2000-an yang berlanjut pada tahun 2010-an, tidak banyak muncul kritikus baru di panggung sastra Indonesia modern. Sejak tahun 2000-an dunia kritik sastra Indonesia penyebarannya tidak fokus lagi pada media massa cetak dan penerbitan buku yang mudah dilacak, tetapi juga disebarkan lewat media digital (media sosial) yang tidak mudah lagi dilacak. Para kritikus sastra sepertinya gamang menghadapi era baru era digital.
Pada era Pascaferormasi ini, tampil kembali sebagian besar kritikus yang sudah sepuh, yang sudah dikenal pada era tahun 1980-an dan 1990-an, antara lain Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Jakon Sumardjo, Ignas Kleden, Ajib Rosidi, Rachmat Djoko Pradopo, dan Maman S. Mahayana. Gaya kritik para kritikus sastra pada era ini tidak banyak berubah dengan era 1980-an dan 1990-an.
Pada era Pascareformasi ini patut disebut secara khusus peran kritikus produktif Maman S. Mahayana dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Beliau tidak hanya sangat produktif dalam menulis kritik sastra, dia juga tampil familiar di kalangan kritikus sastra umum (media massa) dan kritikus sastra akademik. Mahayana memainkan peran strategis mendamaikan dua arus kritik sastra Indonesia yang sering berseberangan, yakni arus kritik sastra umum yang basisnya media massa cetak dan arus kritik sastra akademik yang basisnya di perguruan tinggi.
Dalam bukunya Kitab Kritik Sastra (2015, halaman lxiii-lxiv), Mahayana menyebut kedua arus kritik sastra ini tidak bertentangan satu sama lain, tetapi saling melengkapi, meski berada dalam wilayah kekuasaan yang berbeda. Kedua arus kritik sastra ini masing-masing telah memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan kritik sastra Indonesia modern. Mahayana juga menepis adanya krisis kritik sastra dalam sastra Indonesia.
Setelah melewati berbagai era kritik sastra Indonesia dari tahun 1930-an sampai dengan era Pascareformasi tahun 2000-an, sebagaimana dijelaskan secara singkat di atas, memasuki tahun 2010-an, gaya kritik sastra Indonesia memasuki era baru. Era baru ini bisa disebut sebagai era kritik sastra Indonesia mutakhir, yakni era kritik sastra yang terbaru.
Kritik sastra Indonesia pada era mutakhir ini ditandai dengan penggunaan teori sastra kontemporer dari Barat sebagai landasan berpijak menulis kritik sastra. Kritik sastra era mutakhir ini, menurut hemat penulis, dimulai oleh kritikus Narudin, yang dengan serius menulis kritik sastra sejak tahun 2015.
Siapakah Narudin? Narudin lahir di Subang, Jawa Barat, pada 15 Oktober 1982. Dalam media sosial Facebook, kritikus berusia muda ini menggunakan nama Narudin Pituin. Dia lulusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada 2006. Pernah menjadi dosen di Universitas Islam As-Syafiiah (UIA), Universitas Indonesia Esa Unggul (UIEU) Jakarta, ARS International School, dan UPI Bandung. Sejak lulus SMU, drama-drama berbahasa Inggrisnya pernah meraih beberapa penghargaan tingkat Jawa Barat.
Pada 2007, tercatat menjadi Duta Bahasa Jawa Barat, kemudian menjadi Duta Bahasa Berprestasi 2015 Jawa Barat. Pada 2014 menjadi pemenang lomba menulis puisi religius Majelis Sastra Bandung. Pada 2016 menjadi salah satu pemenang lomba menulis puisi Alquran, Parmusi. 2016. Pada 2018 menjadi Pemenang Anugerah Puisi CSH 2018 untuk buku puisinya berjudul Di Atas Tirai-Tirai Berlompatan (2017). Di samping menulis esai dan kritik sastra, Narudin juga menulis puisi dan cerpen, menerjemahkan berbagai puisi dan buku puisi dari bahasa Inggris ke Indonesia, juga sebaliknya.
Dari berbagai aktivitas Narudin dalam bidang sastra, yang paling menonjol adalah bidang penulisan esai dan kritik sastra. Jejak kritik sastra Narudin dapat ditelusuri sejak 2015 melalui tulisan-tulisannya di berbagai media cetak dan media online, juga lewat makalah yang disajikannya dalam berbagai seminar berskala nasional dan internasional.
Buku kritik sastra Narudin yang sudah terbit berjudul Kata, Makna, dan Komunikasi (Sodoarjo, Meja Tamu, 2019). Diberi Pengantar oleh Dr. Sunu Wasono, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Buku Narudin ini berisi 23 tulisan esai dan kritik sastra. Adapun perinciannya, Bab I Esai/Makalah Sastra, berisi lima tulisan, Bab II Kritik Puisi, berisi enam tulisan, Bab III Kritik Buku Puisi, berisi 12 tulisan.
Gaya kritik kritik sastra khas Narudin sudah terlihat dalam buku Kata, Makna, dan Komunikasi di atas. Gaya kritik sastra khas Narudin terasa semakin jelas dalam buku yang diresensi ini, Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023). Prinsip dan konsep kritik sastra Narudin, baik yang diinspirasi oleh pendapat ilmuwan dan kritikus sastra tingkat dunia, terutama dari Barat, maupun prinsip dan konsep kritik sastra yang dibangunnya sendiri. Hal itu tergambar jelas dalam buku kritik sastra terbaru yang diresensi ini.
Tulisan-tulisan dalam buku ini termasuk jenis kritik akademik dengan pendasaran sejumlah teori sastra kontemporer. Teori sastra kontemporer itu tidak diterima begitu saja oleh Narudin, tetapi dikembangkan sehingga tetap terjaga gaya kritik Narudin yang lugas, rasional, dan orisinal.
Sebanyak 55 judul tulisan dalam buku ini. Tulisan-tulisan ini berasal dari media massa, bedah buku, Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3), seminar sastra tingkat nasional dan internasional, diskusi buku sastra, dan catatan pribadi. Bagian 1 Esai Sastra, berisi 30 tulisan, Bagian 2 Kritik Sastra, berisi 25 tulisan. Tulisan-tulisan pada Bagian 2, sebagian besar berisi kritik puisi. Panjang tulisan bervariasi, ada yang pendek, ada yang sedang, ada pula yang panjang.
Sebagi kritikus, Narudin berpendirian bahwa kritikus sastra adalah seorang pembaca ahli karya sastra. Pembaca ahli yang lain adalah kurator, redaktur, dan editor sastra pada penerbit dan media massa. Kritikus sastra yang baik, analisisnya harus sampai pada tingkat rasionalisasi atau pembuktian dengan benar.
Kritikus yang hebat juga, menurut Narudin, harus mengalami dua hal berikut, yakni mampu “menikmati” karya sastra dan mampu “memahami” karya sastra. Harus mampu kedua-duanya. Jika hanya mampu menikmati saja, maka ia akan tergelincir ke dalam jurang hiburan semata-mata atau pelepas waktu senggang. Jika hanya mampu memahami saja, ia akan tergelincir ke dalam sumur kering, laksana kerangka tanpa daging. *
Post a Comment for "Kritik Sastra Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi"