Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Suanggi dan Ilmu Hitam dalam Sastra NTT


Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende


Catatan:
Tulisan pendek ini merupakan bagian dari artikel panjang saya yang berjudul “Fenomena Suanggi dan Ilmu Hitam di Nusa Tenggara Timur, Antara Aset Budaya dan Sumber Malapetaka.” Artikel hasil penelitian kualitatif ini sudah dimuat dalam buku Sastra Horor (2024) yang tebalnya 1.044 halaman. Terdapat pada buku halaman  557-575. Editor buku Novi Anoegrajekti, dkk, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, kerja sama dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (Hiski) Pusat.
 
 
Kecanggihan ilmu hitam milik suanggi NTT tidak hanya menjadi bahan perguncingan dalam masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, tetapi juga diangkat dalam karya sastra NTT. 

Berdasarkan hasil penelitian, sastra lamalah yang paling banyak mengangkat tema cerita horor seperti suanggi dan ilmu hitam ini. Sebagian besar jenis sastta lama masuk dalam kelompok cerita rakyat (folklore), antara lain dongeng, mite, legenda, fabel, dan berbagai genre cerita rakyat yang lain.

Karena ciri khas cerita rakyat tidak jelas nama pengarangnya, maka jadilah cerita-cerita rakyat itu anonim dan menjadi konsumsi masyarakat umum di pedesaan yang disebarkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karya sastra modern yang disebarkan secara tertulis yang mengangkat tema suanggi dan ilmu hitam adalah jenis cerita pendek (cerpen). Belum ditemukan tema unik ini dalam karya sastra modern yang lain, seperti novel atau drama.

Dalam penelitian ini ditemukan dua cerpen dalam sastra NTT yang mengangkat tema suanggi dan ilmu hitam. Kedua cerpen ini tentu tidak lepas dari kenyataan yang terjadi dalam masyarakat NTT. Kedua cerpen yang dimaksud adalah cerpen “Bulan Mati” karya Julius Sijaranamual (1944-2005) dan cerpen  “Panta Mera” karya Buang Sine.

Cerpen Pertama, “Bulan Mati”

Cerpen pertama berjudul “Bulan Mati” (1967) karya Julius Sijaranamual. Cerpen ini dimuat dalam majalah sastra Horison Nomor 2, Tahun II, Februari 1967.

Penulis cerpen adalah Julius Sijaranamual. Beliau lahir di Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, pada 21 September 1944, meninggal dunia pada Mei 2005. Tamat SMAK Syuradikara Ende dan Sekolah Tinggi Theologia Jakarta. Banyak berkecimpung di media massa cetak, termasuk harian Sinar Harapan (Jakarta), harian Surya (Surabaya), dan harian Pos Kupang (Kupang).

Karya sastra Julius Sijaranamual yang telah diterbitkan menjadi buku, antara lain berjudul (1) Tuhan Jatuh Hati (1971), (2) Menaklukkan Benua Baru (1973), dan (3) Anak-Anak Laut (1978). Salah satu novelnya yang indah dimuat secara bersambung dalam harian Kompas yang kemudian diterbitkan menjadi buku novel berjudul Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menabur Cinta (1978). 

Cerpen “Bulan Mati” menceritakan dua suanggi kaliber di sebuah kampung nelayan dekat pantai. Yang satu bernama Metekato, dia kepala kampung yang “berisi” karena memiliki ilmu hitam. Yang lain bernama Amalodo, seorang bekas serdadu Kompeni Belanda yang punyai “pegangan.”

Dengan melihat nama kedua tokoh ini, kita bisa perkirakan cerpen ini berlatar belakang Sabu atau Sumba di NTT. Metekato dan Amalodo musuh bebuyutan, keduanya bersumpah mencari celah untuk saling mematikan lewat ilmu hitam. Sudah lama keduanya ingin membuktikan, siapa yang jago di antara kedua nelayan yang sudah banyak makan asam garam itu.

Celaka tiga belas bagi keduanya. Enos anak lelaki Metekato saling jatuh cinta dengan Ina anak gadis semata wayang Amalodo. Dalam perjalanan waktu, di suatu malam yang mencekam, Metekato mengancam anaknya Enos untuk batal nikah dengan Ina karena Ina anak setan. Di saat yang sama, di malam yang pekat karena bulan mati, Amalodo mengiterogasi anaknya Ina untuk putus dengan Enos, karena menurutnya, nikahi Enos sama dengan nikahi anak jahanam.

Karena mendapat ancaman maut dari kedua orang tua mereka, kedua anak muda ini bertekad melawan orang tua mereka dengan cara kawin lari. Tatkala Enos datang menjemput Ina di rumahnya di tengah malam gelap untuk melarikan diri, dia tertangkap tangan Amalodo yang muncul dari semak-semak. Terkaparlah Enos seketika, tewas di tangan Amalodo dengan satu tembakan senapan.

Sang kepala kampung Metekato sudah mendapat firasat bahwa anaknya Enos sudah tewas di tangan Amalodo. Lewat pengantara, kini keduanya berjanji untuk bertarung dengan kekuatan magis di laut lepas. Di tengah malam yang pekat, bulan mati, keduanya menuju laut lepas untuk bertanding memancing ikan. Di atas sampan keduanya saling mengejek, yang sial yang kalah, yang mujur yang menang.

Di ronde pertama, Metekato yang kalah karena tidak mendapat ikan. Dia mendapat ejekan pedas dari Amalodo. Tali pancing Metekato yang dikiranya ikan besar, diangkatnya dengan tenaga yang mengucur keringat, ternyata yang terangkat hanyalah selembar daun lontar. Metekato merasa ronde pertama dia kalah. 

Di ronde kedua menjelang dinihari, Amalodo yang mendapat giliran sial dan diejek habis-habisan Metekato yang sampannya penuh dengan ikan. Menjelang akhir pertarungan, menjemput pagi, Amalodo yang sial mencoba pelan-pelan menarik tali pancingnya. Namun sebelum tali pancingnya habis tertarik, dia tersentak merasa mata kailnya tersangkut ikan besar. Ia merasa bakal menang lagi melawan Metekato.

Perangkat Ilmu Hitam Suanggi NTT. Sumber: kupang.tribunnews.com

Dengan sekuat tenaga, ditariknya tali pancing ke atas sampan. Sepertinya ia tidak sabar melihat hasil tangkapannya. Alangkah terkejutnya ia, yang muncul dari dalam air bukan ikan besar, tetapi kepala anak gadisnya sendiri yang bernama Ina. Ia langsung sadar apa yang telah terjadi. Buru-buru Amalodo mengayuhkan sampannya ke tepi pantai. Dan ketika tiba di rumahnya, ia menemui anak perempuannya yang bernama Ina sudah mati tidak wajar, tanpa sebab-musabab.

Cerpen Kedua, “Panta Mera”

Cerpen kedua berjudul “Panta Mera” (2015) karya Buang Sine. Cerpen ini dimuat dalam buku antologi Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerpen Sastrawan NTT (2015) terbitan Kantor Bahasa NTT. Panta mera adalah istilah lain bagi orang Lamaholot di Flores Timur untuk ilmu hitam.

Penulis cerpen ini adalah Buang Sine. Beliau lahir pada 30 Juni 1967 di Kupang. Dia seorang polisi yang bertugas lama di Bagian Reserse Kriminal Polda NTT. Pada saat ini sudah pensiun. Tamat SMA Kristen 1 Kupang dan Fakultas Hukum Unkris Artha Wacana Kupang (tidak tamat).

Karya sastra Buang Sine berupa novel yang telah diterbitkan menjadi buku, antara lain berjudul (1) Dua Malam Bersama Lucifer (2012), (2) Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (2013), (3) Polisi Sampah (2015), dan Namaku Israel (2018).

Cerpen “Panta Mera” ini menceritakan seorang anak lelaki bernama Morito, sudah dua hari sakit keras. Orang tuanya sangat khawatir akan keselamatan anak mereka, apalagi beredar isu bahwa panta mera sedang menyerang warga. Seorang anak lainnya, Leksi Nimorte, diisukan meninggal dunia karena dimakan panta mera. Markus Lemoto, bapanya Morito, memanggil dukun Kemurota untuk menyerang nenek Yakomina, suanggi tua yang diduga mengirim panta mera.

Pada suatu malam, dukun Kemurota bersama Markus Lemoto datang menyerang dengan ilmu hitam ke gubuk nenek Yakomina yang tinggal di lembah sebelah kampung. Tengah malam terjadi pertarungan antara dukun Kemurota dan suanggi Yakomina. Bola api sebesar bola kaki melesat dari bubungan gubuk suanggi tua, nenek Yakomina, ke angkasa, berputar-putar, bagaikan kilat melesat, turun menyergap Kemurota dan Lemoto yang sedang mengendap di semak-semak samping gubuk.

Pada saat terjadi pertarungan sengit melawan bola api, Lemoto lari mendobrak pintu gubuk membalikkan badan Yakomina yang sedang tidur telentang seperti orang mati, ke posisi tengkurap.

Berikut pelukisan cerpenis Buang Sine atas peristiwa itu dalam beberapa paragraf berikut.

“Tiba-tiba bola api itu meledak di udara. Markus dan Kemurota tiarap di tanah. Akhhh!!! Khhhh!!! Akhhh!!!” Terdengar suara jeritan keras dalam bola api itu memecah langit. Suara perempuan tua.”

“Orang-orang kampung terbangun berlarian mendekati asal suara. Bola api dan teriakan wanita tua Yakomina meluncur masuk ke dalam gubuk. Tiba-tiba terdengar ledakan besar. Bum! Asap putih membumbung dari dalam gubuk. Orang-orang kampung tertegun menyaksikan kejadian dahsyat itu.”

“Mereka beramai-ramai masuk ke dalam gubuk nenek Yakomina untuk melihat apa yang terjadi. Di dalam gubuk mereka mencium bau daging terbakar. Mereka melihat tubuh nenek suanggi Yakomina hangus terbakar menghitam arang. Ia mati terpanggang ilmunya sendiri.” *

Post a Comment for "Suanggi dan Ilmu Hitam dalam Sastra NTT"