Sastra NTT, Kinerja Sastrawan NTT, dan Posisi Fritz Meko, SVD Sebagai Penyair NTT
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
Makalah ini dipresentasikan dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku Sang Mesias Karya Fritz Meko, SVD, pada Sabtu, 2 April 2022 di Hotel Cahaya Bapa, Kupang, NTT. Pemakalah lain adalah Dr. Marsel Robot, M.Si. (Dosen Sastra di Universitas Nusa Cendana, Kupang) dan Pdt. Dr. Nelman Asrianus Weny, M.Th. (Dosen Theologi di Program Pascasarjana, Institut Agama Kristen Negeri, Kupang).
Sastra NTT dan Sastrawan NTT
Apa itu sastra NTT? Sastra NTT adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT. Sastra NTT juga bisa diartikan sebagai sastra Indonesia warna daerah atau warna lokal Provinsi NTT. Sastra NTT adalah bagian dari sastra nasional Indonesia yang memberi warna khas daerah NTT dalam sastra Indonesia. Sastra NTT berbeda dengan “sastra daerah NTT.” Sastra daerah NTT ditulis dalam bahasa-bahasa daerah di NTT, sedangkan sastra NTT ditulis dalam bahasa Indonesia, sebagaimana halnya dengan sastra Indonesia di provinsi lain di Indonesia.
Siapa itu sastrawan NTT? Sastrawan NTT adalah penulis karya sastra dalam bahasa Indonesia yang “berasal dari NTT” atau “keturunan orang NTT.” Berasal dari NTT maksudnya, sastrawan itu bisa lahir dan tinggal di NTT, bisa pula lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT. Sastrawan yang lahir dan tinggal di NTT, misalnya Mezra E. Pellondou, lahir di Kupang (NTT) pada 21 Oktober 1969 dan tinggal di Kupang sampai sekarang ini. Sastrawan yang lahir di NTT, tetapi tinggal di luar NTT, misalnya Dami N. Toda, lahir di Cewang, Pongkor, Manggarai (NTT) pada 29 September 1942, tetapi tinggal di Yogyakarta, kemudian Jakarta, kemudian Hamburg (Jerman) sampai meninggal dunia pada 10 November 2006. Baik Mezra E. Pellondou maupun Dami N. Toda adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional keduanya adalah sastrawan Indonesia. Keduanya masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (Editor Maman S. Mahayana, 2017).
Sedangkan sastrawan NTT yang merupakan keturunan orang NTT maksudnya, sastrawan itu meskipun lahir di luar NTT, tetapi keturunan (berdarah) NTT. Misalnya, Fanny J. Poyk, lahir di Bima (NTB) pada 18 November 1960, tetapi dari orang tua NTT, yakni Gerson Poyk. Gerson Poyk adalah sastrawan Indonesia dari NTT, lahir di Namodale, Rote (NTT), pernah tinggal di Bima, di Maluku, Bali, Surabaya, dan Jakarta. Fanny J. Poyk anak sulung Gerson Poyk, kini tinggal di Jakarta. Dia adalah sastrawan NTT. Di tingkat nasional Fanny J. Poyk adalah sastrawan Indonesia, masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (Editor Maman S. Mahayana, 2017).
Sejarah Awal Sastra NTT dan Perintisnya
Sejak kapan sastra NTT dimulai? Ini pertanyaan sulit, tetapi harus dijawab untuk kepastian sejarah. Menurut saya, sastra NTT dimulai sejak orang NTT menulis dan mempublikasikan karya sastranya kepada masyarakat luas. Dalam penelusuran saya, orang NTT pertama yang menulis karya sastra adalah Gerson Poyk (1931-2017). Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT, meninggal dunia pada 24 Februari 2017 di Depok, Jawa Barat, dalam usia 86 tahun, dan dimakamkan di Kota Kupang 27 Februari 2017. Dalam kariernya sebagai sastrawan, Gerson Poyk telah menulis tidak kurang dari 40 judul buku, yang terdiri atas buku-buku novel, cerita pendek, puisi, karya jurnalistik, dan renungan filsafat. Masih banyak buku Gerson Poyk yang masih dilacak karena sistem dokumentasi yang kurang bagus.
Hasil penelitian saya menemukan, Gerson Poyk mulai menulis karya sastra dan mempublikasikannya kepada masyarakat umum Indonesia terhitung sejak Juni 1955. Media cetak yang mempublikasikan karya sastra awal Gerson Poyk adalah majalah mingguan Mimbar Indonesia. Dalam Mimbar Indonesia (MI) yang terbit 1947-1966, yang redaktur sastranya kritikus sastra HB Jassin dan AD Donggo, ditemukan karya-karya awal Gerson Poyk berupa puisi.
Adapun judul-judul puisi awal Gerson Poyk adalah (1) “Anak Karang” dalam MI Nomor 24, Tahun IX, 11 Juni 1955, halaman 19; (2) “Ulang Tahun” dalam MI Nomor 35, Tahun IX, 27 Agustus 1955, halaman 18; (3) “Sebelah Rumah” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18; (4) “Larut” dalam MI Nomor 38, Tahun IX, 17 September 1955, halaman 18, (5) “Tentang Niskala Aermata dan Malaria” dalam MI Nomor 28, 9 Juli 1960.
Selanjutnya, cerpen-cerpen awal Gerson Poyk ditemukan pula dalam majalah Mimbar Indonesia (MI) tahun 1959, yang judul-judul cerpennya (1) “Pertjakapan Selat” dalam MI Nomor 38-39, Tahun XIII, 10 Oktober 1959; (2) “Dalam Kecepatan 40” dalam MI Nomor 21, 21 Mei 1960. Cerpen awal Gerson Poyk yang lain ditemukan dalam majalah bulanan Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961 berjudul “Mutiara di Tengah Sawah.” Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin HB Jassin, M. Balfas, dan DS Moeljanto.
Setelah mempublikasikan puisi-puisinya sejak 1955 dan cerpen-cerpennya sejak tahun 1959, tahun 1964 Gerson Poyk mulai menulis novel. Novel pertama Gerson Poyk berjudul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964, 1968). Novel Gerson Poyk yang kedua berjudul Sang Guru (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971), dan novel ketiga Cumbuan Sabana (Nusa Indah, Ende, 1979). Dengan demikian, di samping sebagai perintis sastra NTT, Gerson Poyk juga sebagai perintis penulisan puisi, penulisan cerpen, dan penulisan novel dalam sastra NTT.
Pada tahun 1975 Gerson Poyk menerbitkan sekaligus tiga buku antologi cerpen, yakni (1) Nostalgia Nusatenggara (1975, 1977); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (1975, 1977); dan (3) Matias Akankari (1975). Ketiga buku ini diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, penerbit yang berjasa melambungkan nama Gerson Poyk. Pada tahun 1985 Gerson Poyk menerbitkan buku puisi pertamanya berjudul Anak Karang (Lukman, Yogyakarta, 1985) dan buku puisi kedua berjudul Dari Rote ke Iowa (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2016).
Kinerja Sastrawan NTT Sampai 2022
Setelah Gerson Poyk merintis penulisan karya sastra tahun 1955, muncul kemudian nama-nama baru sastrawan NTT. Meskipun ada nama-nama baru, sejak 1955 sampai 2000, nama-nama sastrawan NTT yang tampil di panggung sastra Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Para sastrawan senior NTT ini dapat disebutkan, antara lain Gerson Poyk, Ris Therik, Julius Sijaranamual, Virga Belan, Dami N. Toda, AG Hadzarmawit Netti, Umbu Landu Paranggi, Ignas Kleden, John Dami Mukese , Maria Matildis Banda, Fanny J. Poyk, dan lain-lain.
Terhitung mulai tahun 2000, nama-nama sastrawan NTT ramai bermunculan, semarak di media massa. Buku-buku sastra mereka mulai ramai diterbitkan. Mereka berani tampil di panggung sastra, baik di panggung sastra NTT maupun panggung sastra Indonesia. Bidang karya sastra yang mereka geluti pun sudah beragam. Ada yang menulis puisi, cerpen, novel, dan drama, bahkan merangkap sebagai pengamat dan kritikus sastra.
Sastrawan NTT generasi tahun 2000-an, dapat disebutkan, antara lain Mezra E. Pellondou, Usman D. Ganggang, Willy A. Hangguman, Agust Dapa Loka, Willem Berybe, Yoss Gerard Lema, Marsel Robot, Vincen Jeskial Boekan, Yoseph Yapi Taum, Petrus Kembo, Buang Sine, Sr. Wilda, CIJ (Imelda Oliva Wisang), Sipri Senda, Steph Tupeng Witin, Santisima Gama, Amanche Franck Oe Ninu, Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Robertus Fahik, Fritz Meko, SVD, Christian Dicky Senda, Pion Ratulolly, Christo Ngasi, Mario F. Lawi, Ruben Paineon, Kopong Bunga Lamawuran, Yoseph Bruno Dasion, Erlyn Lasar, Fince Bataona, Hans Hayon, Felix K. Nesi, Monika N. Arundhati, Milla Lolong, Yurgo Purab, Frid da Costa, Eto Kwuta, Erich Langobelen, Alfred B. Jogo Ena, Martin da Silva, Alexander Aur, Ardi Suhardi, Kristopel Bili, Yosman Seran, Berto Tukan, Oriol Dampuk, Nikolaus Loy, Paulus Heri Hala, Giovani AL Arum, Lee Risar, Sandra Oliva Frans, Jimmy Meko Hayong, Ignas Kaha, Mariah Rose Lewuk, Ian CK, Mikhael Wora, Fian N., Elvira Hamapati, Aris Woghe, Stefanus Dampur, Gody Usnaat, Ignas N. Hayon, Ishack Sonlay, Ivan Nestorman, Charles Beraf, Reinard L. Meo, Yogen Sogen, Bruno Rey Pantola, Chee Nardi Liman, Petrus Nandi, Mario DE Kali, Veran Making, Jemmy Piran, Walter Arryanto, Irno Januario, Maria Marietta Bali Larasati, Marselinus Aluken, dan masih banyak lagi.
Perlu dicatat pula, ada 25 orang sastrawan NTT masuk dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017) yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia, Jakarta, dengan Editor kritikus sastra Maman S. Mahayana, dan Tim Kurator adalah sastrawan Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Rida K. Liamsi, Ahmadun Y. Herfanda, dan Hasan Aspahani. Adapun kurator dan kontributor untuk Provinsi NTT adalah Yohanes Sehandi dan Julia Daniel Kotan.
Ke-25 sastrawan NTT yang masuk dalam Apa & Siapa Penyair Indonesia itu (sesuai abjad) Agust Dapa Loka, Alexander Aur, Amanche Franck Oe Ninu, Bara Pattyradja, Bernard Tukan, Christian Dicky Senda, Dami N. Toda, Erich Langobelen, Fanny J. Poyk, Frid da Costa, Gerson Poyk, Jefta Atapeni, John Dami Mukese, Kristopel Bili, Mario F. Lawi, Marsel Robot, Mezra E. Pellondou, Paulus Heri Hala, Santisima Gama, Suster Wilda (Imelda Oliva Wisang), Umbu Landu Paranggi, Usman D. Ganggang, Willy A. Hangguman, Yoseph Yapi Taum, dan Yoss Gerard Lema.
Bagaimana kinerja sastrawan NTT sampai dengan tahun 2022 ini? Berdasarkan data yang saya miliki, karya para sastrawan NTT yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, sampai dengan tahun 2022 ini sebanyak 279 judul buku sastra. Adapun perinciannya, buku puisi sebanyak 119 judul, buku cerpen sebanyak 63 judul, buku novel sebanyak 85 judul, buku drama sebanyak 5 judul, dan buku esai dan kritik sastra sebanyak 7 judul. Ke-279 buku sastra NTT yang saya datakan di atas memiliki data publikasi lengkap yang dapat dipertanggungjawabkan, yang terdiri atas: nama penulis, judul buku, tahun terbit buku, nama penerbit, dan nama kota tempat penerbit.
Penerbitan buku puisi dalam sastra NTT dimulai Dami N. Toda tahun 1976, dengan judul Penyair Muda di Depan Forum (Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 1976). Penerbitan buku cerpen dimulai Gerson Poyk tahun 1975, dengan judul Nostalgia Nusatenggara (Nusa Indah, Ende, 1975). Penerbitan buku novel dimulai Gerson Poyk pada tahun 1964, dengan judul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964). Penerbitan buku drama dimulai Marianus Mantovanny Tapung dan Rm. Beben Gaguk, Pr. dengan judul Pastoral Panggung: Bunga Rampai Drama Teater (Parrhesia Institut, Jakarta, 2012). Penerbitan buku esai dan kritik sastra dimulai Yohanes Sehandi berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012).
Peran Sastra NTT dalam Pembentukan Karakter
Sastra NTT memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter bangsa. Itu kalau dimanfaat dengan baik oleh Pemprov NTT. Peran strategis karya sastra ibarat garam yang dilarutkan dalam air, tak terlihat garamnya, namun terasa asinnya. Peran karya sastra itu nyata, namun sulit ditunjukkan wujudnya. Peran karya sastra juga bagaikan bumbu masakan yang membuat masakan terasa lezat, gurih, dan bergairah.
Mengapa dikatakan demikian? Karena pendidikan sastra itu khas dan unik karena menumbuhkan kesadaran dari dalam diri-sendiri, bukan dipaksakan dari luar seperti berbagai mata pelajaran di sekolah. Pendidikan agama di sekolah atau model pendidikan “cuci otak” gaya Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, adalah jenis pendidikan karakater yang dipaksakan dari luar, sedangkan pendidikan sastra adalah pendidikan karakter dari dalam, karena dia berubah setelah membaca karya sastra atau menonton sendiri sinetron atau film dalam televisi atau youtube.
Ada banyak tokoh inspiratif dalam karya sastra NTT yang dapat dijadikan sebagai tokoh idola atau tokoh panutan untuk pemebentukan atau pendidikan karakter anak bangsa di NTT. Sekadar contoh, saya sebutkan beberapa tokoh idola dalam karya sastra NTT.
Pertama, tokoh Rosa Dalima, seorang bidan desa kelahiran Bajawa, terdapat dalam novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2015) karya Dr. Maria Matildis Banda. Rosa adalah seorang bidan desa berusia muda yang berkarakter, tabah, sopan, ulet, beriman, dan profesional. Dia senantiasa berpegang teguh pada filosofi bunga wijaya kusuma sebagai lambang bakti husada. Ia berhasil menyelamatkan banyak nyawa ibu hamil dari kematian sia-sia. Ia berhasil menyadarkan kaum pria kampung di wilayah terpencil Lio bagian Timur di Kabupaten Ende, tentang pentingnya memeriksa ibu hamil di fasilitas kesehatan, bukan periksa ke dukun. Bidan Ros juga piawai dalam menyikapi cinta dari tiga pria jombol, yakni dokter Yordan dari Atambua, Adri mata keranjang dari Bajawa, dan Martin pengusaha muda dari Lio Timur. Atas prestasinya itu Bidan Ros berhasil meraih penghargaan sebagai Bidan Teladan Tingkat Provinsi NTT.
Kedua, tokoh Enu Molas kelahiran Borong dan suaminya Dr. Paul Putak kelahiran Rote dalam novel Enu Molas di Lembah Lingko (2015) karya Gerson Poyk. Dua tokoh utama novel ini berkarakter kuat, mempunyai visi jauh ke depan membangun pariwisata khas NTT. Suami-istri ini sukses membangun kampung wisata berbasis budaya dan kearifan lokal di sebuah dataran rendah di dekat Labuan Bajo, Menggarai Barat. Kampung wisata budaya didesain berbentuk lodok-lingko, seperti jaring laba-laba, sistem perladangan orang Manggarai. Kampung wisata ini dikelilingi jalan melingkar indah dan unik, diapit dengan restoran dan kafe, diisi dengan kuliner lokal NTT. Kampung wisata adat ini menyerap ribuan sarjana nganggur lulusan perguruan tinggi di NTT.
Ketiga, tokoh Cendana dalam novel Perempuan dari Lembah Mutis (2012) karya Mezra E. Pellondou. Cendana, nama lengkapnya Cendana Putri Sabana, adalah anak yatim piatu yang sehari-hari menggembalakan sapi-sapi bersama teman gadisnya Yohana, di lembah Gunung Mutis dataran sungai Benanain, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Meskipun anak peternak, dia punyai cita-cita setinggi langit. Berkat keuletan dan gemar membaca koran/buku bekas hangutan sungai Benanain, Cendana meraih prestasi gemilang mengantarnya menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB Bandung, beasiswa dari Pemda TTU. Cita-citanya dari kecil tercapai menjadi tenaga teknisi Perusahaan Satelit Jaya, perusahaan satelit terbesar di Indonesia. Meskipun sukses besar di kota, dia tidak lupa membangun kampung halamannya, membuka cabang perusahaan, mendirikan sekolah, dan membangun SDM masyarakat di kampung halamannya di Lembah Mutis.
Keempat, tokoh istri (tanpa nama) dalam novel Perempuan Itu Bermata Saga (2011) karya Agust Dapa Loka. Dia seorang ibu rumah tangga yang awalnya lugu, namun karena situasi dan kekuatan cintanya tulus tanpa pamrih, mampu merawat dan membangkitkan kembali semangat hidup suaminya yang mengalami patah kaki karena kecelakaan lalulintas. Perempuan Sumba bermata saga (merah) ini, tidak hanya telaten siang dan malam merawat sakit sang suami, tetapi juga mengambil alih seluruh tanggung jawab urusan rumah tangga dan pendidikan tiga orang anak perempuan yang masih kecil. Ini contoh yang tulus orang beriman mendapat campur tangan ilahi.
Adakah Perhatian Pemprov NTT?
Sama sekali tidak ada. Pada waktu terbit buku pertama hasil penelitian saya Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012), saya mengirim buku itu disertai dengan surat pengantar ke Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, dan semua Bupati sedaratan Flores dan Lembata. Saya minta tanggapan terhadap buku yang fenomenal itu, menurut saya. Tidak ada satu pun yang memberi respons. Padahal saya mengirimkan juga amplop kosong lengkap dengan perangko untuk dikirim balik ke saya. Sampai kini tidak ada respons dari pejabat manapun. Terakhir saya menulis opini di harian Pos Kupang edisi Selasa, 4 Desember 2018, berjudul “Catatan Sastra untuk Gubernur Viktor Laiskodat.” Saya tidak tahu, apakah opini itu dibaca atau tidak oleh Gubernur Viktor Laiskodat.
Meskipun di NTT tidak mendapat perhatian, di tingkat pusat sebaliknya. Buku pertama saya Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) pada tahun 2014 mendapat hadiah buku insentif untuk dosen diberikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud RI. Buku kedua Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) lolos seleksi Badan Bahasa, Kemendikbud RI sehingga saya menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2 (Munsi 2) pada 18-20 Juli 2017 di Jakarta. Artikel saya yang berjudul “Melacak Jejak Sastra Indonesia di Provinsi NTT” lolos seleksi Badan Bahasa, Kemendikbud RI, sehingga saya menjadi pemakalah/peserta pada Kongres Bahasa Indonesia XI (KBI XI) pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta. Artikel saya berjudul “Sastra Indonesia Warna Daerah NTT” lolos seleksi Badan Bahasa, Kemendikbud RI, sehingga menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3) pada 2-5 November 2020 di Jakarta.
Di samping Badan Bahasa, Program Pascasarjana Undana Kupang juga memberi perhatian khusus atas hasil penelitian saya tentang sastra dan sastrawan NTT. Pertama, pada 9 September 2016, saya diundang menjadi salah satu pemakalah bersama belasan pemakalah lain dalam Seminar Internasioal bertema “Bahasa, Budaya, dan Masyarakat.” Saya membawakan makalah berjudul “Orang NTT di Panggung Sastra.” Kedua, pada 3 Desember 2018 saya diminta memberi kuliah umum di Pascasarjana Undana, dengan judul makalah “Melacak Jejak Sastra Indonesia di Provinsi NTT.” Ketiga, pada 4 Desember 2018, saya diundang menjadi salah satu pemakalah dari 8 pemakalah lain dalam Seminar Nasional yang bertema “Pengembangan Iptek dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan.” Makalah yang saya bawakan berjudul “Pengembangan Potensi Sastra NTT dalam Pembentukan Karakter Bangsa.”
Catatan Sastra untuk Gubernur NTT
Pertama, gencarkan terus program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kini tengah berlangsung. Buku-buku yang dibaca dalam GLS adalah buku-buku sastra karya para sastrawan NTT. Kedua, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk membeli buku-buku sastra karya para sastrawan NTT dan dibagikan secara gratis ke semua perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di seluruh NTT. Ketiga, Pemprov NTT menyelenggarakan berbagai kegiatan festival sastra, lomba baca puisi, cerita rakyat, pementasan drama, lomba resensi buku sastra. Keempat, Pemprov NTT menyiapkan anggaran untuk menggubah karya sastra NTT ke layar lebar, misalnya novel, cerita pendek, atau cerita rakyat, digubah ke dalam bentuk film, sinetron, dan drama panggung.
Pemprov NTT perlu meniru langkah cerdas Pemprov Bangka Belitung (Babel) beberapa tahun lalu yang menyiapkan anggaran khusus untuk menggubah (mengalihkan) novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata asal Belitung menjadi film Laskar Pelangi yang sangat sukses di pasaran. Pulau Belitung yang menjadi latar/seting novel itu akhirnya menjadi sasaran napak tilas para wisatawan yang berkunjung ke Bangka Belitung karena diinspirasi oleh novel dan film Laskar Pelangi. Kini Bangka Belitung menjadi salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia.
Posisi Fritz Meko, SVD, Sebagai Panyair NTT
Bagaimana posisi Fritz Meko, SVD, sebagai penyair di tengah konstelasi penyair NTT dan Indonesia? Bagi saya, Pater Fritz Meko, SVD, adalah salah seorang penulis yang pantas dan layak disebut sebagai penyair. Sebagai penulis kelahiran Timor, beliau pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) Timor. Sebagai penulis berasal dari NTT, pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) NTT. Sebagai warga negara Indonesia yang menulis dalam bahasa Indonesia, Fritz Meko, SVD, pantas dan layak disebut sebagai penyair (sastrawan) Indonesia.
Sampai dengan tahun 2022 ini, Fritz Meko, SVD, yang lahir pada 21 Juni 1963 di Manamas, Timor, telah menerbitkan tiga judul buku antologi puisi. Pertama, buku Jejak-Jejak Peristiwa (2016), berisi 114 puisi. Buku ini beri Pengantar oleh Stephie Kleden-Beetz, seorang kolumnis media cetak di Indonesia dan luar negeri. Diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, dengan tebal 144 halaman. Kedua, buku Kasut Lusuh (2020), berisi 72 puisi. Diberi Pengantar oleh Yohanes Sehandi, seorang pengamat dan kritikus sastra dari Universitas Flores, Ende. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, dengan tebal 155 halaman. Ketiga, buku Sang Mesias (2022), berisi 87 puisi. Diberi Pengantar oleh Narudin Pituin, seorang kritikus sastra dari Jawa Barat. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, tebal 128 halaman.
Saya telah membaca ketiga buku antologi puisi Fritz Meko, SVD. Saya membuat Pengantar untuk buku Kasut Lusuh dengan judul “Refleksi Keseharian Seorang Penyair dengan Sesama, Lingkungan, dan Tuhannya.” Ulasan itu cukup lengkap dengan panjang 26 halaman. Lihat: https://yohanessehandi.blogspot.com/refleksi-keseharian-seorang-penyair_23.html
Sebagian besar puisi Fritz Meko, SVD, bernuansa keagamaan atau religi. Struktur puisinya rapi. Ada yang pendek, setengah panjang, ada pula yang panang. Makna dan pesan puisi-puisinya dengan mudah ditangkap para pembaca. Diksi-diksi yang dipilih tidak rumit, namun indah untuk melukiskan suara batinnya. Penyair ini memang menginginkan agar para pembaca puisinya tidak hanya perlu memahami karyanya dari perspertif sastra, tetapi juga dari perspektif moral dan spiritual. Jadilah puisi-puisi Fritz Meko, SVD, minim bahasa simbol dan metafora yang rumit. Sekali baca langsung ditangkap makna dan pesannya.
Penyair Fritz Meko, SVD, sepertinya punyai prinsip, apalah gunanya menulis puisi yang penuh bahasa simbol dan metafora rumit, kalau tidak dipahami pembaca. Meskipun demikian, bobot literer puisi-puisi Frirz Meko, SVD, tidak berkurang. Itulah sikap kepenyairan Fritz Meko, SVD, dalam menulis puisi-puisinya sehingga membentuk karakternya sendiri. Tidak sedikit pula penyair Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa simbol dan metafora yang rumit.
Sebagian besar puisinya merekam berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari yang dialaminya dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang biarawan SVD, yang kemudian direfleksikan. Berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari itu dilihat penyair secara horisontal, ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Agak khusus buku puisinya yang terbaru, Sang Mesias (2022) memiliki kekhasan tersendiri karena tema-tema puisi bertolak dari cerita Injil Lukas. Ini juga termasuk yang baru dalam sastra Indonesia, khususnya di bidang puisi.
Ciri khas lain, semua puisi penyair Fritz Meko, SVD, dalam ketiga buku puisinya, dapat dilacak atau ditelusuri proses kreatif dan riwayat hidup penciptaannya, karena setiap puisi memiliki kolofon. Kolofon adalah keterangan yang tercantum pada bagian akhir setiap puisi, yang berisi tempat dan tanggal penciptaan sebuah puisi. Misalnya, dalam buku puisi terbaru Sang Mesias (2022), ke-87 puisi yang ada di dalamnya diciptakan penyair dalam dua tahun terakhir, yakni tahun 2020 dan 2021, yang dimulai dari 14 Juni 2020 sampai dengan 25 Desember 2021. Proses penciptaan puisinya sebagian besar terjadi di Surabaya (2020) dan Kupang (2021). Selain Surabaya dan Kupang, penciptaan puisi juga terjadi di Malang, Pandaan, Mojokerto, Gresik, Pacet, Kefamenanu, Pariti, Bello, Tanau, Nenuk, Atambua, Halilulik, Sukabitete, Soe, dan Benlutu.
Gaya berpuisi penyair Fritz Meko, SVD, tidak jauh berbeda dengan seniornya dalam Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD), yang juga penyair religius, yakni Pater John Dami Mukese (1950-2017). John Dami Mukese adalah penyair religius pertama dari NTT yang mampu menembus panggung sastra Indonesia modern dengan berkarya dari daerah di Flores, NTT. John Dami Mukese menulis puisi sejak umur 27 tahun, waktu kuliah di STFK Ledalero (1972-1981). Selama kariernya sebagai penyair, John Dami Mukese telah menulis 250 judul puisi, yang sebagian besar bernuansa religius. Buku puisi John Dami Mukese terkenal adalah Doa-Doa Semesta (1983, 1989, 2015), Puisi-Puisi Jelata (1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996), Puisi Anggur (2004), dan Kupanggil Namamu Madonna (2004). *
Yohanes Sehandi
Lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT. Menyelesaikan Sarjana (S-1) di IKIP Negeri Semarang (1985) dan Magister (S-2) di UMM Malang (2003). Saat ini menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores (Uniflor) Ende. Mengasuh mata kuliah Teori Sastra, Dasar-Dasar Menulis, Menulis Kritik dan Esai, Jurnalistik, dan Bahasa Indonesia. Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga (1985-1988), Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (Stipar) Ende (1990-1999), dan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero) Maumere (1994-1999). Pernah menjadi editor Bidang Bahasa dan Sastra pada Penerbit Nusa Indah, Ende (1989-1999). Pernah menjadi anggota DPRD Provinsi NTT Fraksi PDI Perjuangan selama dua periode (1999-2009). Menjadi peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2 (Munsi 2) pada 18-20 Juli 2017 di Jakarta, peserta Kongres Bahasa Indonesia XI pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta, dan peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3) pada 2-5 November 2020 di Jakarta. Telah menerbitkan sejumlah judul buku, antara lain Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012); Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Penerbit Widya Sari, Salatiga, 2013, 2014, 2015); Mengenal 25 Teori Sastra (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014, 2016, 2018); Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2015); Pengantar Jurnalistik (Penerbit Widya Sari, Salatiga, 2016), Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai (Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2017); Dunia Tulis-Menulis (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2021); dan Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik dan Esai (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2022).
Post a Comment for "Sastra NTT, Kinerja Sastrawan NTT, dan Posisi Fritz Meko, SVD Sebagai Penyair NTT"