Posisi Fritz Meko, SVD, Sebagai Penyair NTT
Siapa yang tidak kenal Fritz Meko, SVD? Beliau adalah seorang penyair dan pegiat media sosial yang cukup populer. Namanya tidak hanya dikenal di tingkat regional NTT, tetapi juga di tingkat nasional.
Bagi saya, Pater Fritz Meko, SVD, yang bernama lengkap Godefridus Meko, SVD, adalah salah seorang penyair NTT atau sastrawan NTT. Beliau juga disebut sebagai penyair Indonesia. Sejumlah puisinya dibahas sejumlah pengamat dan kritikus sastra.
Sampai dengan tahun 2025 ini, penyair Fritz Meko, SVD, yang lahir pada 21 Juni 1963 di Manamas, Timor, telah menerbitkan minimal lima judul buku antologi puisi.
Pertama, buku Jejak-Jejak Peristiwa (2016), berisi 114 puisi. Buku ini diberi Pengantar oleh Stephie Kleden-Beetz, seorang kolumnis media cetak di Indonesia dan luar negeri. Diterbitkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, dengan tebal 144 halaman.
Kedua, buku Kasut Lusuh (2020), berisi 72 puisi. Diberi Pengantar oleh Yohanes Sehandi, seorang pengamat dan kritikus sastra dari Universitas Flores, Ende. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, dengan tebal 155 halaman.
Ketiga, buku Sang Mesias (2022), berisi 87 puisi. Diberi Pengantar oleh Narudin Pituin, seorang kritikus sastra dari Jawa Barat. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, tebal 128 halaman.
Keempat, buku Pertemuan, Antologi Puisi Sufistik (2023) merupakan buku antologi puisi bersama dengan penyair Erna Suminar dari Bandung. Diberi Pengantar oleh Yohanes Sehandi. Dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama Menyusuri Padang Waktu Bersama Erna Suminar berisi 44 judul puisi. Bagian kedua Pada Tepi Harapan Bersama Fritz Meko, SVD, berisi 44 puisi. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, tebal 205 halaman.
Kelima, buku Takjub (2023) berisi 69 puisi. Dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama Jejak Ilahi dalam Peristiwa berisi 51 judul puisi. Bagian kedua Menapak Jejak Sang Mesias berisi 18 puisi. Diterbitkan Penerbit Pohon Cahaya, Yogyakarta, tebal 136 halaman.
Pengamat dan Kritikus
Sastra dari Universitas Flores, Ende
Saya telah membaca keempat buku antologi puisi Fritz Meko, SVD. Saya membuat Pengantar untuk buku Kasut Lusuh dengan judul Pengantar “Refleksi Keseharian Seorang Penyair dengan Sesama, Lingkungan, dan Tuhannya” dan buku Pertemuan, Antologi Puisi Sufistik dengan judul Pengantar "Prasasti Pertemuan Lewat Antologi Puisi."
Sebagian besar puisi Fritz Meko, SVD, bernuansa keagamaan atau religi. Struktur puisinya rapi. Ada yang pendek, setengah panjang, ada pula yang panang. Makna dan pesan puisi-puisinya dengan mudah ditangkap para pembaca. Diksi-diksi yang dipilih tidak rumit, namun indah untuk melukiskan suara batinnya.
Penyair ini memang menginginkan agar para pembaca puisinya tidak hanya perlu memahami karyanya dari perspertif sastra, tetapi juga dari perspektif moral dan spiritual. Jadilah puisi-puisi Fritz Meko, SVD, minim bahasa simbol dan metafora yang rumit. Sekali baca langsung ditangkap makna dan pesannya.
Penyair Fritz Meko, SVD, sepertinya punyai prinsip, apalah gunanya menulis puisi yang penuh bahasa simbol dan metafora rumit, kalau tidak dipahami pembaca. Meskipun demikian, bobot literer puisi-puisi Frirz Meko, SVD, tidak berkurang.
Itulah sikap kepenyairan Fritz Meko, SVD, dalam menulis puisi-puisinya sehingga membentuk karakternya sendiri. Tidak sedikit pula penyair Indonesia yang kurang peduli dengan bahasa simbol dan metafora yang rumit.
Sebagian besar puisinya merekam berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari yang dialaminya dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang biarawan SVD, yang kemudian direfleksikan. Berbagai momen dan peristiwa manusiawi sehari-hari itu dilihat penyair secara horisontal, ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan.
Agak khusus buku puisinya yang berjudul Sang Mesias (2022) memiliki kekhasan tersendiri karena tema-tema puisi bertolak dari cerita Injil Lukas. Ini juga termasuk yang baru dalam sastra Indonesia, khususnya di bidang puisi.
Ciri khas lain, semua puisi penyair Fritz Meko, SVD, dalam kelima buku antologi puisinya, dapat dilacak atau ditelusuri proses kreatif dan riwayat hidup penciptaannya, karena setiap puisi memiliki kolofon. Kolofon adalah keterangan yang tercantum pada bagian akhir setiap puisi, yang berisi tempat dan tanggal penciptaan puisi tersebut.
Misalnya, dalam buku puisi terbaru Sang Mesias (2022), ke-87 puisi yang ada di dalamnya diciptakan penyair dalam dua tahun terakhir, yakni tahun 2020 dan 2021, yang dimulai dari 14 Juni 2020 sampai dengan 25 Desember 2021.
Proses penciptaan puisinya sebagian besar terjadi di Surabaya (2020) dan Kupang (2021). Selain Surabaya dan Kupang, penciptaan puisi juga terjadi di Malang, Pandaan, Mojokerto, Gresik, Pacet, Kefamenanu, Pariti, Bello, Tanau, Nenuk, Atambua, Halilulik, Sukabitete, Soe, dan Benlutu.
Gaya berpuisi penyair Fritz Meko, SVD, tidak jauh berbeda dengan seniornya dalam Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD), yang juga penyair religius, yakni Pater John Dami Mukese (1950-2017). John Dami Mukese adalah penyair religius pertama dari NTT yang mampu menembus panggung sastra Indonesia modern dengan berkarya dari daerah di Flores, NTT.
John Dami Mukese menulis puisi sejak umur 27 tahun, waktu kuliah di STFK Ledalero (1972-1981). Selama kariernya sebagai penyair, John Dami Mukese telah menulis 250 judul puisi, yang sebagian besar bernuansa religius. Puisi panjang John Dami Mukese berjudul "Doa-Doa Semesta" dimuat majalah sastra Horison (memakan 4 halaman) pada 1983).
Buku puisi John Dami Mukese terkenal adalah Doa-Doa Semesta (1983, 1989, 2015), Puisi-Puisi Jelata (1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996), Puisi Anggur (2004), dan Kupanggil Namamu Madonna (2004).
Ende-Flores, 5 April 2025
Oleh
Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende
Post a Comment for "Posisi Fritz Meko, SVD, Sebagai Penyair NTT"