Kritik Sastra Indonesia Mutakhir Gaya Narudin
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Email yohanessehandi@gmail.com
ABSTRACT
This research attempts to critically examine the book of literary criticism by critic Narudin entitled Indonesian Literature in World Literature, a Collection of Essays and Literary Criticism (2023). This book was published by Mahara Publishing, Tangerang. The book is 418 pages thick. ISBN number 978-602-466-241-7. Narudin is one of the latest Indonesian literary critics who is quite productive and prominent in the post-reformation era. He tried not to follow the style of Indonesian literary critics in the pre-Post-Reformation era. Narudin has a critical style that is typical of Narudin. In critically examining this book, the author uses descriptive historical research methods. The descriptive historical method is a research method that critically traces the history of the past growth and development of a research object by carefully considering the validity of the object and then interpreting and describing it. The data collection technique used is library research. The book studied as a research object is read carefully. The results of the research show that Narudin's literary criticism style shows its own characteristics which are different from the critical styles of critics in previous eras, such as the critical style of Sutan Takdir Alisjahbana (STA) in the 1930s, the critical style of H.B. Jassin from the 1940s to the 1960s, the critical style of the Rawamangun School from the 1970s to the 1980s, and the critical style of literary critics before the post-reformation era in the 2000s. Narudin consistently adheres to language conventions and literary conventions in studying the literary works he criticizes. He followed the advice of scientist and literary critic A. Teeuw. He also consistently uses theories of contemporary literary criticism (postructuralism) from the West as his main guide. The emphasis of Narudin's critical approach is on the literary work itself, such as the intrinsic approach of Rene Wellek and Austin Warren (1962) and the objective approach of M.H. Abrams (1971). Meanwhile, the theory of literary criticism that Narudin uses is the Semiotic Theory of Charles Sander Peirce. Other theories used by Narudin are the Structuralism Theory from Ferdinand de Saussure, the Deconstruction Theory from Jacques Derrida, and the Hermeneutics Theory from Paul Ricoeur.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Gaya kritik Narudin khas. Dia berusaha untuk tidak meniru atau mengikuti gaya kritik sastra pada era-era sebelumnya. Gaya kritik Narudin berbeda jauh dari gaya kritik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada era tahun 1930-an. STA adalah perintis penulisan esai dan kritik sastra di Indonesia lewat majalah Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe.
Narudin membangun gaya kritik sastranya dengan berpegang teguh pada konsep dan prinsip teori kritik sastra dari Barat yang diyakininya sebagai kritik sastra yang rasional dan proporsional. Dengan sadar Narudin menggunakan teori-teori sastra kontemporer dari Barat itu yang mengandalkan rasionalitas berdasarkan teori-teori sastra itu.
Kekhasannya ini akhirnya menjelma menjadi “gaya kritik Narudin.” Narudin secara konsisten mengkritik karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi, dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dari Charles Sanders Peirce yang unsurnya terdiri atas ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas.
Ikonisitas adalah kemiripan tanda. Ikonisitas terdiri atas (1) ikonisitas bentuk atau gambar berupa lukisan atau sketsa (topologis); (2) ikonisitas struktural (kata-kata); dan (3) ikonisitas metaforis (kiasan). Indeksikalitas adalah sebab-akibat atau isyarat tanda. Sedangkan simbolisitas adalah lambang tanda. Trikotomi Analisis Semiotik dari Charles Sanders Peirce sering pula disebut sebagai Triadik Peircean, yang terdiri atas icon (gambar), index (isyarat), dan symbol (lambang).
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam resensi atau telaah kritis buku ini adalah metode historis deskriptif. Metode historis deskriptif adalah metode penelitian yang dengan kritis menelusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangan masa lampau objek penelitian dengan menimbang dengan cermat validitas objek tersebut dari berbagai sumber sejarah kemudian diinterpretasi dan dideskripsikan (Suyanto, dkk. 2015: xv). Ketepatan metode penelitian yang dipilih berimplikasi pada kesahihan dan keabsahan hasil penelitian diperoleh (Qalyubi, 2021: 331).
Sumber data kepustakaan yang digunakan berupa dokumen tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar di berbagai perpustakaan, antara lain perpustakaan daerah NTT di Kupang, perpustakaan Universitas Flores di Ende, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Jakarta, dan perpustakaan pribadi penulis.
Metode penelitian historis deskriptif ini memperlakukan data sejarah sebagai sesuatu yang bermakna secara intrinsik terutama yang bersifat induktif, subjektif, dinamis, dan diakhiri dengan temuan sebagai kesimpulan. Mekanisme kerja metode historis deskriptif adalah dengan menelusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangan pengalaman masa lampau dari objek penelitian secara akurat, menyajikan fakta dan data secara sistematis berdasarkan hasil studi pustaka dan dokumentasi, kemudian membaca dengan cermat buku yang diresensi. Terakhir dilakukan deskripsi secara kualitatif tentang kekhasan gaya kritik Narudin dengan gaya kritik pada era-era sebelumnya.
Objek penelitian ini adalah sebuah buku kumpulan esai dan kritik sastra berjudul Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra karya kritikus Narudin. Nama Penerbit Mahara Publising, Tangerang. Tahun terbit 2023. Tebal buku 418 halaman. Nomor ISBN 978-602-466-241-7. Buku ini merupakan kumpulan 55 esai dan kritik sastra. Dibagi dua bagian. Bagian 1 Esai Sastra terdiri atas 30 esai sastra. Bagian 2 Kritik Sastra terdiri atas 25 kritik sastra.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gaya Kritik Sastra Sebelum Reformasi
Kritik sastra Indonesia yang dirintis Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada era tahun 1930-an lebih sebagai pembicaraan tentang sastra dan karya sastra. Gaya kritik STA itu terlihat pada majalah Pandji Poestaka dan majalah Poedjangga Baroe yang terbit tahun 1930-an. Tidak ada perbedaan antara kritik sastra dan esai sastra. Tidak pula disinggung teori sastra dalam melakukan pembicaraan terhadap sastra dan karya sastra. Pada era itu memang dunia sastra Indonesia belum dimasuki apa yang disebut teori sastra dari Barat, apalagi teori kritik sastra.
Kritik sastra pada era berikutnya, yakni era H. B. Jassin tahun 1940-an sampai tahun 1960-an sudah selangkah lebih maju. Jassin sudah mulai membedakan antara kritik sastra dengan esai sastra, meskipun dalam praktiknya belum jelas benar perbedaannya. Dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya (1983: 95) Jassin mendefinisikan kritik sastra sebagai penilaian baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.
Namun, dalam buku kumpulan kritik dan esainya yang berjumlah sampai empat jilid, berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1954, 1955, 1962, 1967) Jassin tidak membedakan mana tulisan yang masuk dalam jenis kritik sastra, mana tulisan jenis esai sastra. Yang menonjol pada Jassin adalah gaya kritiknya yang bersifat impresionistik dan bertujuan utama memberi apresiasi. Tidak disebutkan jenis pendekatan dan teori sastra yang digunakan Jassin.
Kritik sastra Aliran Rawamangun pada era tahun 1970-an sampai 1980-an, sudah mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan kritik sastra dari Barat. Para pengikut aliran kritik sastra ini yang sebagian besar adalah dosen FS-UI sudah mengenal teori sastra. Kritik sastra Indonesia pada masa ini sudah dimasuki teori sastra dari Barat, terutama yang dibawakan ilmuwan sastra A. Teeuw (1921-2012).
Adapun pendekatan sastra yang dikenal luas pada era ini adalah pendekatan intrinsik dan ekstrinsik dari Rene Wellek dan Austin Warren lewat bukunya Theory of Literature (1962) dan pendekatan universe dari M. H. Abrams (1912-2015) lewat bukunya The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (1971).
Teori sastra dan teori kritik sastra yang digandrungi para kritikus akademik dari FS-UI itu adalah teori strukturalisme yang dikembangkan linguis Ferdinand de Saussure (1857-1913). Memang ada sejumlah teori kritik sastra lain, namun jarang digunakan. Dominasi kritik sastra strukturalisme Aliran Rawamangun inilah yang memicu munculnya gugatan dari Arief Budiman dan Goenawan Mohammad dengan mengajukan kritik Metode Ganzheit sebagai metode kritik sastra tandingan.
Kalau Aliran Rawamangun membedah karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yang disebut unsur-unsur intrinsik, Metode Ganzeit bertolak dari psikologi Gestalt, memandang karya sastra sebagai satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Gaya kritik sastra pada era tahun 1990-an sampai tahun 2000-an sudah beragam. Para kritikus era ini ada yang berasal dari FS-UI, ada pula yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Pada era ini, ada kritikus yang meneruskan gaya kritik impresionistik H. B. Jassin, ada pula yang mengikuti gaya kritik strukturalisme Aliran Rawamangun. Mereka antara lain Umar Junus, Mursal Esten, Subagio Sastrowardoyo, Dami N. Toda, dan lain-lain. Ada pula kritikus yang menggunakan disiplin ilmu lain (multidisiplin) guna memperkuat bobot kritiknya, seperti yang dilakukan Jakob Sumardjo, Ignas Kleden, Korrie Layun Rampan, dan lain-lain.
Pada era Pascareformasi tahun 2000-an yang berlanjut pada tahun 2010-an, tidak banyak muncul kritikus baru di panggung sastra Indonesia. Sejak tahun 2000-an dunia kritik sastra Indonesia penyebarannya tidak fokus lagi pada media massa cetak dan penerbitan buku yang mudah dilacak, tetapi juga disebarkan lewat media digital (media sosial) yang tidak mudah lagi dilacak.
Pada era Pascaferormasi ini, tampil kembali sebagian besar kritikus yang sudah sepuh, yang sudah dikenal pada era tahun 1980-an dan 1990-an, antara lain Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Jakon Sumardjo, Ignas Kleden, Ajib Rosidi, Rachmat Djoko Pradopo, dan Maman S. Mahayana. Gaya kritik para kritikus sastra pada era ini tidak banyak berubah dengan era 1980-an dan 1990-an.
Pada era Pascareformasi ini patut disebut secara khusus peran kritikus Maman S. Mahayana dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Beliau tidak hanya sangat produktif dalam menulis kritik sastra, dia juga tampil familiar di kalangan kritikus sastra umum (media massa) dan kritikus sastra akademik. Mahayana memainkan peran strategis mendamaikan dua arus kritik sastra Indonesia yang sering berseberangan, yakni arus kritik sastra umum yang basisnya media massa cetak dan arus kritik sastra akademik yang basisnya di perguruan tinggi.
Dalam bukunya Kitab Kritik Sastra (2015: lxiii-lxiv), Mahayana menyebut kedua arus kritik sastra ini tidak bertentangan satu sama lain, tetapi saling melengkapi, meski berada dalam wilayah kekuasaan yang berbeda. Kedua arus kritik sastra ini masing-masing telah memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan kritik sastra Indonesia modern. Mahayana juga menepis adanya krisis kritik sastra dalam sastra Indonesia.
Gaya Kritik Sastra Pascareformasi
Setelah melewati berbagai era kritik sastra Indonesia dari tahun 1930-an sampai dengan era Pascareformasi tahun 2000-an, sebagaimana dijelaskan secara singkat di atas, memasuki tahun 2010-an, gaya kritik sastra Indonesia memasuki era baru.
Era baru ini bisa disebut sebagai era kritik sastra Indonesia mutakhir, yakni era kritik sastra yang terbaru. Kritik sastra Indonesia pada era mutakhir ini ditandai dengan penggunaan teori sastra kontemporer dari Barat sebagai landasan berpijak menulis kritik sastra. Kritik sastra era mutakhir ini, menurut hemat penulis, dimulai oleh kritikus Narudin, yang dengan serius menulis kritik sastra sejak tahun 2015.
Siapakah Narudin? Narudin lahir di Subang, Jawa Barat, pada 15 Oktober 1982. Dalam media sosial Facebook, kritikus berusia muda ini menggunakan nama Narudin Pituin. Dia lulusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada 2006. Pernah menjadi dosen di Universitas Islam As-Syafiiah (UIA), Universitas Indonesia Esa Unggul (UIEU) Jakarta, ARS International School, dan UPI Bandung. Sejak lulus SMU, drama-drama berbahasa Inggrisnya pernah meraih beberapa penghargaan tingkat Jawa Barat.
Pada 2007, tercatat menjadi Duta Bahasa Jawa Barat, kemudian menjadi Duta Bahasa Berprestasi 2015 Jawa Barat. Pada 2014 menjadi pemenang lomba menulis puisi religius Majelis Sastra Bandung. Pada 2016 menjadi salah satu pemenang lomba menulis puisi Alquran, Parmusi. 2016. Pada 2018 menjadi Pemenang Anugerah Puisi CSH 2018 untuk buku puisinya berjudul Di Atas Tirai-Tirai Berlompatan (2017). Di samping menulis esai dan kritik sastra, Narudin juga menulis puisi dan cerpen, menerjemahkan berbagai puisi dan buku puisi dari bahasa Inggris ke Indonesia, juga sebaliknya.
Dari berbagai aktivitas Narudin dalam bidang sastra, yang paling menonjol adalah bidang penulisan esai dan kritik sastra. Jejak kritik sastra Narudin dapat ditelusuri sejak 2015 melalui tulisan-tulisannya di berbagai media cetak dan media online, juga lewat makalah yang disajikannya dalam berbagai seminar berskala nasional dan internasional.
Buku kritik sastra Narudin yang sudah terbit berjudul Kata, Makna, dan Komunikasi (Sodoarjo, Meja Tamu, 2019). Diberi Pengantar oleh Dr. Sunu Wasono, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Buku Narudin ini berisi 23 tulisan esai dan kritik sastra. Adapun perinciannya, Bab I Esai/Makalah Sastra, berisi lima tulisan, Bab II Kritik Puisi, berisi enam tulisan, Bab III Kritik Buku Puisi, berisi 12 tulisan.
Gaya kritik kritik sastra khas Narudin sudah terlihat dalam buku Kata, Makna, dan Komunikasi di atas. Gaya kritik sastra khas Narudin terasa semakin jelas dalam buku yang diresensi ini, Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023). Prinsip dan konsep kritik sastra Narudin, baik yang diinspirasi oleh pendapat ilmuwan dan kritikus sastra tingkat dunia, terutama dari Barat, maupun prinsip dan konsep kritik sastra yang dibangunnya sendiri. Hal itu tergambar jelas dalam buku kritik sastra terbaru yang diresensi ini.
Tulisan-tulisan dalam buku ini termasuk jenis kritik akademik dengan pendasaran sejumlah teori sastra kontemporer. Teori sastra kontemporer itu tidak diterima begitu saja oleh Narudin, tetapi dikembangkan sehingga tetap terjaga gaya kritik Narudin yang lugas, rasional, dan orisinal. Sebanyak 55 judul tulisan dalam buku ini.
Tulisan-tulisan ini berasal dari media massa, bedah buku, Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 3 (Munsi 3), seminar sastra tingkat nasional dan internasional, diskusi buku sastra, dan catatan pribadi. Bagian 1 Esai Sastra, berisi 30 tulisan, Bagian 2 Kritik Sastra, berisi 25 tulisan. Tulisan-tulisan pada Bagian 2, sebagian besar berisi kritik puisi. Panjang tulisan bervariasi, ada yang pendek, ada yang sedang, ada pula yang panjang.
Sebagi kritikus, Narudin berpendirian bahwa kritikus sastra adalah seorang pembaca ahli karya sastra. Pembaca ahli yang lain adalah kurator, redaktur, dan editor sastra pada penerbit dan media massa. Kritikus sastra yang baik, analisisnya harus sampai pada tingkat rasionalisasi atau pembuktian dengan benar.
Kritikus yang hebat juga, menurut Narudin, harus mengalami dua hal berikut, yakni mampu “menikmati” karya sastra dan mampu “memahami” karya sastra. Harus mampu kedua-duanya. Jika hanya mampu menikmati saja, maka ia akan tergelincir ke dalam jurang hiburan semata-mata atau pelepas waktu senggang. Jika hanya mampu memahami saja, ia akan tergelincir ke dalam sumur kering, laksana kerangka tanpa daging.
Gaya Kritik Sastra Khas Narudin
Buku Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra (2023) ini menunjukkan gaya kritik sastra khas Narudin. Dia berusaha untuk tidak meniru gaya kritik sastra pada era-era tempo dahulu. Narudin membangun gaya kritik sastranya sendiri dengan berpegang teguh pada sejumlah konsep dan prinsip kritik sastra yang diyakininya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Narudin dengan sadar menggunakan teori-teori kritik sastra kontemporer untuk menjaga rasionalitas guna pembuktian dengan benar atas hasil kritik sastra yang dilakukannya.
Narudin secara konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkaji karya-karya sastra yang dikritiknya, sebagaimana disarankan ilmuwan sastra A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra (1984).
Penggunaan bahasa yang baik dan benar menjadi syarat mutlak untuk menulis karya sastra bermutu. Narudin mengingatkan bahwa penciptaan karya sastra harus dimulai dari konvensi bahasa sebagai medium ekspresinya. Bahasa atau kata-kata adalah simbol pertama dan utama yang dikenal manusia yang senang menulis dan gemar berbicara.
Ejaan sebagai perangkat bahasa tulis yang pertama dan utama harus menjadi standar penulisan karya sastra yang baik dan benar, yang meliputi penggunaan huruf (huruf besar, miring, dan tebal), penulisan kata, penulisan singkatan, akronim, pemilihan kata (diksi), dan penyusunan kalimat. Menjadi keharusan bagi seorang penulis sastra untuk berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Puisi yang bagus adalah puisi yang lengkap secara metodis dan hakiki, yakni tubuh dan jiwa puisi padu. Hubungan keduanya laksana relasi organis, bukan relasi mekanis. Jika ada penyair yang tidak mementingkan tubuh (rusak bentuk, termasuk bahasa puisinya kacau), tentu jiwa saja yang ada. Dan jika hanya jiwa saja yang ada, tentu bagaikan siluman, jiwa tanpa tubuh. Jika sekadar tubuh saja tanpa jiwa, tubuh itu akan mati.
Di samping konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkritisi karya sastra, Narudin juga secara konsisten menggunakan teori-teori kritik sastra kontemporer (postrukturalisme) dalam praktik kritik sastranya. Pendekatan yang sering digunakannya adalah pendekatan yang menitikberatkan kajian terhadap karya sastra itu sendiri, seperti pendekatan intrinsik dari Rene Wellek dan Austin Warren (1962) dan pendekatan objektif dari M. H. Abrams (1971).
Sedangkan teori kritik sastra yang dominan digunakan Narudin adalah Teori Semiotika dari Charles Sander Peirce (1839-1914). Teori lain yang dignakan Narudin adalah Terori Strukturalisme dari Ferdinand de Saussure (1857-1913), Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida (1930-2004), dan Teori Hermeneutika dari Paul Ricoeur (1913-2005).
Trikotomi Analisis Semiotik Narudin
Khusus tentang Teori Semiotika, Narudin sangat menguasai dan menjiwainya, bahkan telah mengembangkan teori ini dalam bukunya Semiotika Dialektis (2020) yang diterbitkan UPI Press, Bandung. Dalam buku tipis ini Narudin menguraikan dengan bagus Teori Semiotika dan Trikotomi Analisis Semiotik.
Pada Bagian 2 Kritik Sastra buku Sastra Indonesia dalam Sastra Duniak Kumpulan Esai dan Kritik Sastra ini, Narudin dengan percaya diri menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dalam mengkritik karya-karya sastra yang dibedahnya. Hampir semua ulasan Narudin pada Bagian 2 buku ini, menggunakan Teori Semiotika dan beberapa teori-teori kritik sastra kontemporer yang lain.
Narudin secara konsisten mengkritik karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dari Charles Sanders Peirce. Trikotomi Analisis Semiotik terdiri atas ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas. Ikonisitas adalah kemiripan tanda.
Ikonisitas terdiri atas (1) ikonisitas bentuk atau gambar berupa lukisan atau sketsa (topologis), (2) ikonisitas struktural (kata-kata), dan (3) ikonisitas metaforis (kiasan). Indeksikalitas adalah sebab-akibat atau isyarat tanda. Sedangkan simbolisitas adalah lambang tanda. Trikotomi Analisis Semiotik sering pula disebut sebagai Triadik Peircean, yang terdiri atas icon (gambar), index (isyarat), dan symbol (lambang).
Karya sastra Indonesia, terutama puisi, yang dikaji Narudin dalam buku ini menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik atau Triadik Peircean dari Charles Sander Peirce, antara lain (1) Buku Gajah Mina (2021) yang merupakan gabungan lukisan, sketsa, dan puisi, karya bersama Made Gunawan (pelukis) dan Dewa Putu Sahadewa (penyair); (2) Puisi “Kekasihku” karya penyair asal Malaysia, Norawi HJ Kata; (3) Puisi “Rayulah Aku” karya penyair asal Maluku Utara, Syahrian Khamary; (4) Puisi “Misal” karya penyair mapan Joko Pinurbo; (5) Puisi “Aku Ingin” karya penyair maestro Indonesia, Sapardi Djoko Damono; (6) Puisi “Calonarang” dan “Rejang Renteng” karya penyair asal Bali, I Wayan Dibia; (7) Buku puisi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2019 yang berjudul Anjing Gunung (2018) karya penyair asal NTB, Irma Agryanti; (8) Buku puisi pemenang Hari Puisi Indonesia (HPI) 2020 berjudul Jangan Lupa Bercinta! (2020) karya penyair mapan Yudhistira ANM Massardi; (9) Buku puisi Testimoni di Kandang Sapi (2021) karya penyair asal Sulawesi Selatan, Andi Mahrus; (10) Buku puisi Nyanyian Hujan (2021) karya penyair asal Sumatera Utara, Shafwan Hadi Umry; (11) Puisi “Wahai Pemuda Mana Telurmu?” karya penyair maestro Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri; dan (12) Buku novel Gadis Kecil Kidul Kretek (2020) karya Septriana Murdiani.
Di samping menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik atau Triadik Peircean dalam mengkritik karya-karya sastra Indonesia, Narudin juga menggunakan Teori Dekonstruksi, antara lain dalam mengkritik buku puisi Nausea: Kota Dalam Telepon Genggam (2021) karya penyair Irawan Sandhya Wiraatmaja, dan Teori Hermeneutika dalam mengkritik buku prosa 100 Cerita Inspiratif (2021) karya Ni Made Sri Andani.
Dengan bermodalkan Trikotomi Analisis Semiotik dan beberapa teori sastra kontemporer, Narudin membongkar sejumlah buku puisi yang menjadi pemenang terbaik atau mendapat penghargaan sastra bergengsi di Indonesia belakangan ini.
Praktik Kritik Sastra Narudisn
Sejumlah buku puisi yang dibongkar Narudin yang menunjukkan kekhasan gaya kritiknya, antara lain (1) Buku puisi pemenang HPI 2019 (Hari Puisi Indonesia) yang berjudul Mencatat Demam karya Willy Fahmy Agiska; (2) Buku puisi penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud 2019 yang berjudul Jalan Lain Ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono; dan (3) Buku puisi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2019 yang berjudul Anjing Gunung karya Irma Agryanti.
Menurut Narudin, buku puisi Mencatat Demam karya Willy Fahmy Agiska bermasalah dalam hal konvensi bahasa (poros sintagmatis dan poros paradigmatis) sehingga koherensi makna (semantik) menjadi kacau-balau dan puisi-puisinya tidak tersampaikan dengan baik kepada pihak pembaca (pragmatik).
Buku puisi Jalan Lain Ke Majapahit karya Dadang Ari Murtono, menurut Narudin, judulnya tidak kreatif, mengingatkan kita kepada judul cerpen Idrus tempo dahulu yang berjudul “Jalan Lain ke Roma,” dan deotomatisasi atavisme Dadang Ari Murtono tak didukung kompetensi linguistik dan kompetensi literer yang baik sehingga deotomatisasi warna lokalnya menyimpang secara tak fungsional atau melanggar fungsi puitis Jakobsonan.
Sedangkan buku puisi Anjing Gunung karya Irma Agryanti, menurut Narudin, penyairnya belum mengerti perbedaan antara arti (meaning) dan makna (meaning of meaning) dalam tradisi semiotika sehingga buku puisinya mengandung simbol pribadi (private symbol) yang melimpah dan sukar dimaknai, baik ditinjau dari segi sinkronis-linguistik maupun ditinjau dari segi diakronis-linguistik.
Salah satu kajian Narudin cukup menarik dengan menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik adalah kajian atas buku Gajah Mina (2021) karya pelukis Made Gunawan dan penyair Dewa Putu Sahadewa. Buku ini berisi gabungan antara lukisan, sketsa, dan puisi. Lukisan dan sketsa ditulis pelukis Made Gunawan, sedangkan puisi ditulis penyair Dewa Putu Sahadewa.
Secara Semiotik, lukisan, sketsa, dan puisi adalah tanda. Narudin berhasil membongkar rahasia lukisan, rahasia sketsa, dan rahasia puisi dalam Gajah Mina ini dengan menggunakan Trikotomi Analisis Semiotik dengan perangkatnya ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas.
Membaca kajian Narudin atas buku Gajah Mina di atas, mengingatkan kita pada ulasan menarik kritikus Dami N. Toda tahun 1980-an tentang puisi konkret karya sejumlah penyair dunia dan penyair Indonesia dalam bukunya Hamba-Hamba Kebudayaan (1984: 94-109).
Sumber ulasan Dami N. Toda berasal dari arena Pameran Puisi Konkrit di Jakarta, yang diikuti para penyair Indonesia, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Adri Darmadji Woko, dan lain-lain. Waktu menulis esai itu pada tahun 1980-an, Dami N. Toda tidak menggunakan jenis teori sastra apapun, kini Narudin menganalisis puisi konkret serupa berupa lukisan dan sketsa karya Made Gunawan dengan menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik yang lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
KESIMPULAN
Salah satu kritikus sastra Indonesia mutakhir yang cukup menonjol pada era Pascareformasi ini adalah kritikus Narudin. Gaya kritik sastra Narudin menunjukkan kekhasan tersendiri. Dia berusaha untuk tidak meniru gaya kritik sastra pada era-era sebelumnya. Narudin membangun gaya kritik sastranya secara konsisten dengan berpegang teguh pada konsep dan prinsip kritik sastra dari Barat yang diyakininya sebagai kritik sastra yang rasional dan proporsional.
Dengan sadar Narudin menggunakan teori-teori sastra kontemporer yang berasal dari Barat dan mengandalkan rasionalitas berdasarkan teori-teori sastra itu. Kekhasan kritiknya ini akhirnya menjelma menjadi “gaya kritik Narudin.” Gaya kritik Narudin berbeda jauh dari gaya kritik Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada era 1930-an. Berbeda dengan gaya kritik H. B. Jassin pada era 1940-an sampai 1950-an.
Berbeda pula dengan gaya kritik Aliran Rawamangun pada era 1960-an sampai 1980-an yang dimotori sejumlah dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI), seperti M. S. Hutagalung, J. U. Nasution, Saleh Saad, dan kawan-kawan. Berbeda pula dengan gaya kritik pada era 1990-an sampai era 2000-an, antara lain Mursal Esten, Dami N. Toda, Ajib Rosidi, Korrie Layun Rampan, Sapardi Djoko Damono, Rachmat Djoko Pradopo, Budi Darma, Jakob Sumardjo, Maman S. Mahayana, dan lain-lain.
Narudin secara konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkaji karya-karya sastra yang dikritiknya. Di samping konsisten berpegang teguh pada konvensi bahasa dan konvensi sastra dalam mengkritisi karya-karya sastra, Narudin juga secara konsisten menggunakan teori-teori kritik sastra kontemporer (postrukturalisme) dalam praktik kritik sastranya. Pendekatan yang sering digunakan Narudin adalah pendekatan intrinsik dari Rene Wellek dan Austin Warren (1962) dan pendekatan objektif dari M. H. Abrams (1971).
Sedangkan teori kritik sastra yang dominan digunakan Narudin adalah Teori Semiotika dari Charles Sander Peirce. Teori lain yang dignakan, antara lain Terori Strukturalisme dari Ferdinand de Saussure, Teori Dekonstruksi dari Jacques Derrida, dan Teori Hermeneutika dari Paul Ricoeur.
Khusus tentang Teori Semiotika, Narudin sangat menguasai dan menjiwainya, bahkan telah mengembangkan teori ini dalam bukunya Semiotika Dialektis (2020). Dalam buku tipis ini Narudin menguraikan dengan bagus Teori Semiotika dan Trikotomi Analisis Semiotik. Pada Bagian 2 Kritik Sastra buku ini, Narudin dengan percaya diri menggunakan pisau bedah Trikotomi Analisis Semiotik dalam mengkritik karya-karya sastra yang dibedahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abrams, M.H. 1971. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and
the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Kenzim, K. Norman &
Collin, S. Yvonna. 2011. The Sage
Handbook: Qualitative Research I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Cetakan ke-7. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Narudin. 2019. Kata, Makna, dan Komunikasi. Sidoarjo: Meja Tamu.
Narudin. 2020. Epistemofilia, Dialektika Teori Sastra Kontemporer. Pasuruan: Qiara
Media.
Narudin. 2020. Semiotika Dialektis. Bandung: UPI.
Narudin. 2023. Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia, Kumpulan Esai dan Kritik Sastra.
Tangerang: Mahara Publising.
Qalyubi, Imam. 2021. “Tilas Rempah dalam
Tradisi Tutur dan Teks di Kalimantan Tengah,” dalam Sastra Rempah (Editor Novi Anoegrajekti, dkk.), halaman 325-342. Yogyakarta:
Kanisius,
Sehandi, Yohanes. 2017. Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan
Esai. Yogyakarta: Ombak.
Sehandi, Yohanes. 2018. Mengenal 25 Teori Sastra. Cetakan ke-3.
Yogyakarta: Ombak.
Sehandi, Yohanes. 2022. Sastra Indonesia Pascareformasi dalam Kritik
dan Esai. Jakarta: Kosa Kata Kita.
Suyanto, Bagong dan Sutinah.
2015. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Edisi Ketiga. Jakarta: Prenada Media Group.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toda, Dami N. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Wellek, Rene dan Austin
Warren. 1993. Teori Kesusastraan.
Cetakan ke-3. Jakarta: Gramedia.
(Artikel ilmiah ini telah
dimuat dalam Jurnal Ilmiah Telaah, Volume
9, Nomor 2, Juli 2024, Halaman 202-209)
Post a Comment for "Kritik Sastra Indonesia Mutakhir Gaya Narudin"