Sejarah Singkat Kritik Sastra Indonesia Modern
Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan kritik sastra di Indonesia? Dalam buku Kitab Kritik Sastra (2015, halaman xlvi) Maman S. Mahayana menegaskan bahwa kritik sastra Indonesia bukan diadopsi pemikiran kritik sastra dari Barat. Tradisi kritik sastra Indonesia bermula dari Indonesia sendiri, bukan dari Barat.
Menurut Mahayana, salah satu keunikan kritik sastra Indonesia adalah awal perjalanannya yang hadir semarak di media massa, yaitu di majalah dan surat kabar. Pada saat itu belum ada lembaga atau institusi yang khusus mempelajari kesusastraan. Ulasan atau tanggapan atas karya sastra yang terbit di media masa ketika itu semata-mata bertujuan apresiatif. Awalnya, antara esai sastra dan kritik sastra beriring sejalan, belum bisa dipisahkan. Semangatnya menyemarakkan kehidupan dunia sastra Indonesia agar lebih berperan mengangkat martabat bangsa Indonesia.
Berdasarkan hasil studi Mahayana melalui buku yang telah disebutkan di atas, istilah kritik kesusastraan di Indonesia pertama kali mucul di majalah Pandji Poestaka ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyelenggarakan rubrik bertajuk “Memadjoekan Kesoesastraan” dalam majalah tersebut. Dalam rubrik itu STA mengulas puisi-puisi yang dimuat. Ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan mengungkapkan gagasannya.
Dalam majalah Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932 Tahun X, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan” tulisan STA. Menurut Mahayana, inilah artikel pertama yang secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesoesastraan” dalam sastra Indonesia. Sejak saat itulah istilah “kritik sastra” banyak digunakan untuk menunjuk sebuah tulisan (esai atau artikel di media massa) yang membicarakan (karya) sastra sebagai kritik sastra. Dalam perjalanannya, selepas STA keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Dalam majalah terbaru inilah tulisan-tulisan yang bersifat kritik sastra, juga teori sastra, semakin banyak bermunculan.
Kritik sastra yang diperkenalkan STA sebagaimana dijelaskan di atas, baik mulai dari majalah Pandji Poestaka maupun di majalah Poedjangga Baroe adalah kritik sastra yang pada awalnya semata-mata berdasarkan impresi dan intuisi. Lebih bersifat apresiatif. Sudah barang tentu STA pada waktu itu tidak berpretensi membangun sebuah paradigma ilmiah di bidang kritik sastra. Ia sekadar membuat apresiasi atas hasil kesusastraan. Semangatnya hendak menyemarakkan dunia baru menuju masyarakat dan kebudayaan baru Indonesia yang merupakan visi dasar STA di bidang kebudayaan.
Majalah Poedjangga Baroe dalam perjalanan sejarah ternyata memberi pengaruh besar dalam hal memajukan kesusastraan dan kritik sastra Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Semuanya terjadi di media massa (majalah dan surat kabar). Belum ada buku khusus yang berisi ulasan atau kajian terhadap karya sastra. Dengan demikian, sebelum Indonesia merdeka, belum ada buku kritik sastra diterbitkan. Dinamika kritik sastra hanya terjadi dalam dunia media massa.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, kritik sastra di Indonesia bertumbuh dan berkembang pesat. Kritikus sastra pun mulai bermunculan. Berbagai buku antologi puisi dan cerpen serta antologi esai dan kritik sastra dan buku-buku pelajaran mendapatkan lahan yang subur. Meskipun demikian sebagian besar buku-buku yang terbit itu bukanlah berupa kajian mendalam mengenai karya sastra, melainkan gambaran selintasan tentang sastra Indonesia.
H.B. Jassin (1917-2000)
Dalam perkembangannya, kritikus yang paling menonjol dan sangat produktif adalah H.B. Jassin (1917-2000). Jassin tidak hanya membuat kritik sastra terus-menerus, tetapi juga membuat dokumentasi sastra terus-menerus sampai akhir hayatnya.
Kedudukan kritik sastra dalam sastra Indonesia menjadi kokoh setelah H.B. Jassin menerbitkan bukunya yang sangat terkenal dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1954) yang kemudian dikembangkan dan diperluas wilayahnya hingga mencapai empat jilid dan dicetak ulang berkali-kali.
H.B. Jassin pun menerbitkan banyak buku berkaitan dengan kritik dan esai sastra, buku teori dan sejarah sastra Indonesia. Dapat disebutkan, antara lain Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (1948), Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1951), Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), Surat-Surat 1943-1983 (1984).
Buku-buku kritik sastra H.B. Jassin inilah kemudian menjadi acuan dan model kritik sastra Indonesia selanjutnya. Kritikus sastra Indonesia lain yang dikenal cukup luas sampai dengan saat ini, antara lain A. Teeuw, M.S. Hutagalung, Umar Junus, Dami N. Toda, Jakob Sumardjo, Ignas Kleden, Maman S. Mahayana, dan lain-lain.
Pada 31 Oktober 1968 berlangsung pertemuan heboh di bidang kritik sastra dengan nama “Diskusi Kritik Sastra” bertempat di Bandung. Dalam diskusi itu muncul dua aliran yang berbeda pandangan tentang kritik sastra Idonesia. Pandangan pertama berasal dari dunia akademik (ilmiah) yang diwakili sejumlah dosen dan peneliti sastra dari Universitas Indonesia (UI), yakni J. U. Nasution, Saleh Saad, M. S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali yang kemudian pandangan mereka disebut Kritik Sastra Aliran Rawamangun (nama tempat Fakultas Sastra UI). Aliran Rawamangun ini berpandangan bahwa karya sastra terdiri atas unsur-usur yang membentuknya yang disebut unsur-unsur intrinsik. Dan alat bedah yang dipakai untuk menelaah karya sastra mereka adalah teori strukturalisme.
Pandangan kedua berasal dari sejumlah sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Salim Said, dan sejumlah sastrawan lain, yang kemudian mereka memperkenalkan nama kritik sastranya Metode Kritik Ganzheit (dari bidang studi psikologi). Aliran Metode Ganzheit berpandangan bahwa karya sastra itu adalah satu-kesatuan, sebuah totalitas, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebuah totalitas bukanlah penjumlahan dari unsur-unsur yang membentuknya. Perdebatan dua aliran kritik sastra ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Lukman Ali (Editor) dengan judul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978).
Selepas diskusi kritik sastra yang heboh tahun 1968 itu, M. S. Hutagalung mewakili Kritik Sastra Aliran Rawamangun mengemukakan pembelaan tentang kebaikan dan manfaat kritik sastra akademik, yakni (1) Kritik sastra ilmiah membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri, sebagaimana adanya dan sebagaimana dirinya, (2) Kritik sastra ilmiah hasilnya akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subjektivitas dapat dihindari, pengertian tentang nilai-nilai akan lebih jelas, (3) Kritik sastra ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan, dan membina kesusastraan di masa mendatang. Inilah kritik sastra akademik yang bersifat objektif dan berpusat pada karya sastra itu sendiri (Pradopo, 2008, halaman 102).
Maman S. Mahayana
Pertama, kritik sastra umum. Kritik sastra umum ini sasaran pembacanya adalah masyarakat umum dengan berbasiskan media massa. Kritik sastra umum kemunculannya jauh sebelum zaman kemerdekaan berkat jasa lembaga-lembaga media massa, terutama media massa cetak pada waktu itu. Selama media massa itu menyediakan ruang untuk berbagai tulisan tentang sastra dan kritik sastra, jenis kritik sastra umum ini akan tetap berkembang terutama untuk masa-masa mendatang. Apalagi pada era sekarang ini, tidak hanya didukung media massa cetak, tetapi juga media massa online (daring). Media online ini bahkan tak terkontrol kelajuannya. Para penulis kritik sastra umum ini adalah para sastrawan, pengamat dan kritikus sastra, bahkan masyarakat umum yang akrab dan terbiasa menulis di media massa, baik media massa cetak maupun elektronik.
Kedua, kritik sastra akademik. Kritik sastra akademik basisnya di perguruan tinggi. Kritik sastra akademik ini lahir, tumbuh, dan berkembang secara ilmilah dalam dunia akademik di perguruan tinggi, berupa makalah, hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Setiap tahun bertebaran karya kritik sastra akademik ini di seluruh Tanah Air. Hanya sayang, kritik sastra akademik ini jarang diterbitkan dalam media massa atau diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, kritik sastra akademik jarang dikenal masyarakat umum. Kritik sastra akademik lebih banyak dikenal di kalangan sesama akademik perguruan tinggi. Jarangnya kritikus sastra akademik yang menulis di media massa memunculkan anggapan bahwa perguruan tinggi gagal menghasilkan kritikus sastra Indonesia. Maka berkembanglah isu krisis kritik sastra Indonesia.
Ende, Flores, 16 Mei 2022
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT
Post a Comment for "Sejarah Singkat Kritik Sastra Indonesia Modern"