Polemik Kritik Sastra Indonesia Modern
Perjalanan kritik sastra Indonesia yang dimulai sejak tahun 1930-an sampai dengan saat ini diwarnai dengan polemik atau perdebatan. Secara umum, polemik atau perdebatan dalam kritik sastra sangat bermanfaat, antara lain (1) untuk menambah wawasan keilmuan sastra dan kritik sastra; (2) untuk membantu para pembaca dalam memahami karya-karya sastra para sastrawan,; (3) untuk menambah gairah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia. Berikut disebutkan sejumlah contoh polemik dalam kritik sastra Indonesia.
1. Kritik Sastra Umum Vs Kritik Sastra Akademik
Sejarah awal kritik sastra Indonesia yang dimulai tahun 1930-an dengan perintisnya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), berawal dan bermula pada media massa cetak, baik surat kabar maupun majalah. Puisi, cerita pendek, dan cerita bersambung (cerbung) yang kemudian diterbitkan menjadi novel, pada mulanya semuanya dimulai di media cetak. Maka tidak heranlah kalau ulasan atas karya-karya sastra itu muncul di media cetak pula.
Orang membaca tulisan kritik sastra (juga esai sastra) tidak lain dan tidak bukan melalui media massa cetak. Kritik sastra yang dimuat di media cetak ini disebut “kritik sastra umum” (karena untuk masyarakat umum) bahkan sering disebut juga sebagai kritik sastra media massa. Sebagian besar penulis kritik sastra umum ini para penulis sastra kreatif atau para sastrawan yang berkarya sastra lewat media massa cetak.
Yang menjadi tujuan utama kritik sastra umum adalah memperkenalkan dan memberi apresiasi atau menghargaan terhdap karya-karya sastra yang dimuat dalam media massa. Dengan cara demikian maka karya-karya sastra yang ada dapat dinikmati para pembaca media massa. Di samping ulasan atas karya sastra puisi dan cerpen, pembahasan atau resensi buku sastra pun semarak di media massa. Jadilah media massa sebagai wadah kritik sastra umum ini.
Sasaran pembaca kritik sastra umum ini adalah masyarakat umum sebagai pembaca media massa dengan beragam latar belakang pendidikan, profesi, status sosial, politik, dan lain-lain. Esai dan berbagai ulasan sastra yang dimuat media cetak masuk dalam arus kritik sastra umum ini. Di samping yang dimuat di media cetak, tulisan lain yang masuk dalam kelompok kritik sastra umum ini adalah prolog dan epilog serta resensi buku sastra.
Prolog (kata pengantar) dan epilog (kata penutup) dalam sebuah buku antologi puisi atau cerpen yang memberi catatan kritis terhadap karya sastra yang diterbitkan, masuk dalam jenis kritik sastra umum ini. Resensi buku sastra di media massa juga masuk dalam kelompok kritik sastra umum ini.
Dalam perjalanan waktu, jenis “kritik sastra umum” ini mendapat saingan dari jenis kritik sastra lain, yang bernama “kritik sastra akademik.” Jenis kritik sastra akademik ini lahir, tumbuh, dan berkembang secara di dunia perguruan tinggi (PT) yang menjadi wilayah kekuasaannya. Kritik sastra akademik mengutamakan kajian atau ulasan atas karya sastra secara akademiki, secara ilmiah.
Kritik sastra akademik ini muncul sejak tahun 1960-an dan dirintis oleh para dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI). Wilayah peredaran karya kritik sastra akademik ini di lingkungan perguruan tinggi, meskipun dapat pula dinikmati oleh masyarakat umum apabila diterbitkan menjadi buku dan diulas atau dibahas di media massa.
Kritik sastra akademik ini memiliki standar penulisan teknis dan syarat keilmuan yang harus dipegang teguh. Kritik sastra akademik harus mempunyai kerangka teoretis dan metode sebagai landasan argumentasi. Adanya teori sastra menjadi keharusan dalam jenis kritik sastra akademik ini. Maka, dipakailah nama-nama teori sastra dari Barat, seperti teori strukturalisme, teori semiotik, teori resepsi, teori persepsi, teori biografis, dan lain-lain.
Menurut catatan Maman S. Mahayana dalam buku Kitab Kritik Sastra (2015, halaman lxii-lxiii), sejak munculnya kritik sastra akademik tahun 1960-an yang dimotori oleh para dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) maka sejak tahun 1960-an itu terbentuklah dua arus atau dua gerakan besar dalam kritik satra Indonesia sampai dengan saat ini, yakni “arus kritik sastra umum” (media massa) dan “arus kritik sastra akademik” (ilmiah).
Sejumlah kritikus yang masuk dalam jajaran arus kritik sastra umum, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Armjin Pane, Sanusi Pane, Iwan Simatupang, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Umar Kayam, Budi Darma, dan lain-lain. Sedangkan yang masuk dalam jajaran arus kritik sastra akademik, antara lain J.U. Nasution, S. Effendi, Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Boen S. Oermarjati, J.U. Nasution, S. Effendi, Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Boen S. Oermarjati, dan lain-lain. Ada kritikus yang masuk ke dalam dua jenis arus kritik sastra tersebut, antara lain HB Jassin, Dami N. Toda, Umar Junus, dan lain-lain.
Dengan munculnya arus kritik sastra akademik yang kemudian menamakan dirinya sebagai Kritik Sastra Rawamangun, mendapat tantangan dari para sastrawan yang sebelumnya sudah menguasai medan kritik sastra umum lewat media massa. Maka, terjadilah polemik arus kritik sastra umum vs arus kritik sastra akademik. Polemik itu berlangsung tahun 1960-1970-an.
Masing-masing arus gerakan kritik sastra di atas terus bertumbuh dan berkembang dalam wilayahnya masing-masing, yakni wilayah media massa dan wilayah akademik di perguruan tinggi. Menurut Mahayana, kedua arus gerakan kritik sastra ini harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Kedua arus gerakan ini saling melengkapi, meski berada dalam wilayah yang berbeda, tetapi memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia. Kedua-duanya tidak perlu dibentur-benturkan, karena kedua-duanya mempunyai tujuan mulia yang sama: memajukan sastra dan kritik sastra Indonesia.
2. Kritik Sastra Rawamangun Vs Kritik Sastra Ganzheit
Kritik sastra akademiki yang muncul tahun 1960-an yang dimotori FS-UI, kemudian menamakan aliran kritiknya dengan nama Aliran Kritik Sastrawa Rawamangun (tempat gedung FS-UI pada waktu itu). Pada tahun 1968, terjadi kehebohan besar dunia kritik sastra Indonesia. Kehebohan berlanjut dalam sebuah forum diskusi, bernama “Diskusi Kritik Sastra” yang berlangsung pada 31 Oktober 1968 di Jakarta.
Dalam forum itu Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menggugat dominasi kritik sastra analitis (kritik strukturalisme) yang digunakan para akademisi sastra Indonesia yang dimotori para dosen FS-UI. Arief Budiman bersama Goenawan Mohammad menandinginya dengan jenis kritik sastra baru dengan nama Metode Ganzheit (Gestalt). Dari pihak akademisi FS-UI sebagai lawan diskusi adalah J.U. Nasution, S. Effendi, Saleh Saad, M.S. Hutagalung, Boen S. Oermarjati, dan Lukman Ali, yang kemudian menamakan jenis kritik sastra mereka sebagai Kritik Sastra Aliran Rawamangun.
Aliran Kritik Sastra Rawamangun berpandangan, karya sastra terdiri atas unsur-usur pembentuknya, disebut unsur intrinsik. Alat bedah yang dipakai adalah teori strukturalisme dan berbagai teori sastra lain yang berasal dari Barat. Sebaliknya, Metode Kritik Ganzheit (Gestalt) berpandangan sebaliknya, bahwa karya sastra adalah satu-kesatuan, sebuah totalitas, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebuah totalitas bukanlah penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya.
Perdebatan seru kedua aliran kritik sastra itu berlangsung selama tahun 1968-1970. Seluruh perdebatan itu kemudian dibukukan oleh Lukman Ali (Ed) dengan judul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978). Arief Budiman sendiri sebelumnya telah menerapkan Metode Kritik Ganzheit ini dalam menganalisis puisi-puisi Chairil Anwar sebagai skripsi sarjananya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi itu kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
Selepas diskusi kritik sastra yang heboh tahun 1968 itu, M. S. Hutagalung kemudian mewakili Aliran Kritik Sastra Rawamangun mengemukakan pembelaan tentang kebaikan dan manfaat kritik sastra akademik, yakni (1) Kritik sastra akademik (ilmiah) membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri, sebagaimana adanya dan sebagaimana dirinya; (2) Kritik sastra ilmiah hasilnya akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subjektivitas dapat dihindari, pengertian tentang nilai-nilai akan lebih jelas; (3) Kritik sastra ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan, dan membina kesusastraan di masa mendatang. Inilah kritik sastra akademik yang bersifat objektif dan berpusat pada karya sastra itu sendiri (Pradopo, 2008, halaman 102).
3. Paham Sastra Universal Vs Sastra Kontekstual
Pada 1984 terjadi kehebohan besar lagi dalam dunia pemikiran sastra Indonesia, termasuk di dalamnya kritik sastra. Arief Budiman melakukan perlawanan terhadap paham sastra universal yang sangat dominan di Indonesia pada 1980-an. Perlawanan itu terjadi pada Sarasehan Kesenian di Solo pada 28-29 Oktober 1984. Adapun pembicara dalam sarasehan itu adalah Arief Budiman, Ariel Heryanto, YB Mangunwijaya, dan Yudhistira Ardi Masardi.
Arief Budiman yang kemudian didukung penuh Ariel Heryanto menggugat paham sastra universal yang berpandangan bahwa hakikat sastra bersifat universal, yang seragam untuk segala masyarakat pada segala zaman. Arief Budiman melawannya dengan mengajukan paham “sastra kontekstual.” Paham sastra kontekstual tidak mempercayai adanya hakikat sastra yang bersifat universal. Bagi paham sastra kontekstual, hakikat sastra bersumber dari konteks sosial-historis, yaitu rangkaian peristiwa konkret dan tingkah laku manusia, yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dalam makalahnya berjudul “Sastra Kita yang Kebarat-baratan” (1985), Arief Budiman merumuskan pengertian sastra kontekstual sebagai sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusasteraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berubah sepanjang sejarah, berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain, dan dari kelompok manusia satu ke kelompok manusia lain. Hanya dengan mengakui kenisbian nilai inilah, maka sastra dapat berkembang di buminya yang nyata, bukan di dunia awang-awang. Perdebatan sastra kontekstual berlangsung sekitar dua tahun (1984-1985).
Perdebatan yang berlangsung sekitar dua tahun itu (1984-1985) dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku oleh Ariel Heryanto dengan judul Perdebatan Sastra Kontekstual (Rajawali, Jakarta, 1985). *
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT
Post a Comment for "Polemik Kritik Sastra Indonesia Modern"