Awal Mula Karya Sastra
Sastra merupakan salah satu gejala kebudayaan yang bersifat universal, terdapat dalam setiap masyarakat manusia, kapan dan di mana saja. Secara potensial, setiap orang pada setiap zaman dan pada setiap tempat dapat bersastra, apakah bersastra secara aktif atau secara pasif. Seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang kebudayaan manusia lainnya (Taum, 1997: 9).
Di dunia Barat (Eropa) perbincangan tentang sastra ini sudah ada jauh sebelum Masehi. Seorang filsuf legendaris dunia, Plato (427-347 SM) beranggapan bahwa sastra hanyalah tiruan atau gambaran (mimesis) dari kenyataan, karena itu kurang berarti. Yang harus dicapai bukanlah yang seperti lahirnya tampak pada kita, melainkan ide yang ada di belakangnya.
Sementara filsuf legendaris dunia yang lain, Aristoteles (384-322 SM) murid Plato, menyatakan bahwa bersastra merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Beberapa ratus tahun kemudian, seorang penyair besar Romawi, Horatius (65-8 SM) menyatakan bahwa karya sastra harus bertujuan dan berfungsi atau utile et dulce (bermanfaat dan menyenangkan) (Pradotokusumo, 2008: 5).
Seni sastra sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia pada waktu berhadapan dengan alam dan Sang Penciptanya sebagai penjelmaan keindahan. Sebagai media ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia, jelaslah pada awal mula, kehadiran sastra tidak bisa dibedakan dengan pengalaman religius (pengalaman keimanan) manusia berhadapan dengan alam dan Sang Penciptanya. Maka, tidak heranlah apabila budayawan dan novelis Y.B. Mangunwijaya dalam bukunya Sastra dan Religiositas (1982: 11) menandaskan: “Pada awal mula, segala sastra adalah religious.“ Mangunwijaya tidak menggunakan istilah agama atau religi (religion), tetapi religious atau religiositas.
Menurut Mangunwijaya, agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.
Religiositas lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit-banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman si pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim.
Lebih lanjut Mangunwijaya (1982: 12) menjelaskan, sebuah lagu yang bermakna atau berkualitas religius, seperti lagu “Tuhan” ciptaan Trio Bimbo, dengan penuh haru dan syahdu dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang yang beragama Kristen maupun yang Islam. Demikian juga sikap-sikap religius, seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata sebagai bentuk konsentrasi diri pasrah kepada Tuhan dan siap mendengarkan sabda Tuhan dalam hati. Semuanya itu menunjukkan bahwa manusia itu religius, religius yang otentik, dan itu terdapat dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, dan agama-agama lainnya.
Orang yang beragama tentu banyak yang religius, dan seharusnya memang begitu. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang yang beragama, tetapi tidak religius. Ada orang yang tidak beragama, tetapi cita rasa, sikap dan tindakannya sehari-hari adalah religius, dan itu baik. Kita saksikan di negeri ini, banyak orang yang beragama, tetapi ironis bahkan sangat ironis, mereka yang mengaku beragama itu ternyata koruptor, dari koruptor kelas kakap, kelas menengah, sampai kelas teri.
Tambah ironis lagi, yang masuk dalam gerombolan atau komplotan koruptor itu tidak lain adalah pejabat pemerintah, keluarga pejabat, politisi, pengusaha yang hidup bermewah-mewah dari peluh, keringat, dan air mata rakyat yang menderita karena miskin.
Di negeri ini, para koruptor, lintah darat, pencuri, pembunuh, penipu, dan teroris rajin beribadat, mengenakan asesoris agama tertentu, hafal ayat-ayat kitab suci, khusuk berdoa, bahkan duduk di bagian depan rumah ibadat. Apakah praktik keagamaannya itu cocok dengan kehendak Allah yang Mahabaik dan Maha Pengasih yang sesungguhnya?
Mereka mengaku beragama, tetapi sikap dan perilakunya jauh dari sikap dan perilaku religius yang otentik. Disadari atau tidak, sikap dan perilaku seperti ini adalah salah satu bentuk penghinaan terhadap agama yang dianutnya. Sastra menyusup dan menggentarkan hati nurani pada penikmatnya menuju ke arah sikap dan perilaku religius yang otentik, tidak berpura-pura.
Andre Hardjana (1981: 10) melukiskan, yang mendorong lahirnya karya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, untuk menunjukkan minat dan perhatian pada sesamanya, pada dunia realitas tempat hidupnya, pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar manusia untuk mencintai bentuk sebagai bentuk. Oleh karena itu, meskipun sastra diartikan sebagai huruf, karya sastra tidak hanya meliputi karya yang tertulis, tetapi juga meliputi karya yang tidak tertulis yang dihasilkan orang atau kelompok orang yang belum mengenal sistem huruf.
Dalam melahirkan atau menciptakan sebuah karya sastra, seorang pengarang (sastrawan) berpangkal tolak dari pengalaman yang bersumber pada persepsi, baik persepsi alamiah faktual lewat daya indra dan daya khayal, maupun persepsi khayali yang semata-mata menggerakkan daya angan-angan.
Baik yang alamiah faktual maupun yang khayali, bagi seorang pengarang yang berhasil, persepsi yang melahirkan pengalaman dan penghayatan yang menyeluruh, dirasakan sebagai suatu kenyataan yang mencekam dan tak terelakkan, seolah-olah dirinya terlempar ke dalam suatu dunia rahasia. Situasi itulah yang mendesak dirinya untuk melahirkan karya dari kedalaman penghayatannya. Inilah rahasia penciptaan karya sastra yang menimbulkan kepuasan batin atau katarsis (chatarsis) bagi pengarangnya.
Daftar Pustaka
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2008. Cetakan ke-2. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Ende, Flores: Nusa Indah.
Ende, Flores, 31 Mei 2022
Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT
Post a Comment for "Awal Mula Karya Sastra"